Magelang, Antara Jateng - Bukan terbatas pada pementasan berbagai kesenian tradisional dengan latar belakang pemikiran muluk-muluk untuk melestarikan warisan leluhur yang hendak mereka usung dalam Festival Seni Gereja Kristen Jawa Klasis Magelang, Jawa Tengah.

Akan tetapi, dalam festival tahun ketiga pada 2016 ini, mereka lebih pada pilihan salah satu detail pemaknaan hidup sehari-hari setiap keluarga, yakni memandang persoalan dapur rumah tangga yang inspiratif untuk menjadi materi refleksi kehidupan.

Festival Seni GKJ Klasis Magelang pada Kamis (14/7) itu berlangsung di kawasan barat Gunung Merbabu di Dusun Bono, Desa Kajangkoso, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.

Pesta kesenian dan refleksi pemaknaan dapur itu bukan hanya melibatkan jemaat gereja setempat yang meliputi 11 GKJ di Kabupaten dan Kota Magelang, tetapi juga masyarakat umum, terutama dari desa setempat.

Sebanyak 11 GKJ se-Klasis Magelang, yakni GKJ Bono, GKJ Kenalan, GJK Ngablak, GKJ Gumuk, GKJ Grabag Merbabu, GKJ Secang, GKJ Muntilan, GKJ Mertoyudan, GKJ Salaman (Kabupaten Magelang), GKJ Plengkung, dan GKJ Magelang (Kota Magelang).

Hadir dalam pembukaan festival, antara lain Camat Pakis Mashadi, Komandan Koramil Pakis Kapten Subagyo, Kepala Desa Kajangkoso Oky Suskarinta, dan para pemuka masyarakat setempat.

Sekitar 500 orang, baik jemaat GKJ maupun warga umum setempat lainnya, terlibat dalam berbagai pementasan kesenian tradisional dan kreasi baru, drama tari, dan performa tembang berpadu dengan tari.

Pementasan kesenian dalam festival dengan tema "Ngupadi Jatidhiri" (Mencari kepribadian hidup sejati) di halaman rumah warga setempat yang telah dipasangi berbagai instalasi seni berbahan baku alam, seperti jerami, anyaman bambu, dan dedaunan.

Setelah beberapa saat jemaat berdoa dalam bahasa Jawa di dalam gedung GKJ Bono dipimpin Ketua Bidang Pembinaan Warga Gereja (PWG) GKJ Klasis Magelang Pendeta Gledis Yunia Debora Angelita, mereka kemudian bersama-sama warga dan pemuka masyarakat setempat yang masing-masing berpakaian Jawa, arak-arakan budaya dengan berjalan kaki sejauh sekitar 100 meter menuju tempat pementasan.

Berbagai kesenian yang dipentaskan, antara lain tarian soreng, warok, grasak, topeng ireng, warok bocah, klotekan, dan panembrama.

Tentang kebersamaan dalam suasana persaudaraan antarmasyarakat setempat, sepertinya terunggah dalam tembang berbahasa Jawa yang dilantunkan jemaat di dalam gereja setempat.

"'Endahe saduluran manut rehing Pangeran, sami dene ngajeni, wah mbiyantoni nadyan beda agama wah beda golongan, tunggal rasa pembekan pri kamanungsan'," begitu syair tembang itu.

Tembang itu kira-kira tentang indahnya hidup antarmanusia dalam suasana persaudaraan dengan saling menghormati meskipun berbeda-beda agama dan golongan, sebab antarsesama saling membantu dan merasa satu nilai, yakni kemanusiaan.

Suasana langit yang cerah di kawasan Gunung Merbabu terkesan menyemarakkan arak-arakan peserta festival yang mengenakan berbagai pakaian tarian tradisional dan tabuhan alat musik gamelan.

Dalam arak-arakan, mereka juga mengusung berbagai alat dapur rumah tangga terbuat dari anyaman bambu, seperti kukusan, ceting, tenggok, irus, dan kalo, dengan masing-masing alat itu diletakkan di atas nampan terbuat dari kayu.

Setiap nampan dengan alat-alat dapur tersebut, antara lain dihiasi dengan beras, sayuran, dan bunga. Seorang perempuan membawa kendi berhias janur dan berisi air, sedangkan 11 orang yang berpakaian adat Jawa, masing-masing membawa tumpeng.

Camat Pakis Mashadi mengapresiasi festival yang melibatkan jemaat GKJ setempat bersama masyarakat umum, karena selain menjadi ajang silaturahim mereka, juga memperkuat semangat kehidupan bersama di kawasan pedesaan setempat.

"Terus dijaga kerukunan ini. Ini ajang silaturahmi yang penting," katanya saat pembukaan festival ditandai dengan pemukulan gong oleh para pemuka jemaat dan tokoh warga setempat diiringi tabuhan gamelan secara semarak.

Ketua Panitia Pengarah Festival Seni GKJ Klasis Magelang Sih Agung Prasetyo menyebut kegiatan tersebut dikemas secara kerakyatan untuk memperkuat jalinan silaturahim antara jemaat gereja dengan masyarakat umum.

Kegiatan yang bersifat kerakyatan itu, menjadi sarana komunitas bersama antarmasyarakat.

"Sasaran pemaknaan juga menyangkut kepentingan masyarakat umum, yakni tentang dapur," katanya.

Sih Agung yang juga dalang muda Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang itu, menjelaskan tentang posisi penting dapur di setiap rumah tangga yang harus selalu menjadi perhatian setiap orang.

"Jangan lagi dapur diremehkan dan terkesan kumuh, karena di dapur itulah keluarga-keluarga membuat menu makanan untuk mereka santap setiap hari maupun jamuan penghormatan kepada tamu. Tumpeng yang diusung dalam arak-arakan adalah simbol dari hasil kerja dapur," ujarnya.

Pendeta Gledis yang juga pimpinan jemaat GKJ Plengkung Kota Magelang itu, menyebut dapur sebagai sumber kehidupan sehari-hari setiap orang dan keluarga.

Dapur, katanya, selalu ditempatkan di bagian belakang dalam setiap pembangunan rumah. Hal itu, masih tampak hingga saat ini di rumah-rumah warga, baik di kawasan pedesaan maupun perkotaan.

"Meski dapur ada di belakang, tetapi posisinya sangat penting, bahkan tak jarang menjadi tempat berkumpul keluarga, berbincang-bincang sambil makan bersama," katanya.

Adanya kalimat akrab dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, "Mangan ra mangan, nanging kumpul" (Makan ataupun tidak makan, tetapi berkumpul), tentunya tidak lepas dari perspektif positif yang penting tentang keberadaan dapur dalam setiap rumah tangga.

Disebut pula oleh Pendeta Gledis bahwa posisi dapur juga bagian penting dari terbangunnya kedamaian hidup keluarga yang kemudian merambah hingga kedamaian masyarakat sekitar, bangsa, dan negara.

"Karena kehidupan yang penuh kedamaian dimulai sejak dari rumah," ujarnya.