Para Antropolog Minta Presiden Beri Perhatian Tiga Faktor Pemicu Intoleransi
Senin, 16 Januari 2017 16:44 WIB
Ibadah Natal Seberang Istana Jemaat GKI Yasmin Bekasi dan HKBP Filadelfia Bogor mengikuti ibadah perayaan Natal di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (25/12/2016). Mereka meminta Presiden Joko Widodo melindungi hak-hak warga negara untuk beriba
Jakarta, ANTARA JATENG - Para antropolog yang tergabung dalam Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhineka dan Inklusif (AUI) mengungkapkan tiga faktor yang memicu intoleransi di bangsa Indonesia.
"Pada intinya yang kami sampaikan intoleransi yang berkembang saat ini multidimensi. Banyak faktor yang menyebabkannya, tapi kami menekankan ke Presiden untuk memberikan perhatian kepada tiga persoalan utama," kata Yando Zakaria, antropolog dari AUI dalam konferensi pers seusai menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kantor Presiden Jakarta, Senin.
Ada 12 orang antropolog yang tergabung dalam AUI menemui Presiden Jokowi pada hari Senin. Mereka menyampaikan petisi mengenai kondisi bangsa Indonesia yang dinilai mengalami darurat Pancasila. Petisi itu ditandatangani 300 orang pakar.
"Pertama adalah dunia pendidikan, karena persoalan-persoalan intoleransi ini, berdasarkan pengamatan kami dimulai dari tingkat pendidikan paling dasar di tingkat PAUD (pendidikan anak usia dini) hingga perguruan tinggi. Kami minta Presiden agar pelaksanaan dunia pendidikan ini jangan sampai menjadi arena untuk memperkuat sektarian," tambah Yando.
Faktor kedua adalah terjadinya ketidakadilan dalam ekonomi termasuk pembagian pemanfaatan sumber daya alam.
"Kedua, intoleransi berpangkal pada ketidakadilan pada ekonomi, termasuk pembagian pemerataan sumber daya alam. Dalam konteks ini kami menyambut baik program Presiden Jokowi yang memproklamirkan reformasi agrarianya dengan distribusi 12,7 juta hektare (kepada rakyat), tapi kami juga ingin memastikan bahwa niat baik itu jangan sampai menimbulkan persoalan baru pada belakangan hari agar orang-orang yang menerima distribusi tanah benar-benar orang yang marginal," ungkap Yendo.
Pada Desember 2016 lalu, Presiden Jokowi memulai program reformasi agraria dengan rencana pembagian 12,7 juta hektare lahan akan dibagikan ke rakyat untuk menjadi konsesi tanah adat dan konsesi koperasi. Namunhingga saat ini baru 13 tanah ada yang dibagikan.
"Ketiga, akar intoleransi berpangkal pada proses hukum baik penegakan hukum dan banyak peraturan perundangan kita yang masih belum mengimplementasikan semangat keberagaman," ungkap Yando.
Salah satu contoh yang disebutkan Yando misalnya para pemeluk kepercayaan di luar enam agama resmi yang diakui negara masih tidak mendapatkan ases ke pelayanan publik seperti para pemeluk agama yang diakui negara.
"Hari ini dari sisi kepercayaan banyak saudara-saudara kita di luar enam agama resmi menjadi terdiskriminasi tidak dapat pelayanan publik, tidak dapat melanjutkan sekolah akibat kebijakan kita terhadap persoalan agama. Jadi ada persoalan hukum yang kami lihat perlu disempurnakan," jelas Yando.
(Baca juga: Polri ungkap tiga tantangan kasus intoleransi)
Selanjutnya ada juga peraturan hukum yang perlu ditinjau seperti UU Penistaan Agama.
Aturan yang biasa digunakan dalam kasus penistaan agama yaitu Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a dalam KUHP. Aturan terakhir dipakai untuk menjerat Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Poernama dalam kasus penistaan agama.
"(Agar pemerintah) berpikir ulang (mengenai) UU Penistaan Agama, ini bukan persoalan sederhana atau dari perspektif antropologi ini menjadi sangat begitu relatif dan sangat berbahaya ketika itu dipolitisasi," tambah Yando.
Yando juga menegaskan petisi itu tidak mewakili kelompok politik tertentu.
"Kami menggunakan basis antropologi, jadi kami bebas tidak terkait dengan kekuatan politik tertentu," ungkap Yando.
"Pada intinya yang kami sampaikan intoleransi yang berkembang saat ini multidimensi. Banyak faktor yang menyebabkannya, tapi kami menekankan ke Presiden untuk memberikan perhatian kepada tiga persoalan utama," kata Yando Zakaria, antropolog dari AUI dalam konferensi pers seusai menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kantor Presiden Jakarta, Senin.
