Mereka Melasti di Prasasti Tukmas Kaki Merbabu
Kamis, 19 Maret 2015 18:58 WIB
Sejumlah umat Hindu melakukan rangkaian prosesi Melasti di Prasasti Tukmas, peninggalan abad VI-VII, di kaki Gunung Merbabu Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabak, Kabupaten Magelang, Kamis (19/3). (Hari Atmoko/dokumen).
Salah satu penabuh musik jenis gamelan Bali itu, adalah Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Magelang I Gede Mahardika yang setiap hari bertugas sebagai Kepala Kepolisian Sektor Muntilan, Kabupaten Magelang.
Ratusan umat Hindu setempat dengan mengenakan pakaian adat Bali yang menyimbolkan keagamaan Hindu, pada Kamis (19/3) pagi menjalani prosesi melasti menjelang puncak Nyepi yang jatuh pada Sabtu (21/3).
Kegiatan keagamaan yang dimaksudkan untuk pengambilan air dan doa penyucian buana ageng serta buana alit (jagat besar dan jagat kecil) menjelang Hari Nyepi itu, berlangsung di kaki Gunung Merbabu, Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.
Di lokasi di bawah bukit tersebut, terdapat Prasasti Tukmas atau disebut juga Prasasti Dakawu, peninggalan antara abad VI hingga VII.
Petugas Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah untuk situs Prasasti Tukmas, Surondi (49), menyertai mereka yang sedang menjalani melasti dengan prosesi doa dipimpin dua pemangku keagamaan Hindu di Magelang atau pinandita, masing-masing Jero Mangku Surono dan Jero Mangku Wayah Kadek.
"Sudah sejak lama melasti setiap tahun di sini. Ini peninggalan zaman Hindu," kata Surondi kepada wartawan Antara di dalam cungkup berpagar besi yang berisi prasasti berupa batu alam ukuran cukup besar, dengan tulisan sajak berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta.
Terjemahan sajak empat baris sebagaimana terpampang pada papan informasi yang dipasang BPCB Jateng di dekat Prasasti Tukmas berbunyi, "Bermula dari teratai yang gemerlapan, dari sini memancarlah sumber air yang menyucikan, air memancar ke luar dari sela-sela batu dan pasir, di tempat lain memancar pula air sejuk dan keramat, seperti (sungai) Gangga".
Prasasti yang kata Surondi ditemukan zaman penjajahan Belanda itu, juga memuat gambar cakra (roda), padma (teratai), api menyala, dan denah bangunan. Gambar itu, merujuk kepada tanda khusus yang digunakan para pemuka agama Hindu, sedangkan gambar lain sulit diidentifikasi.
"Tempat ini dianggap seperti Sungai Gangga di India dengan air yang suci, tempat untuk menyucikan diri," kata Surondi yang menjadi juru kunci situs Prasasti Tukmas itu.
Di dekat prasasti tersebut berupa sumber air yang mengalir menjadi kali dengan air bening yang dikenal dengan nama Sungai Kalimas.
Aliran sungai tersebut bermuara di alur Kali Elo dengan aliran airnya yang melewati wilayah Kota dan Kabupaten Magelang. Sumber air Tukmas, saat ini juga dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum Kota Magelang untuk melayani kebutuhan air bersih bagi masyarakat kota dengan tiga kecamatan dan 17 kelurahan tersebut.
"Kami juga mengambil air dari Tukmas ini untuk dibawa ke Candi Prambanan dalam perayaan Tawur Agung besok (20/3)," kata Gede Mahardika.
Upacara Tawur Agung Kesanga di Candi Prambanan di perbatasan antara wilayah Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam rangkaian menuju puncak Hari Suci Nyepi, rencananya pada Jumat (20/3) dengan dihadiri Presiden Joko Widodo.
Umat Hindu dari Magelang rencananya berombongan menuju Candi Prambanan, di tempat peninggalan zaman Hindu itu, untuk mengikuti Tawur Agung, bersama umat berasal dari daerah lainnya.
Takzim
Ratusan umat Hindu secara takzim menjalani prosesi melasti di sumber air Tukmas. Berbagai kekidungan suci menandai doa-doa mereka, sedangkan tetabuhan alat musik gamelan seperti bende, kendang, dan kecreng, secara khas menyemarakkan suasana mereka berdoa.
