Kudus, Antara Jateng - Usia anak yang dinilai cukup ideal untuk menonton acara televisi di Tanah Air pada saat usianya genap 14 tahun karena dianggap sudah bisa membedakan informasi yang baik dan tidak baik, kata psikolog Fadli Riza Annur.

"Hal itu merupakan imbauan dari jurnal psikologi bahwa perkembangan otak anak yang dianggap siap menerima informasi ketika usianya sudah mencapai 14 tahun," katanya di aula Universitas Muria Kudus, Minggu.

Fadli yang juga Pengasuh Majelis Tata Jiwa Konselor Jogja Islamic Homeschooling menyampaikan hal itu ketika tampil sebagai pembicara pada seminar bertajuk "Menjadi Orang Tua Cerdas pada Era Digital" yang diselenggarakan oleh Komite Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan SD Islam Terpadu Umar bin Khathab Kudus.

Usia anak yang belum genap 14 tahun, lanjut dia, dianggap belum mampu menyaring informasi yang diterima secara baik dan benar. Ketika mereka terlalu sering menonton televisi, dikhawatirkan akan memengaruhi kepribadian anak.

"Jangan sampai perkembangan kepribadian anak lebih didominasi perkembangan emosinya," kata Fadli.

Apalagi, lanjut dia, tidak semua acara televisi aman untuk anak. Bila sering menonton acara yang berbau kekerasan maupun pornografi tentunya bisa berdampak pada perilaku anak yang masih suka meniru.

Menurut Fadli, anak yang sudah kecanduan menonton film maupun gambar yang berbau pornografi susah menghilangkan memorinya tentang pornografi tersebut.

"Upaya yang bisa dilakukan hanya memperbaikinya agar tidak berdampak makin buruk terhadap perkembangan anak," katanya.

Selain dibatasi usia minimal 14 tahun, lamanya menonton televisi juga harus dibatasi dalam sepekan maksimal 10 jam.

Orang tua yang memanjakan anaknya dengan telepon genggam yang memiliki fasilitas multimedia, kata dia, merupakan tindakan keliru.

Berdasarkan imbauan dari jurnal psikologi, usia anak yang dianggap boleh menggunakan teknologi komunikasi saat menginjak usia 15 tahun.

Pada usia tersebut, kata dia, anak sudah mengerti soal tanggung jawabnya sehingga pemanfaatannya untuk hal-hal yang positif.

"Jangan sampai generasi sekarang justru mengalami autisme sosial yang mengalami kesulitan berinteraksi dengan teman sebayanya," katanya.

Untuk menghindarkan anak dari dampak negatif kemajuan teknologi, menurut dia, sosok orang tua harus hadir di tengah-tengah keluarga dan menjalin komunikasi yang baik dengan anaknya.

"Biasakan menyempatkan waktu untuk bermain dengan anak. Jika memungkinkan, ajak bermain dengan permainan tradisional," ujarnya.

Pembicara lainnya, Ida Nur Laela yang juga psikolog menambahkan bahwa kemajuan teknologi memang sulit dihindari, bahkan anak sekarang terlahir di dunia digital karena lahir langsung tayang di media sosial, seperti Facebook.

Kebiasaan anak, kata dia, biasanya meniru kebiasaan orang tuanya. Dengan demikian, orang tua yang menginginkan anaknya terbebas dari dampak negatif perkembangan teknologi, juga harus mulai menata diri agar saat di rumah tidak sibuk dengan telepon genggam.

Dampak negatif terhadap anak yang kecanduan gawai (gadget), yakni pertumbuan otak terlalu cepat. Namun, defisit perhatian yang disertai gangguan kognitif, anak mudah agresif ketika terpapar tayangan kekerasan, serta berpotensi menimbulkan penyakit mental.

Untuk itu, dia mengimbau orang tua harus menalin komunikasi dengan keluarga secara intens, terutama sosok ayah yang sangat dibutuhkan oleh anak.

Orang tua, kata dia, harus bisa menjadi teladan bagi anaknya dan bertanyalah apakah saat ini sudah pantas menjadi teladan bagi anak atau belum.