Mohamad Nasir: Sisi Sosial Hambat Pengembangan PLTN
Minggu, 16 April 2017 17:12 WIB
Menristekdikti Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir. (ANTARA FOTO/Yusran Uccang)
Yogyakarta, ANTARA JATENG - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
(Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan kemungkinan pengembangan
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia hanya terhambat
dari sisi sosial saja.
"Kemarin kami ke Bangka-Belitung, kami coba bahas pengembangan PLTN. Orang berpikir tenaga nuklir itu menakutkan, sementara dunia sudah mengarah ke sana semua," kata Menristekdikti di Yogyakarta, Minggu.
Ia mencontohkan Prancis yang sangat bergantung dengan PLTN. Sedangkan Uni Emirat Arab, negara di Asia dengan cadangan minyak nomor empat terbesar di dunia juga kini mulai mengembangkan PLTN.
"Ada empat PLTN yang mereka kembangkan, masing-masing memiliki kapasitas 1.500 Mega Watt sehingga total energi listrik yang dihasilkan mencapai 5.600 MW. Kalau yang seperti ini bisa kembangkan, kebutuhan Jawa akan selesai," kata Nasir.
Problem pengembangan PLTN di Indonesia, menurut dia, hanya terletak pada penerimaan masyarakatnya yang masih takut dengan keberadaan pembangkit listrik bertenaga nuklir.
Padahal teknologi pembangkit listrik dengan nuklir sudah pada Generasi 4, dengan desain dan teknologi sedemikian rupa reaktor akan otomatis berhenti bekerja ketika terjadi bencana seperti gempa bumi. Generasi 4 yang bernama High Temperature Gas-Cooled Reactor (HTGR) ini, Nasir mengatakan telah dikembangkan Prancis dan Rusia.
"Kalau yang dipakai di Fukushima, Jepang, itu yang generasi pertama," lanjutnya.
Sejauh ini Indonesia sudah mempunyai empat reaktor untuk skala laboratorium sejak 1955, yang berlokasi di Yogyakarta, Bandung, Serpong dan Jakarta. Dan itu digunakan untuk bidang pangan dan kesehatan.
"Artinya kita punya pengalaman untuk kelola teknologi ini dengan aman. Yang kita inginkan bagaimana risetnya ditingkatkan untuk bisa digunakan ke level energi," ujar Nasir.
Kalau urusan komersialnya tentu kewenangannya ada di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Sedangkan bahan bakunya, ia mengatakan semua tersedia di Indonesia, baik Uranium maupun Thorium.
"Kemarin kami ke Bangka-Belitung, kami coba bahas pengembangan PLTN. Orang berpikir tenaga nuklir itu menakutkan, sementara dunia sudah mengarah ke sana semua," kata Menristekdikti di Yogyakarta, Minggu.
Ia mencontohkan Prancis yang sangat bergantung dengan PLTN. Sedangkan Uni Emirat Arab, negara di Asia dengan cadangan minyak nomor empat terbesar di dunia juga kini mulai mengembangkan PLTN.
"Ada empat PLTN yang mereka kembangkan, masing-masing memiliki kapasitas 1.500 Mega Watt sehingga total energi listrik yang dihasilkan mencapai 5.600 MW. Kalau yang seperti ini bisa kembangkan, kebutuhan Jawa akan selesai," kata Nasir.
Problem pengembangan PLTN di Indonesia, menurut dia, hanya terletak pada penerimaan masyarakatnya yang masih takut dengan keberadaan pembangkit listrik bertenaga nuklir.
Padahal teknologi pembangkit listrik dengan nuklir sudah pada Generasi 4, dengan desain dan teknologi sedemikian rupa reaktor akan otomatis berhenti bekerja ketika terjadi bencana seperti gempa bumi. Generasi 4 yang bernama High Temperature Gas-Cooled Reactor (HTGR) ini, Nasir mengatakan telah dikembangkan Prancis dan Rusia.
"Kalau yang dipakai di Fukushima, Jepang, itu yang generasi pertama," lanjutnya.
Sejauh ini Indonesia sudah mempunyai empat reaktor untuk skala laboratorium sejak 1955, yang berlokasi di Yogyakarta, Bandung, Serpong dan Jakarta. Dan itu digunakan untuk bidang pangan dan kesehatan.
"Artinya kita punya pengalaman untuk kelola teknologi ini dengan aman. Yang kita inginkan bagaimana risetnya ditingkatkan untuk bisa digunakan ke level energi," ujar Nasir.
Kalau urusan komersialnya tentu kewenangannya ada di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Sedangkan bahan bakunya, ia mengatakan semua tersedia di Indonesia, baik Uranium maupun Thorium.
Pewarta : Virna P Setyorini
Editor :
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
BPJAMSOSTEK genjot kepesertaan 40 persen dengan optimalisasi ekosistem desa
10 October 2024 14:06 WIB