Prosesi siraman secara bergantian dilakukan di rumah Selvi dan Gibran dengan menggunakan air dari tujuh sumber mata air.

Ketujuh sumber mata air itu dari Masjid Agung Surakarta, Ndalem Mloyokusuman, Keraton Kasunanan, Keraton Mangkunegaran, Masjid Mangkunegaran, air Zam-zam, serta sumur kediaman pribadi.

Proses siraman di kediaman Selvi dimulai pukul 09.00 WIB yang dilakukan secara bergantian oleh Didit Supriyadi dan Sri Partini selaku kedua orang tua Selvi, kemudian dilanjutkan oleh kerabat yang dituakan.

Usai siraman di rumah kontrakan Selvi, air siraman dibawa dengan menggunakan bejana emas oleh kerabat Selvi, Purboyono, Heru Haryanto dan Slamet Darsono, menuju kediaman Jokowi yang berjarak kurang dari 200 meter.

"Ini mau dipakai siraman untun Gibran," kata Purboyono.

Sebelum acara siraman, Didit Supriyadi memasang bleketepe di pintu masuk rumahnya.

Bleketepe berasal dari kata "Bale Katapi" yang merupakan anyaman janur sebagai perwujudan penyucian para dewa di khayangan.

"Bale" artinya tempat, "Katapi" dari kata "tapi" yang berarti membersihkan dan memilahkan kotoran untuk kemudian dibuang.

Dengan demikian pemasangan "bleketepe" dapat diartikan secara luas sebagai ajakan orang tua dan calon pengantin kepada semua orang yang terlibat di dalam upacara hajatan untuk berproses bersama menyucikan hati.

Usai siraman, orang tua Selvi kemudian berjualan es dawet kepada para tamu undangan.

Dawet atau cendol yang berbentuk bulat bermakna kebulatan tekad orang tua untuk menikahkan anak mereka.

Para tamu undangan yang hendak membeli es dawet tersebut membayar bukan dengan uang, melainkan menggunakan "kreweng" atau pecahan genteng rumah.

Partini, ibu Selvi, bertugas melayani para tamu yang membeli dawet, sedangkan Didit Supriyadi menerima "kreweng" sebagai alat pembayarannya.

Hal itu bermakna tentang kewajiban suami-istri dalam hidup berumah tangga ialah saling bahu-membahu dalam menafkahi keluarga.