Pakar: Right to be Forgotten UU ITE harus Utamakan Publik
Senin, 28 November 2016 12:47 WIB
Pengesahan UU Merek Dan Revisi UU ITE Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kedua kiri) bersama Menkominfo Rudiantara (kiri) mengikuti rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/10/2016). (ANTARA /Puspa Perwitasari)
Jakarta Antara Jateng - Hak untuk dilupakan kesalahannya, right to be forgotten, yang terdapat dalam revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau yang lebih dikenal sebagai UU ITE, menurut pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan perlu dilakukan selama memperhatikan kepentingan publik.
“Dari sudut hukum pidana, saya kira setuju karena hukuman bertujuan untuk mengembalikan ke masyarakat, jadi, tentu hak semacam itu penting untuk orang itu,†kata Agustinus saat dihubungi melalui telepon, Senin.
Agustinus mengatakan hukuman yang diberikan bertujuan untuk resosialisasi ke masyarakat sehingga pada titik tertentu, orang yang pernah terlibat pidana dapat kembali ke masyarakat.
Tetapi, Agustinus melihat potensi masalah dalam penambahan right to be forgotten di pasal 26 tersebut. Menurutnya, penambahan dapat bersinggungan dengan kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Ia memberi contoh kasus pelaku kejahatan seksual yang telah selesai menjalani hukuman dan akan kembali ke masyarkat.
Masyarakat perlu tahu bahwa di lingkungan tempat tinggalnya akan dihuni oleh orang yang pernah melakukan kejahatan.
“Kepentingan publik yang diutamakan. Kalau berpotensi membahayakan, peringatan semacam itu perlu diberikan,†kata pengampu mata kuliah hukum pidana dan kriminologi itu.
Rincian mengenai hak tersebut dapat dimasukkan ke peraturan pemerintah (PP) untuk mengetahui pelaksanaan, termasuk mengatur benturan dengan hak lain, seperti kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Peraturan tersebut, menurut Agustinus, bertujuan untuk membangun nilai baru namun pada titik tertentu, semua pihak harus menyadari bahwa pada titik tertentu, hukuman selesai.
“Dari sudut hukum pidana, saya kira setuju karena hukuman bertujuan untuk mengembalikan ke masyarakat, jadi, tentu hak semacam itu penting untuk orang itu,†kata Agustinus saat dihubungi melalui telepon, Senin.
Agustinus mengatakan hukuman yang diberikan bertujuan untuk resosialisasi ke masyarakat sehingga pada titik tertentu, orang yang pernah terlibat pidana dapat kembali ke masyarakat.
Tetapi, Agustinus melihat potensi masalah dalam penambahan right to be forgotten di pasal 26 tersebut. Menurutnya, penambahan dapat bersinggungan dengan kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Ia memberi contoh kasus pelaku kejahatan seksual yang telah selesai menjalani hukuman dan akan kembali ke masyarkat.
Masyarakat perlu tahu bahwa di lingkungan tempat tinggalnya akan dihuni oleh orang yang pernah melakukan kejahatan.
“Kepentingan publik yang diutamakan. Kalau berpotensi membahayakan, peringatan semacam itu perlu diberikan,†kata pengampu mata kuliah hukum pidana dan kriminologi itu.
Rincian mengenai hak tersebut dapat dimasukkan ke peraturan pemerintah (PP) untuk mengetahui pelaksanaan, termasuk mengatur benturan dengan hak lain, seperti kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Peraturan tersebut, menurut Agustinus, bertujuan untuk membangun nilai baru namun pada titik tertentu, semua pihak harus menyadari bahwa pada titik tertentu, hukuman selesai.
Pewarta : Antaranews
Editor : Totok Marwoto
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Erick Thohir ungkap rencana IPO dan "right issue" sejumlah BUMN 2022
02 December 2021 13:44 WIB, 2021
Terpopuler - Hukum dan Kriminal
Lihat Juga
"Garis Bawahi Ya Hanya kamaludin yang Minta Uang,Patrialis tidak Pernah," kata Basuki
01 February 2017 18:16 WIB, 2017
Pengacara Minta Penyidik Menyelidiki Laporan agar Membongkar Kasus Rekayasa Antasari
01 February 2017 16:25 WIB, 2017