Survei: Sebagian Besar Orang Kehilangan Kepercayaan pada Media
Jumat, 23 Juni 2017 8:45 WIB
Sejumlah warga mengakses media sosial melalui telepon pintar (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
London, ANTARA JATENG - Sebagian besar orang sudah kehilangan kepercayaan
pada media arus utama dan lebih curiga terhadap media sosial, demikian
temuan sebuah jajak pendapat pada Kamis.
Edisi terbaru Digital News Report dari lembaga kajian jurnalistik, Reuters Institute for the Study of Journalism, menemukan adanya kecurigaan tinggi terhadap berita dan komentar. Sekitar 33 persen dari 70.000 responden dari 36 negara mengaku tidak bisa mempercayai kebenaran berita, lapor Reuters.
Hanya 24 persen responden yang percaya bahwa media sosial melakukan tugas yang baik dalam memisahkan fakta dari hasil karangan, sementara media arus utama mendapat suara 40 persen menyangkut tugas yang sama.
Di sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, para responden punya kecenderungan jauh lebih besar untuk percaya pada media arus utama yang dianggap mampu menghentikan penyebaran berita bohong.
Sementara di negara lain seperti Yunani, para warga lebih percaya pada media sosial.
"Meski media arus utama tidak dipercaya, mereka masih punya tingkat kepercayaan dua kali lipat lebih tinggi untuk memisahkan fakta dari fiksi dibanding media sosial," kata Nic Newman, kepala tim penulis edisi keenam Digital News Report.
"Berita bohong sebenarnya merupakan kabar baik bagi jurnalisme, karena bisa menjadi kesempatan untuk membangun kembali nilai penting mereka bagi masyarakat dan fokus pada kualitas," kata Newman.
Dia mengatakan bahwa banyaknya berita bohong membuat orang rela membayar mahal untuk mendapatkan berita dari media terpercaya. Saat ini, 16 persen warga Amerika Serikat bersedia berlangganan berita dibanding sembilan persen pada waktu sebelumnya. Bukti yang ada juga menunjukkan kecenderungan sama di negara lain.
Meski banyak yang menganggap kalangan muda lebih memilih berita gratis, penelitian tahunan Reuters Institute menunjukkan bahwa 35 persen konsumen berita dari kalangan muda di seluruh dunia mau membayar berita berkualitas, sebagaimana yang mereka lakukan untuk mendapatkan layanan musik (Spotify) dan video (Netflix).
Jajak pendapat Reuters Institute, yang menggunakan jasa YouGov, juga menunjukkan bahwa 54 persen konsumen kini menggunakan media sosial untuk mengetahui berita terbaru.
Survei yang sama juga menunjukkan keterkaitan erat antara rendahnya tingkat ketidakpercayaan kepada media dan anggapan bias pemberitaan.
Kecenderungan ini sangat nampak di negara-negara dengan polarisasi politik tinggi seperti Amerika Serikat, Hongaria, dan Italia. Presiden Amerika Serikat Donald Trump sering kali menyerang media arus utama karena dianggap menyebar kebohongan dan tidak adil dalam peliputan.
Newman berpendapat bahwa peran media sosial belum tergantikan, meski banyak orang kini memilih aplikasi pengirim pesan untuk mendapatkan berita, karena frustrasi terhadap debat berkepanjangan di Facebook dan Twiter.
"Media sosial berperan besar untuk penyebaran berita insidental, terutama di negara-negara dengan media yang dikontrol oleh pemerintah," kata dia.
"Media sosial menyebarkan lebih banyak sudut pandang dan isu, sebagaimana terjadi saat krisis migran di mana orang-orang melaporkan secara langsung dari tempat penampungan pengungsi," kata Newman.
Edisi terbaru Digital News Report dari lembaga kajian jurnalistik, Reuters Institute for the Study of Journalism, menemukan adanya kecurigaan tinggi terhadap berita dan komentar. Sekitar 33 persen dari 70.000 responden dari 36 negara mengaku tidak bisa mempercayai kebenaran berita, lapor Reuters.
Hanya 24 persen responden yang percaya bahwa media sosial melakukan tugas yang baik dalam memisahkan fakta dari hasil karangan, sementara media arus utama mendapat suara 40 persen menyangkut tugas yang sama.
Di sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, para responden punya kecenderungan jauh lebih besar untuk percaya pada media arus utama yang dianggap mampu menghentikan penyebaran berita bohong.
Sementara di negara lain seperti Yunani, para warga lebih percaya pada media sosial.
"Meski media arus utama tidak dipercaya, mereka masih punya tingkat kepercayaan dua kali lipat lebih tinggi untuk memisahkan fakta dari fiksi dibanding media sosial," kata Nic Newman, kepala tim penulis edisi keenam Digital News Report.
"Berita bohong sebenarnya merupakan kabar baik bagi jurnalisme, karena bisa menjadi kesempatan untuk membangun kembali nilai penting mereka bagi masyarakat dan fokus pada kualitas," kata Newman.
Dia mengatakan bahwa banyaknya berita bohong membuat orang rela membayar mahal untuk mendapatkan berita dari media terpercaya. Saat ini, 16 persen warga Amerika Serikat bersedia berlangganan berita dibanding sembilan persen pada waktu sebelumnya. Bukti yang ada juga menunjukkan kecenderungan sama di negara lain.
Meski banyak yang menganggap kalangan muda lebih memilih berita gratis, penelitian tahunan Reuters Institute menunjukkan bahwa 35 persen konsumen berita dari kalangan muda di seluruh dunia mau membayar berita berkualitas, sebagaimana yang mereka lakukan untuk mendapatkan layanan musik (Spotify) dan video (Netflix).
Jajak pendapat Reuters Institute, yang menggunakan jasa YouGov, juga menunjukkan bahwa 54 persen konsumen kini menggunakan media sosial untuk mengetahui berita terbaru.
Survei yang sama juga menunjukkan keterkaitan erat antara rendahnya tingkat ketidakpercayaan kepada media dan anggapan bias pemberitaan.
Kecenderungan ini sangat nampak di negara-negara dengan polarisasi politik tinggi seperti Amerika Serikat, Hongaria, dan Italia. Presiden Amerika Serikat Donald Trump sering kali menyerang media arus utama karena dianggap menyebar kebohongan dan tidak adil dalam peliputan.
Newman berpendapat bahwa peran media sosial belum tergantikan, meski banyak orang kini memilih aplikasi pengirim pesan untuk mendapatkan berita, karena frustrasi terhadap debat berkepanjangan di Facebook dan Twiter.
"Media sosial berperan besar untuk penyebaran berita insidental, terutama di negara-negara dengan media yang dikontrol oleh pemerintah," kata dia.
"Media sosial menyebarkan lebih banyak sudut pandang dan isu, sebagaimana terjadi saat krisis migran di mana orang-orang melaporkan secara langsung dari tempat penampungan pengungsi," kata Newman.
Pewarta : Antaranews
Editor :
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Arief Hidayat: Kepemimpinan MK yang baru diharapkan kembalikan kepercayaan publik
10 November 2023 18:40 WIB, 2023
Dubes Meidyatama Suryodiningrat serahkan surat kepercayaan ke Presiden Rumania
15 September 2023 16:23 WIB, 2023
Wagub Jateng : Kepercayaan masyarakat berzakat melalui Baznas meningkat
30 August 2023 6:01 WIB, 2023