Muhammadiyah: Hari Santri Jangan Munculkan Dikotomi
Jumat, 23 Oktober 2015 6:20 WIB
Sejumlah siswa menampilkan aktraksi bela diri di saat memeriahkan kegiatan peringatan hari santri di Pondok Pesantren Muttaqien Pancasila Sakti, Troso, Karangnom, Klaten, Jawa Tengah, Kamis (22/10/15). Kegiatan sebagai memperingati hari santri nasion
"Sejalan dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kami mengimbau Hari Santri ini jangan sampai memunculkan dikotomi," kata Ketua PW Muhammadiyah Jateng Musman Thalib di Semarang, Kamis malam.
Menurut dia, selama ini umat Islam, termasuk Muhammadiyah telah berupaya menghilangkan sekat-sekat dikotomi antara santri dan nasionalis atau abangan dalam perannya merebut kemerdekaan.
Ia mengatakan dikotomi antara santri dan nasionalis itu justru merugikan karena memunculkan stigma bahwa santri itu seolah tidak nasionalis, sementara kelompok nasionalis itu tidak islami.
"Padahal, sebenarnya tidak seperti itu. Yang memperjuangkan bangsa Indonesia sampai merdeka kan semua golongan yang terangkum dalam Bhinneka Tunggal Ika. Tidak perlu dikotomi seperti itu," katanya.
Makanya, kata dia, Muhammadiyah pernah mengemukakan pentingnya untuk menghilangkan sekat-sekat dikotomi kepada mendiang Taufik Kiemas yang perjalanannya dikotomi itu perlahan mulai hilang.
Akan tetapi, Musman mengatakan Presiden Joko Widodo kemudian menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional yang dikhawatirkan akan menumbuhkan kembali dikotomi golongan seperti dulu.
"Jangan kemudian diartikan kami menentang kebijakan pemerintah. Hanya saja, kami mengimbau agar peringatan Hari Santri Nasional jangan sampai menumbuhkan lagi dikotomi golongan," katanya.
Musman mengatakan perjuangan kemerdekaan bukan hanya dilakukan kaum santri, namun seluruh bangsa Indonesia, serta semangat jihad juga bukan muncul setelah adanya resolusi jihad dari ulama.
Namun, ia mengakui resolusi jihad yang diserukan Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari bersama para ulama sangat berpengaruh besar terhadap perjuangan bangsa.
"Makanya, kami mengimbau. Dikotomi yang selama ini kita coba hilangkan jangan sampai tumbuh lagi. Kami ingin mengingatkan untuk terus menumbuhkan semangat kebersamaan," pungkasnya.
Menurut dia, selama ini umat Islam, termasuk Muhammadiyah telah berupaya menghilangkan sekat-sekat dikotomi antara santri dan nasionalis atau abangan dalam perannya merebut kemerdekaan.
Ia mengatakan dikotomi antara santri dan nasionalis itu justru merugikan karena memunculkan stigma bahwa santri itu seolah tidak nasionalis, sementara kelompok nasionalis itu tidak islami.
"Padahal, sebenarnya tidak seperti itu. Yang memperjuangkan bangsa Indonesia sampai merdeka kan semua golongan yang terangkum dalam Bhinneka Tunggal Ika. Tidak perlu dikotomi seperti itu," katanya.
Makanya, kata dia, Muhammadiyah pernah mengemukakan pentingnya untuk menghilangkan sekat-sekat dikotomi kepada mendiang Taufik Kiemas yang perjalanannya dikotomi itu perlahan mulai hilang.
Akan tetapi, Musman mengatakan Presiden Joko Widodo kemudian menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional yang dikhawatirkan akan menumbuhkan kembali dikotomi golongan seperti dulu.
"Jangan kemudian diartikan kami menentang kebijakan pemerintah. Hanya saja, kami mengimbau agar peringatan Hari Santri Nasional jangan sampai menumbuhkan lagi dikotomi golongan," katanya.
Musman mengatakan perjuangan kemerdekaan bukan hanya dilakukan kaum santri, namun seluruh bangsa Indonesia, serta semangat jihad juga bukan muncul setelah adanya resolusi jihad dari ulama.
Namun, ia mengakui resolusi jihad yang diserukan Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari bersama para ulama sangat berpengaruh besar terhadap perjuangan bangsa.
"Makanya, kami mengimbau. Dikotomi yang selama ini kita coba hilangkan jangan sampai tumbuh lagi. Kami ingin mengingatkan untuk terus menumbuhkan semangat kebersamaan," pungkasnya.
Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Antarajateng
Copyright © ANTARA 2024