Sekretaris Panitia Hari Jadi ke-190 Wonosobo Tri Antoro mengatakan, selain untuk memperingati dan memeriahkan hari jadi Wonosobo, opera ini untuk menumbuhkembangkan rasa memiliki terhadap nilai sejarah Wonosobo.

"Opera ini sekaligus sebagai sarana edukasi dan hiburan, baik untuk masyarakat Kabupaten Wonosobo maupun wisatawan dan para pemudik yang pulang ke kampung halamannya untuk merayakan Lebaran," katanya.

Ia mengatakan pergelaran tersebut menjadi satu langkah konkrit untuk mempromosikan dan menginformasikan keberadaan serta perkembangan karya seni yang diadaptasi dari nilai sejarah, budaya dan kepariwisataan yang ada di Kabupaten Wonosobo.

Selama sekitar 45 menit, masyarakat dibuat terpukau dengan tata cahaya dan panggung yang megah, dengan iringan lagu dan musik gamelan tradisional dalam balutan perpaduan gerak tari, musik dan lagu oleh 75 pelaku seni Wonosobo.

Dipadu dengan pergelaran Wonosobo Night Costume Carnival, kisah opera yang disutradarai oleh Waket Prasudi Puger ini bermula dari peradaban Dataran Tinggi Dieng yang telah mempunyai sistem peradaban besar di awal Masehi. Di tempat ini menjadi tonggak berdirinya Wangsa Mataram Kuno, yakni Sanjaya dan Syailendra, yang mencapai puncaknya pada abad VIII-IX M.

Dikisahkan, sebelum transisi masuknya agama Islam, kehidupan masyarakat sempat mengalami masa kegelapan, seperti maraknya perjudian dan perkosaan. Sampai masuknya Agama Islam, pada awal abad XVII M yang membawa perubahan.

Kisah dilanjutkan dengan tiga pengelana yang datang ke Wonosobo, masing-masing bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai Walik yang mulai merintis permukiman di daerah Wonosobo, Kyai Kolodete berada di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Karim berada di daerah Kalibeber dan Kyai Walik berada di sekitar Kota Wonosobo sekarang ini, dan sejak saat itu daerah ini mulai berkembang dan ketiga tokoh tersebut dianggap sebagai cikal bakal dari masyarakat Wonosobo.

Pada masa perang Diponegoro (1825 - 1830), Wonosobo merupakan salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Diponegoro. Beberapa tokoh penting yang mendukung perjuangan Diponegoro antara lain, Imam Musbach atau kemudian dikenal sebagai Tumenggung Kartosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Kyai Muhammad Ngarpah.

Dalam berbagai pertempuran melawan Belanda, Kyai Muhamad Ngarpah banyak berhasil memperoleh kemenangan. Dari semua pertempuran, yang memiliki nilai heroik paling tinggi adalah pertempuran di Legorok pada 24 Juli 1825 dan karena keberhasilannya yang luar biasa Pangeran Diponegoro memberi gelar Kyai Muhamad Ngarpah dengan sebutan Tumenggung Setjonegoro dan diangkat sebagai penguasa Ledok.

Eksistensi kekuasaan Setjonegoro di daerah Ledok ini bisa dilihat lebih jauh dari berbagai sumber, termasuk laporan Belanda yang dibuat setelah perang Diponegoro selesai. Dikisahkan pula bahwa Setjonegoro adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasan dari Selomerto ke kawasan Kota Wonosobo sekarang ini.

Di akhir opera, sebuah pesan dititipkan kepada seluruh masyarakat Wonosobo agar selalu menjaga kedamaian di tengah perbedaan, mengingat dari awal sejarah berdirinya Wonosobo, berbagai kultur budaya telah mewarnainya, sehingga apa pun latar belakang masyarakatnya saat ini sampai kapan pun harus tetap menjunjung persatuan dan menghargai perbedaan dalam sebuah harmonisasi sosial yang kuat.