Semarang (Antaranews Jateng) - Presiden memang memiliki hak konstitusional terkait dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Kendati demikian, patut menimbang manfaat dan mudaratnya penerbitan Perpu Pilkada di tengah ratusan pasangan calon berkampanye.

Setidaknya menjawab pertanyaan apakah Perpu Pilkada akan mengganggu penahapan pilkada di 177 daerah (17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota) atau tidak?

Penyusunan perpu memang tidaklah membutuhkan waktu lama ketimbang penyusunan undang-undang. Meskipun begitu, perpu tersebut harus mendapat persetujuan DPR RI, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.

Dalam UUD NRI 1945 Pasal 22 Ayat (1) disebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Akan tetapi, dalam Pasal 22A UUD menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Dalam hal ini UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Hal lain yang patut diperhatikan, menurut Ketua Lembaga Pemantau Pemilu (LPP) PWI Provinsi Jawa Tengah Zaenal Abidin Petir, adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Di dalam putusan MK ini terdapat tiga syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 22 Ayat (1) UUD NRI 1945.

Syarat pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Bila memenuhi ketiga syarat tersebut, tentunya perlu waktu yang tidak singkat untuk mendapat persetujuan dari wakil rakyat. Pada saat bersamaan peserta pilkada tengah berkampanye yang jadwalnya berakhir pada tanggal 23 Juni 2018.

Kalaupun akhirnya lahir Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (Perpu Pilkada), hari-H pemungutan suara seyogianya tidak mundur atau tetap pada tanggal 27 Juni 2018.



Polemik

Polemik mengenai Perpu Pilkda ini mengemuka setelah Ketua KPK RI Agus Rahardjo mengusulkan agar Pemerintah menerbitkan perpu untuk pilkada.

Munculnya usulan itu ketika Agus Rahardjo merespons permintaan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto kepada KPK untuk menunda pengumuman mengenai calon kepala daerah dalam Pilkada 2018 yang menjadi tersangka kasus korupsi. Pernyataan Wiranto ini disampaikan pada tanggal 12 Maret 2018.

Berita sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap lima calon kepala daerah.

OTT terhadap Calon Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko pada tanggal 3 Februari 2018. Berikutnya, Bupati Ngada Marianus Sae yang menjadi Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tanggal 11 Februari 2018. Selanjutnya, Calon Bupati Subang Imas Aryumningsih pada tanggal 13 Februari 2018.

Pada hari pertama kampanye, 15 Februari 2018, Bupati Lampung Tengah Mustofa yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Lampung juga diamankan oleh KPK pada 15 Februari 2018.

KPK juga mengamankan mantan Wali Kota Kendari sekaligus Calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun pada tanggal 28 Februari 2018.

Apakah dengan adanya OTT terhadap sejumlah kepala daerah itu masuk kategori keadaan yang genting?

Ketua KPU RI Arief Budiman di Jakarta, Kamis (15-3-2018), angkat bicara. Menurut dia, perpu itu bisa saja diterbitkan kalau dinilai genting dan darurat. Akan tetapi, yang menilai itu darurat atau tidak bukan dari KPU, melainkan pembuat undang-undang.

Keadaan darurat tersebut, kata Arief Budiman, bisa ditafsirkan berbeda-beda oleh pihak pembuat undang-undang, dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI.

Keadaan darurat tersebut bisa saja dimaknai apabila calon kepala daerah berstatus tersangka korupsi jumlahnya banyak atau semua peserta pilkada serentak pada tahun ini berstatus tersangka, misalnya. Hal ini, kata dia, bisa saja dinilai gawat darurat.


Tidak Dapat Diganti

Namun untuk saat ini, kata Arief Budiman, KPU tidak dapat mengganti calon kepala daerah yang diduga terlibat kasus korupsi.

Pernyataan Ketua KPU RI itu selaras dengan Pasal 53 UU No. 8/2015 tentang Perubahan atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang sebagaimana diubah dengan UU No. 10/2016.

Di dalam Pasal 53 Ayat (1) disebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol dilarang menarik pasangan calonnya dan/atau pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

Selanjutnya, di dalam Ayat (2) yang intinya bahwa parpol atau gabungan parpol yang menarik pasangan calonnya dan/atau pasangan calon mengundurkan diri, tidak dapat mengusulkan pasangan calon pengganti.

Begitu pula, pasangan calon perseorangan dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

Jika mereka melanggar pasal tersebut, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp20 miliar untuk pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur, sedangkan untuk pasangan calon bupati dan calon wakil bupati serta pasangan calon wali kota dan calon wakil wali kota dikenai denda sebesar Rp10 miliar.

Di dalam Ayat (1) Pasal 54 UU No. 8/2015, parpol atau gabungan parpol baru bisa mengganti peserta pilkada jika pasangan calon berhalangan tetap sejak penetapan pasangan calon sampai dengan dimulainya hari kampanye.

Diterangkan pula bahwa parpol atau gabungan parpol yang pasangan calonnya berhalangan tetap dapat mengusulkan pasangan calon pengganti paling lama 3 hari terhitung sejak pasangan calon berhalangan tetap.

Selanjutnya, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota melakukan penelitian persyaratan administrasi pasangan calon pengganti paling lama 3 hari terhitung sejak tanggal pengusulan.

Dalam hal pasangan calon pengganti berdasarkan hasil penelitian administrasi memenuhi persyaratan, paling lama 1 hari KPU provinsi/kabupaten/kota menetapkannya sebagai pasangan calon.

Apabila pasangan berhalangan tetap hingga jumlah pasangan calon kurang dari dua orang, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota membuka kembali pendaftaran pengajuan pasangan calon paling lama 7 hari.

Di dalam Ayat (5) 54 UU No. 8/2015 dijelaskan bahwa pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara dan terdapat dua pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan pemilihan dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur.

Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara pasangan calon kurang dari dua orang, tahapan pelaksanaan pemilihan ditunda paling lama 14 hari.

Peraturan perundang-undangan tentang pemilu begitu perinci. Namun, ke depan jika melakukan revisi kembali atau perubahan ketiga atas UU Pilkada, tampaknya perlu ada ketentuan bahwa parpol atau gabungan parpol bisa mengusulkan pasangan calon pengganti apabila peserta pilkada berstatus tersangka.