NSA di balik serangan siber global "ransomware"?
Senin, 15 Mei 2017 16:17 WIB
Serangan Malware Ransomware WannaCry (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Jakarta, ANTARA JATENG - Portal berita uang digital Bitcoin,
bitcoinist.com, mensinyalir Bada Keamanan Nasional Amerika Serikat
(NSA), ada di balik serangan siber "ransomeware" karena peretas yang
menyerang komputer di seluruh dunia meminta para pengguna komputer
menyetorkan uang dalam Bitcoin sehingga pasar Bitcon menjadi kelebihan
pasokan untuk kemudian memangkas nilai mata uang digital yang dianggap
menjadi ancaman bagi mata uang utama konvensional ini.
"Jumat (pekan lalu) Bitcoin mengalami salah satu penurunan paling tajam dalam beberapa bulan, terpangkas sekitar 10 persen nilai pasarnya setelah tiga pekan berturut-turut mendapatkan pasokan luas biasa besar. Pertanyaannya adalah mengapa? Jawabannya mungkin terletak pada 'The Deep State' atau lebih khusus lagi, NSA," tulis laman bitcoinist.com.
Sehari sebelum Jumat itu serangan siber besar-besaran menghajar 100-an negara di seluruh dunia yang merupakan serangan siber terbesar dalam sejarah.
Serangan "ransomware" itu mengenkripsi file-file atau dokumen-dokumen digital dari mereka yang ditimpa serangan siber itu sehingga sekitar 125 ribu komputer seluruh dunia terdampak oleh serangan ini.
Program ransomware yang menyebut diri "WannaCry" itu menuntut tebusan 300 dolar AS dalam bentuk Bitcoin sebagai imbal balik atas kata sandi yang digunakan untuk mendekripsi dokumen-dokumen digital dalam komputer yang sudah diserang.
Ulah ini, sebut bitcoinist.com, telah mendevaluasi nilai Bitcoin di seluruh dunia sampai 11 persen, sedangkan waktu atau timing serangan berbarengan dengan jatuhnya nilai pasar Bitcoin.
Malware atau program jahat ini tersedia online pada 14 April oleh sekelompok hacker bernama Shadow Brokers yang tahun lalu mengaku telah mencuri cache "senjata siber" dari NSA.
"Pertanyaannya yang muncul dari semua ini adalah apakah benar-benar telah dicuri dari NSA atau apakah sengaja tersedia untuk digunakan di masa depan untuk dan melawan kepentingan mereka? Apakah ini medan program yang dibuat untuk ditujukan sebagai permainan perang siber di masa depan?", tanya bitcoinist.com.
Beberapa kalangan, sebut laman ini, menuding serangan siber global ini diorkestrasi oleh NSA untuk mengambinghitamkan Bitcoin sebagai alat teroris sehingga memberi citra buruk mata uang digital ini di seluruh dunia.
"Apakah NSA dan The Deep State menggunakan game perang siber untuk menyerang Bitcoin dengan tujuan akhir mendapatkan keuntungan politis dalam rangka regulasi dan pengawasan jejaring keuangan terdesentralisasi secara global (Bitcon) ini?," tulis bitcoinist.com lagi.
Pertanyaan ini diajukan berdasarkan pengalaman bahwa di masa lalu Bitcoin pernah menjadi target serangan siber yang juga menggunakan ransomware.
Adanya aktor negara di balik serangan itu didasarkan pada fakta bahwa sebelum ini tidak ada serangan siber yang terokestrai seluas seperti sekarang.
"Untuk menyerang sekitar 70 negara dengan puluhan ribu serangan, selama berjam-jam, termasuk kekuatan-kekuatan ekonomi besar dunia Inggris, AS, Jerman dan Rusia, Anda mesti punya database luar biasa dari mana asal Anda menyerang, ditambah koordinasi dan akses komputer yang kemungkinan besar jauh di atas rata-rata kuasa Bitcoin," tulis bitcoinist.com.
Jika Bitcoin dianggap ancaman terhadap elite perbankan dan mata uang dunia, maka adalah soal waktu bagi tamatnya riwayat Bitcoin, tutup laman uang digital ini.
"Jumat (pekan lalu) Bitcoin mengalami salah satu penurunan paling tajam dalam beberapa bulan, terpangkas sekitar 10 persen nilai pasarnya setelah tiga pekan berturut-turut mendapatkan pasokan luas biasa besar. Pertanyaannya adalah mengapa? Jawabannya mungkin terletak pada 'The Deep State' atau lebih khusus lagi, NSA," tulis laman bitcoinist.com.
Sehari sebelum Jumat itu serangan siber besar-besaran menghajar 100-an negara di seluruh dunia yang merupakan serangan siber terbesar dalam sejarah.
Serangan "ransomware" itu mengenkripsi file-file atau dokumen-dokumen digital dari mereka yang ditimpa serangan siber itu sehingga sekitar 125 ribu komputer seluruh dunia terdampak oleh serangan ini.
Program ransomware yang menyebut diri "WannaCry" itu menuntut tebusan 300 dolar AS dalam bentuk Bitcoin sebagai imbal balik atas kata sandi yang digunakan untuk mendekripsi dokumen-dokumen digital dalam komputer yang sudah diserang.
Ulah ini, sebut bitcoinist.com, telah mendevaluasi nilai Bitcoin di seluruh dunia sampai 11 persen, sedangkan waktu atau timing serangan berbarengan dengan jatuhnya nilai pasar Bitcoin.
Malware atau program jahat ini tersedia online pada 14 April oleh sekelompok hacker bernama Shadow Brokers yang tahun lalu mengaku telah mencuri cache "senjata siber" dari NSA.
"Pertanyaannya yang muncul dari semua ini adalah apakah benar-benar telah dicuri dari NSA atau apakah sengaja tersedia untuk digunakan di masa depan untuk dan melawan kepentingan mereka? Apakah ini medan program yang dibuat untuk ditujukan sebagai permainan perang siber di masa depan?", tanya bitcoinist.com.
Beberapa kalangan, sebut laman ini, menuding serangan siber global ini diorkestrasi oleh NSA untuk mengambinghitamkan Bitcoin sebagai alat teroris sehingga memberi citra buruk mata uang digital ini di seluruh dunia.
"Apakah NSA dan The Deep State menggunakan game perang siber untuk menyerang Bitcoin dengan tujuan akhir mendapatkan keuntungan politis dalam rangka regulasi dan pengawasan jejaring keuangan terdesentralisasi secara global (Bitcon) ini?," tulis bitcoinist.com lagi.
Pertanyaan ini diajukan berdasarkan pengalaman bahwa di masa lalu Bitcoin pernah menjadi target serangan siber yang juga menggunakan ransomware.
Adanya aktor negara di balik serangan itu didasarkan pada fakta bahwa sebelum ini tidak ada serangan siber yang terokestrai seluas seperti sekarang.
"Untuk menyerang sekitar 70 negara dengan puluhan ribu serangan, selama berjam-jam, termasuk kekuatan-kekuatan ekonomi besar dunia Inggris, AS, Jerman dan Rusia, Anda mesti punya database luar biasa dari mana asal Anda menyerang, ditambah koordinasi dan akses komputer yang kemungkinan besar jauh di atas rata-rata kuasa Bitcoin," tulis bitcoinist.com.
Jika Bitcoin dianggap ancaman terhadap elite perbankan dan mata uang dunia, maka adalah soal waktu bagi tamatnya riwayat Bitcoin, tutup laman uang digital ini.
Pewarta : Bitcoinist.com
Editor :
Copyright © ANTARA 2024