Semarang (Antaranews Jateng) - Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (Abkin) menyebutkan Pembina OSIS Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Semarang lalai terkait dugaan kekerasan terhadap junior saat kegiatan latihan dasar kepemimpinan (LDK).

"Pembina OSIS itu, ya, guru yang diberikan tanggung jawab membimbing, membina, dan mengawasi kegiatan OSIS, termasuk LDK. Guru pembina OSIS harus ikut bertanggung jawab," kata Ketua Umum Abkin Prof Mungin Eddy Wibowo di Semarang, Selasa malam.

Hal tersebut diungkapkan guru besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu menanggapi dikeluarkannya dua siswa, yakni AN dan AF dari SMAN 1 Semarang atas dugaan kekerasan terhadap juniornya saat kegiatan latihan dasar kepemimpinan (LDK).

Tak hanya mengeluarkan dua siswanya di kelas XII yang juga pengurus OSIS itu, SMAN 1 Semarang juga menjatuhkan sanksi skorsing terhadap sembilan siswa pengurus OSIS lainnya yang menangani kegiatan LDK pada November 2017.

Mungin menjelaskan setiap kegiatan OSIS tidak bisa lepas dari tanggung jawab guru pembina sampai kemudian terjadi hal-hal tidak diinginkan pada kegiatan LDK yang berujung dikeluarkannya dua siswa sebagaimana terjadi di SMAN 1 Semarang.

"Apa yang dilakukan siswa saat LDK tidak boleh lepas dari pengawasan guru. Guru juga bertanggung jawab penuh mulai awal sampai akhir kegiatan tersebut, tujuannya untuk melakukan pencegahan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan," katanya.

Kalau sampai terjadi dugaan kekerasan terhadap junior, kata dia, mengartikan lepasnya pengawasan yang dilakukan guru sehingga siswa bertindak kebablasan meski harus dibuktikan dan dikaji atas tindakan yang dilakukan dua siswa itu.

"Peran pembina itu, sebelum kegiatan dimulai memberikan pengenalan, aturan mainnya bagaimana, misalnya setiap tindakan harus sesuai norma yang berlaku. Kalau sampai ada dugaan kekerasan, artinya guru pembinanya lalai," tegasnya.

Kepala Program Studi Pascasarjana Konseling Unnes itu juga menilai ada kejanggalan karena kegiatan LDK yang dipermasalahkan sudah berlangsung cukup lama, yakni November 2017, tetapi baru sekarang sekolah bertindak karena ada laporan.

"Fungsinya guru pembina di mana? Setiap kegiatan siswa itu kan harus dipantau, dievaluasi, kalau dalam perjalanan kegiatan ada yang tidak benar, dihentikan, dan sebagainya. Begitu kegiatan selesai, mestinya kan juga dievaluasi," katanya.

Justru yang paling penting, kata dia, menelusuri penyebab dugaan kekerasan jika memang benar terjadi dalam kegiatan LDK, sebab dimungkinkan tindakan yang sama juga diperoleh dua siswa itu ketika dalam LDK menjadi junior.

"Kan mesti ada penyebabnya, apakah mungkin balas dendam karena saat jadi junior pernah diperlakukan begitu, atau penyebab lainnya. Ini penting sekali. Apalagi, kegiatannya juga sudah lama, sekolah harus lebih bijaksana," katanya.

Kalau penyebabnya sudah diketahui, kata dia, termasuk sanksi yang akan diberikan harus dibahas bersama-sama antara kepala sekolah, guru, orang tua, dan pihak lain, khususnya Dinas Pendidikan provinsi yang menaungi SMA sederajat.

"Kalaupun terbukti melakukan kekerasan, apakah hukumannya mesti dikeluarkan? Harus ada banyak pertimbangan yang mendasari. Meski sanksinya tidak dikeluarkan pun, saya percaya siswa yang bersangkutan tidak akan melakukannya lagi," kata Mungin.