"Amirul hajj itu pemimpin haji, ada permintaan untuk ibu menteri, itu permintaan khusus menteri. Saya mendapatkan usulannya dari Sesmen (Sekretaris Menteri, Saefuddin Syafii) melalui Direktur Pembinaan (Ahmad Kartono)," kata Anggito dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Anggito menjadi saksi untuk Menteri Agama Suryadharma Ali 2009-2014. Dalam dakwaan disebutkan bahwa pada September 2012, Suryadharma Ali memerintahkan Kepala Bagian Tata Usaha (Sesmen) Kementerian Agama Saefuddin A Syafii untuk membentuk rombongan pendamping Amirul Hajj yang beranggotakan istrinya Wardatul Asriah, staf khusus menteri Ermalena, Guritno Kusumo Dono, Saefuddin A Syafii, Wakil Sekretaris Menteri Abdul Wadud K Anwar, Ivan Adhitira dan Hendri Amri M Saud meski dalam komposisi petugas Amirul Hajj tidak ada alokasi petugas pendamping Amirul Hajj dan tidak ada anggaran untuk posisi tersebut.

"Tidak ada aturan amirul hajj di undang-undang, amirul hajj itu dari Arab Saudi. Itu kewenangan menteri (menunjuk pendamping amirul hajj), kami tidak bisa menjawab," tambah Anggito.

Anggito mengaku tadinya bahwa diusulkan 11 nama sebagai pendamping.

"Pendamping amirul hajj memakai BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji), bukan APBN, tadinya diusulkan 11 orang tapi kami menghemat menjadi 7 orang, karena waktu itu mendesak maka terpaksa pakai BPIH," ungkap Anggito.

Setelah mendapat nota dinas dari Sesmen, Anggito mengaku tidak perlu mengonfirmasi lagi nama-nama tersebut ke Suryadharma.

"Saya sudah jelas membaca itu jadi tidak perlu konfirmasi. SK lalu saya buat, tentu melalui diskusi dengan sekjen dan biro hukum, seharusnya (menteri) tahu semuanya," tambah Anggito.

Selain permintaan menteri mengenai pendamping amirul hajj, Anggito juga mengaku mendapatkan permintaan petugas panitia penyelenggara ibadah haji (PPIH) dari DPR.

"Dari instansi (ada permintaan), termasuk DPR. Ada ketentuan, tapi saya tidak melaksanakan, yang laksanakan direktur. Kita dapat permintaan tidak cuma dari DPR, tapi dari instansi. Proses kita sampaikan ke direktur untuk seleksi kemudian dilaporkan nama-nama yang memenuhi kriteria," jelas Anggito.

Dalam dakwaan disebutkan Anggito menerima permintaan anggota Panja Komisi VIII untuk memasukkan orang-orang yang direkomendasikan sebagai Petugas PPIH yaitu sebanyak 39 orang atas perintah Suryadharma pada 2013 sedangkan pada 2012 ada 971 orang anggota jemaah haji yang berangkat tanpa berdasar antrian nomor porsi .

"Untuk 2012 saya tidak tahu. Saya tanda tangan karena dari proses seleksi Dirjen sebelumnya," tambah Anggito.

Lebih lanjut, Anggito mengakui sulit untuk menemukan PPIH yang memenuhi kriteria sebagai PNS selama 5 tahun.

"Mohon maaf susah sekali untuk mendapatkan PPIH dari PNS karena harus bermukim 90 hari di Arab Saudi dan harus bisa bahasa Arab dan bahasa Inggris, jadi banyak tenaga musiman, wartawan, kyai-kyai yang punya keahlian khusus. Saya termasuk mengkritisi aturan tersebut karena guru ngaji dibutuhkan di sana tapi sedikit sekali yang berstatus PNS, faktanya susah sekali kriteria untuk jadi PPIH," jelas Anggito.

Dalam perkara ini Suryadharma didakwa memperkaya diri sendiri sejumlah Rp1,821 miliar dan memperoleh hadiah 1 lembar potongan kain Kabah (kiswah) serta merugikan keuangan negara sejumlah Rp27,283 miliar dan 17,967 juta riyal (sekitar Rp53,9 miliar) atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut sebagaimana laporan perhitungan kerugian Negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.

Menurut jaksa, Suryadharma melakukan sejumlah perbuatan yaitu menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi persyaratan menjadi Petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi dan mengangkat Petugas Pendamping Amirul Hajj tidak sesuai ketentuan; menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) tidak sesuai dengan peruntukan; mengarahkan Tim penyewaan Perumahan Jemaah Haji Indonesia di Arab Saudi untuk menunjuk penyedia perumahan jemaah Indonesia tidak sesuai ketentuan serta memanfaatkan sisa kuota haji nasional tidak berdasarkan prinsip keadilan dan proporsionalitas.