Ada 12 orang antropolog yang tergabung dalam AUI menemui Presiden Jokowi pada hari Senin. Mereka menyampaikan petisi mengenai kondisi bangsa Indonesia yang dinilai mengalami darurat Pancasila. Petisi itu ditandatangani 300 orang pakar.
"Pertama adalah dunia pendidikan, karena persoalan-persoalan intoleransi ini, berdasarkan pengamatan kami dimulai dari tingkat pendidikan paling dasar di tingkat PAUD (pendidikan anak usia dini) hingga perguruan tinggi. Kami minta Presiden agar pelaksanaan dunia pendidikan ini jangan sampai menjadi arena untuk memperkuat sektarian," tambah Yando.
Faktor kedua adalah terjadinya ketidakadilan dalam ekonomi termasuk pembagian pemanfaatan sumber daya alam.
"Kedua, intoleransi berpangkal pada ketidakadilan pada ekonomi, termasuk pembagian pemerataan sumber daya alam. Dalam konteks ini kami menyambut baik program Presiden Jokowi yang memproklamirkan reformasi agrarianya dengan distribusi 12,7 juta hektare (kepada rakyat), tapi kami juga ingin memastikan bahwa niat baik itu jangan sampai menimbulkan persoalan baru pada belakangan hari agar orang-orang yang menerima distribusi tanah benar-benar orang yang marginal," ungkap Yendo.
Pada Desember 2016 lalu, Presiden Jokowi memulai program reformasi agraria dengan rencana pembagian 12,7 juta hektare lahan akan dibagikan ke rakyat untuk menjadi konsesi tanah adat dan konsesi koperasi. Namunhingga saat ini baru 13 tanah ada yang dibagikan.
"Ketiga, akar intoleransi berpangkal pada proses hukum baik penegakan hukum dan banyak peraturan perundangan kita yang masih belum mengimplementasikan semangat keberagaman," ungkap Yando.
Salah satu contoh yang disebutkan Yando misalnya para pemeluk kepercayaan di luar enam agama resmi yang diakui negara masih tidak mendapatkan ases ke pelayanan publik seperti para pemeluk agama yang diakui negara.
"Hari ini dari sisi kepercayaan banyak saudara-saudara kita di luar enam agama resmi menjadi terdiskriminasi tidak dapat pelayanan publik, tidak dapat melanjutkan sekolah akibat kebijakan kita terhadap persoalan agama. Jadi ada persoalan hukum yang kami lihat perlu disempurnakan," jelas Yando.
(Baca juga: Polri ungkap tiga tantangan kasus intoleransi)
Selanjutnya ada juga peraturan hukum yang perlu ditinjau seperti UU Penistaan Agama.
Aturan yang biasa digunakan dalam kasus penistaan agama yaitu Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a dalam KUHP. Aturan terakhir dipakai untuk menjerat Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Poernama dalam kasus penistaan agama.
"(Agar pemerintah) berpikir ulang (mengenai) UU Penistaan Agama, ini bukan persoalan sederhana atau dari perspektif antropologi ini menjadi sangat begitu relatif dan sangat berbahaya ketika itu dipolitisasi," tambah Yando.
Yando juga menegaskan petisi itu tidak mewakili kelompok politik tertentu.
"Kami menggunakan basis antropologi, jadi kami bebas tidak terkait dengan kekuatan politik tertentu," ungkap Yando.
Pewarta : Antaranews
Editor : Totok Marwoto
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Antropolog Prancis Pelajari Kebijakan Relokasi Pasca Letusan Gunung Merapi
20 September 2017 12:47 WIB, 2017
Antropolog: Siapapun Presiden Timor Leste, Indonesia Tetap Dipandang Penting
03 April 2017 16:57 WIB, 2017
Antropolog Minta Masyarakat tidak Melakukan Intervensi Berlebihan pada Suku Pedalaman
27 March 2017 17:13 WIB, 2017
Terpopuler - Umum
Lihat Juga
Kak Seto Minta Dinsos Awasi Panti agar tidak Terjadi Tindak Kekerasan
31 January 2017 15:39 WIB, 2017
Ketinggian Air Bengawan Solo di Lamongan Siaga I , Daerah Hilir diminta Waspada
31 January 2017 11:31 WIB, 2017
Khofifah Bangga Lahir dari "Rahim" NU Dibesarkan dalam Tradisi Organisasi Islam
31 January 2017 11:22 WIB, 2017
Menlu: 24 Jenazah Korban Kapal sudah Ditemukan, Delapan Siap Dipulangkan
27 January 2017 18:48 WIB, 2017
Menlu Pastikan Endah Cakrawati menjadi Korban Pesawat Jatuh di Australia
27 January 2017 17:38 WIB, 2017