Biar Penyadapan Tidak Liar, Perlu Pusat Intersepsi
Kamis, 2 Februari 2017 19:08 WIB
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) Pratama Persadha. (Dok. CISSReC)
Semarang, ANTARA JATENG - Biar penyadapan tidak liar, Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Centre (CISSReC) memandang perlu Indonesia memiliki pusat intersepsi menyusul ramainya perdebatan mengenai penyadapan di publik.
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) Pratama Persadha melalui surat elektroniknya kepada Antara di Semarang, Kamis malam, mengatakan bahwa sudah waktunya Indonesia memiliki pusat intersepsi nasional yang kredibel.
Ia menjelaskan bahwa pusat intersepsi itu bertugas mengawasi tindak penyadapan di Indonesia. Adapun tujuannya agar penyadapan tidak dilakukan sembarang pihak dan tidak melebihi izin pengadilan.
"Akan lebih elok dan kuat secara legal jika keberadaan lembaga nantinya bisa diakomodasi oleh UU Penyadapan," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).
Pratama mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Ahok dan tim pengacaranya yang mengklaim mempunyai transkrip percakapan antara presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua MUI sekaligus Rais Am NU Ma¿ruf Amin.
Situasi bertambah hangat karena ditengarai terjadi penyadapan ilegal terhadap SBY dan Ma¿ruf Amin. Keadaan ini makin kacau dengan kosongnya aturan tentang penyadapan, kata Pratama.
Dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), lanjut dia, memang mengatur penyadapan pada Pasal 31 Ayat (4). Pasal tersebut memberikan wewenang pada pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah tentang penyadapan.
Namun, kata pakar keamanan siber itu, sejak 2011 pasal tersebut sudah dihapus Mahkamah Konstitusi. MK memberi fatwa agar segera dibuat undang-undang yang mengatur penyadapan.
Pratama menegaskan bahwa kekosongan regulasi itu bisa membuat penyadapan menjadi liar dan bebas terjadi. Oleh karena itu, perlu dibuat regulasi yang jelas agar situasi ini tidak terus berlarut-larut.
Ia berpendapat bahwa kelak regulasi tersebut harus memperjelas siapa saja yang berwenang menyadap, bagaimana izinnya bisa keluar, dan bagaimana perlindungan terhadap masyarakat.
Sebenarnya, lanjut dia, liarnya penyadapan ini sudah diingatkan oleh Snowden beberapa tahun terakhir. Perkembangan teknologi penyadapan berkembang pesat dan banyak pilihan.
"Seharusnya alat sadap hanya dijual ke pemerintah atau istilahnya 'government to government'. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan pihak 'non-state' juga membeli lewat pasar gelap," katanya.
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) Pratama Persadha melalui surat elektroniknya kepada Antara di Semarang, Kamis malam, mengatakan bahwa sudah waktunya Indonesia memiliki pusat intersepsi nasional yang kredibel.
Ia menjelaskan bahwa pusat intersepsi itu bertugas mengawasi tindak penyadapan di Indonesia. Adapun tujuannya agar penyadapan tidak dilakukan sembarang pihak dan tidak melebihi izin pengadilan.
"Akan lebih elok dan kuat secara legal jika keberadaan lembaga nantinya bisa diakomodasi oleh UU Penyadapan," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).
Pratama mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Ahok dan tim pengacaranya yang mengklaim mempunyai transkrip percakapan antara presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua MUI sekaligus Rais Am NU Ma¿ruf Amin.
Situasi bertambah hangat karena ditengarai terjadi penyadapan ilegal terhadap SBY dan Ma¿ruf Amin. Keadaan ini makin kacau dengan kosongnya aturan tentang penyadapan, kata Pratama.
Dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), lanjut dia, memang mengatur penyadapan pada Pasal 31 Ayat (4). Pasal tersebut memberikan wewenang pada pemerintah untuk membuat peraturan pemerintah tentang penyadapan.
Namun, kata pakar keamanan siber itu, sejak 2011 pasal tersebut sudah dihapus Mahkamah Konstitusi. MK memberi fatwa agar segera dibuat undang-undang yang mengatur penyadapan.
Pratama menegaskan bahwa kekosongan regulasi itu bisa membuat penyadapan menjadi liar dan bebas terjadi. Oleh karena itu, perlu dibuat regulasi yang jelas agar situasi ini tidak terus berlarut-larut.
Ia berpendapat bahwa kelak regulasi tersebut harus memperjelas siapa saja yang berwenang menyadap, bagaimana izinnya bisa keluar, dan bagaimana perlindungan terhadap masyarakat.
Sebenarnya, lanjut dia, liarnya penyadapan ini sudah diingatkan oleh Snowden beberapa tahun terakhir. Perkembangan teknologi penyadapan berkembang pesat dan banyak pilihan.
"Seharusnya alat sadap hanya dijual ke pemerintah atau istilahnya 'government to government'. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan pihak 'non-state' juga membeli lewat pasar gelap," katanya.
Pewarta : Rilis CISSReC
Editor : Kliwon
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Dewas KPK terbitkan 186 izin sadap, geledah, dan sita sepanjang 2021
18 January 2022 14:32 WIB, 2022
Terpopuler - OLAHRAGA
Lihat Juga
Wartawan Metro TV Adukan Pemukulan Saat Meliput Aksi "112" pada Polisi
12 February 2017 6:44 WIB, 2017
Polda Bali Jadwalkan Periksa Dua Saksi Munarman Pengelola Laman FPI
10 February 2017 15:42 WIB, 2017
Novel Bamukmin Tak Hadiri Pemeriksaan Polisi Terkait Saksi Pencucian Uang
10 February 2017 14:57 WIB, 2017
Ketua MA: Pemeriksaan Hakim Memiliki Potensi Besar Hilangkan Independensi Hakim
09 February 2017 17:46 WIB, 2017