"Pameran ini, saya kira memang memiliki relativitas dalam soal olah kreativitasnya. Para pelukis bekerja keras untuk menunjukkan karakter masing-masing melalui karyanya. Mereka bukan merobotkan diri, apalagi menyingkirkan jiwanya sendiri," kata kritikus seni rupa Kuss Indarto di Borobudur, Sabtu.

Kuss yang juga kurator di Galeri Nasional Jakarta itu, mengemukakan hal tersebut saat membuka pameran lukisan enam seniman bertajuk "Hight Art Never Lies" di Rumah Seni Banyu Bening, di depan pintu VII Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jateng.

Pameran sekitar 15 karya oleh pelukis Sarwoko, Widoyo, Damtoz Andreas (Borobudur), Agus "Bebek" Salim (Ungaran/Semarang), Suharmanto (Yogyakarta), dan Sulistyo (Solo) tersebut, berlangsung 18 April hingga 10 Mei 2015.

Sejumlah judul lukisan yang dipamerkan, antara lain "Satu Fokus Dua Arah" dan Sekuntum Dewi" (Damtoz), "Ritual Pejantan" dan "Wayahe Mulih Kandang" (Agus Bebek), "Good Morning", Bob Marley...I Love You", dan "Mirror" (Suharmanto). Selain itu, "The Dragonfly Fantasy", "The Leaves Story", dan "Menuju Sumber Kehidupan" (Sarwoko), "Action Jagoan #2" dan "Action Jagoan #5" (Sulistyo), dan "Pulang" serta "Grojogan" (Widoyo).

Hadir pada pembukaan pameran secara sederhana itu, antara lain budayawan Borobudur Ariswara Sutama, sejumlah pengelola galeri lukisan di kawasan Candi Borobudur, seperti Umar Chusaeni (Limanjawi Art House) dan Dedy Paw (Rumah Seni Tuksongo), Niniek (Galeri Pondok Tingal).

Selain itu, Cipto Purnomo (Pawon Art Space), pegiat Gabungan Seniman Borobudur (Gasebo) Hatmojo, dan Kepala Divisi Administrasi dan Keuangan Unit Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB), Aryono Hendro Malyanto.

Kuss mengemukakan tentang adanya "inner feeling" seniman, yakni otentisitas diri dalam proses berkarya. Misalnya, seorang seniman bisa saja meniru corak dan kecenderungan visual seniman lain, yang bahkan lebih bagus visualnya.

"Namun, itu tereduksi ketika sebuah karya hanya berhenti di titik eksotika gambar semata, tanpa memberi muatan di baliknya. Karya seni rupa (lukisan) bisa indah pada visualnya, 'wadag-nya', wujud luarnya, namun belum tentu memiliki kedalaman estetika yang melampaui 'kewadagannya'," katanya.

Pada kesempatan itu, ia menyatakan enam pelukis yang berpameran bersama tersebut, memiliki karakter yang kuat dalam berkarya. Mereka juga berpengalaman ke luar negeri terkait dengan kegiatan seni rupa.

Budayawan Borobudur Ariswara Sutama mengemukakan pameran sebagai pertanggungjawaban seniman kepada masyarakat dan dirinya sendiri.

"Mereka berkarya untuk berekspresi diri, berpameran untuk masyarakat ikut berekspresi. Borobudur bukan hanya 'tambang emas' tetapi juga tentang inspirasi penciptaan dan penjelajahan imajiner. Seniman Borobudur harus menjalani proses kreatif, mampu menjawab tantangan zamannya. Pelukis bukan epigon tetapi tentang penciptaan. Hasil karyanya mengangkat karakter masyarakat, bangsa, dan kebudayaan," katanya.