Berbagai sesaji dalam sejumlah tampah berhias anyaman janur yang antara lain berupa makanan, buah-buahan, air dalam kendil, dan bunga mawar, mereka letakkan di altar di pelataran Prasasti Tukmas, di bawah pepohonan rindang. Sejumlah umbul-umbul dan payung dari kain berwarna putih dan kuning menghiasi tempat di sekitar altar.
Dalam rangkaian prosesi yang juga ditandai dengan penyulutan dupa atau hio tersebut, mereka juga melepas masing-masing seekor bebek dan ayam, di dekat sumber air. Pelepasan ternak tersebut dilakukan setelah pengambilan air suci dari sumber air.
Sejumlah perempuan membawa banten dan canang sari (sesaji) berjalan dari pelataran di bawah sumber air, meninggalkan rombongan umat yang takzim dalam kidung dan doa suci sambil bersila, lalu menaiki puluhan anak tangga di sela instalasi sumber air bersih PDAM Kota Magelang itu, menuju Prasasti Tukmas. Mereka secara bergantian memercikkan air di prasasti batu tersebut.
Percikan air suci juga mereka lakukan kepada para umat, setelah turun dari sumber air. Umat dengan menggunakan wadah juga mengambil air dari Tukmas untuk disemayamkan di Pura Wirabuana di kompleks Akademi Militer di lembah Gunung Tidar Kota Magelang.
Air suci dari sumber air Tukmas juga mereka semayamkan di rumah masing-masing di berbagai tempat di Kota dan Kabupaten Magelang.
"Tirta sumber kehidupan. Manusia dengan banyak indera selalu ada kekurangan. Dengan kesadaran ini, kita membersihkan buana ageng dan buana alit, supaya kita pantas memasuki Hari Nyepi," kata Surono.
Hari Suci Nyepi akan dijalani umat Hindu dengan bermatiraga selama 24 jam, melalui catur brata penyepian yang berupa empat jalan, yakni amati karya atau tidak melaksanakan kegiatan, amati geni atau tidak menyalakan api, amati lelungan atau tidak keluar rumah, dan amati lelanguan atau tidak menikmati hiburan.
Ia mengatakan pada Hari Nyepi, batara turun dari langit untuk membersihkan dunia agar kembali suci.
"Dengan Melasti ini, Tuhan memberikan cahaya kepada umat, supaya selanjutnya hidup sejahtera, tenteram, dan bahagia, membangun hidup bersama dengan penuh kedamaian, membangun negeri agar makmur dan sejahtera," katanya.
Ia mengemukakan doa-doa dalam prosesi melasti juga dipersembahkan kepada Tuhan agar memberikan berkah kepada Indonesia sehingga selalu teguh dengan jati dirinya, termasuk menyangkut keberagaman masyarakatnya dan keanekaragaman lingkungan alamnya.
"Untuk kembali ke jati diri keindonesaiaan, supaya kita 'melek kahanan' (sadar terhadap situasi, red.) bahwa kita beragam budaya dan latar belakang. Perbedaan memperkuat kesempurnaan hidup bersama sebagai satu bangsa yang besar," katanya.
Suasana batin yang suci, kata Gede Mahardika, juga menjadikan pekerjaan sehari-hari, bisa dilaksanakan dengan baik dan berguna untuk kebaikan banyak orang.
"Melalui prosesi doa Melasti ini, kita membersihkan hati sehingga pantas menjalani perayaan Hari Suci Nyepi," katanya.
Prosesi melasti di sumber air Tukmas di kaki Gunung Merbabu bagaikan mengantar umat Hindu setempat meneguk air suci dari Sungai Gangga, sebagaimana ditorehkan dalam prasasti tersebut oleh nenek moyang, dengan kalimat, "Kwacicchilawalukanirgateyam" (dari sini memancarlah sumber air yang menyucikan).
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Terpopuler - Spektrum
Lihat Juga
Kisah Warung Makan Selera Jenderal di Demak, berawal dari celetukan pelanggan
31 October 2024 10:27 WIB