Pakar kemanan siber tak yakin pemerintah blokir Facebook
Kamis, 12 April 2018 16:24 WIB
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) Doktor Pratama Persadha. (Dok. CISSReC)
Semarang (Antaranews Jateng) - Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha mengatakan bahwa dirinya tidak yakin pemerintah memblokir Facebook karena pemakai media sosial ini di Indonesia mencapai 130 juta pengguna.
"Kalau Facebook masih ngeyel terus, menurut saya perlu blokir. Akan tetapi, perlu punya solusi pengganti," kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) menjawab pertanyan Antara di Semarang, Kamis sore.
Menurut Pratama, ada risiko tersendiri bila pemerintah memblokir Facebook. Bahkan, risikonya bisa melebar ke politik dan menimbulkan ketidakstabilan di Tanah Air.
Wacana pemblokiran Facebook itu terkait dengan dugaan pencurian data oleh Cambridge Analytica terhadap 87 juta data pengguna FB di dunia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.096.666 di antaranya adalah warganet (netizen) Indonesia.
Pratama berpendapat bahwa posisi Indonesia lemah karena secara infrastruktur tidak memiliki alternatif pengganti media sosial lokal. Berbeda dengan Cina yang memblokir Facebook, Google, dan WhatsApp, sudah menyiapkan aplikasi alternatif, seperti QQ, Weibo, dan WeChat.
Hal itu mengingat, lanjut dia, media sosial sudah berkembang lebih dari sekadar tempat bertemu kawan lama. Akan tetapi, sudah lebih jauh menjadi tempat mencari nafkah bagi banyak orang. Bahkan, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) relatif banyak menggunakan Facebook untuk sarana promosi mereka.
"Ini yang seharusnya menjadi pelajaran agar dalam beberapa waktu ke depan pemerintah bisa melihat ini sebagai prioritas untuk membangun platform media sosial maupun layanan internet lainnya," kata Pratama.
Menurut dia, kasus kebocoran data pemakai Facebook ini juga terjadi di platform lain dengan jumlah berbeda, bisa lebih kecil atau banyak.
"Masalah privasi di negeri kita juga perlu mendapatkan payung hukum lewat Undang-Undang Perlidungan Data Pribadi. Hal ini juga harus diselesaikan pemerintah," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).
Menyinggung kembali kasus Facebook, dia mengemukakan bahwa ancaman pemerintah untuk memblokir Facebook di satu sisi ingin menunjukkan keberpihakan pemerintah pada masyarakat. Namun, tidak cukup dengan itu.
Komitmen pemerintah, lanjut dia, harus ditunjukkan dengan menyelesaikan UU Perlindungan Data Pribadi sekaligus menyelesaikan program registrasi kartu prabyar yang sampai saat ini masih kusut, terutama saat terkait dengan kepentingan bisnis provider.
"Katakanlah Facebook benar-benar ditutup, sebagian besar masyarakat kita akan dengan mudah memindahkan ke platform lain. Akan terus seperti itu bila satu platform melakukan pelanggaran privasi dan kebocoran data pemakai," katanya.
Ia mengatakan bahwa Facebook tahu persis pemerintah akan sulit untuk benar-benar memblokir mereka karena ketergantungan masyarakat pada Facebook relatif sangat besar.
Oleh karena itu, menurut Pratama, solusinya tidak mudah dan tidak cepat. Pemerintah wajib membangun platform baru media sosial lokal. Setelah jadi, harus di-"support" sehingga masyarakat memakainya.
"Tentu harus ada diferensiasi, misalnya akun media sosial `negara` ini tersambung dengan NIK serta menjadi pintu gerbang `Single Identity Number`. Jadi, tidak menutup kemungkinan bentuk program Single Identity Number ini berwajah media sosial," katanya.
"Kalau Facebook masih ngeyel terus, menurut saya perlu blokir. Akan tetapi, perlu punya solusi pengganti," kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) menjawab pertanyan Antara di Semarang, Kamis sore.
Menurut Pratama, ada risiko tersendiri bila pemerintah memblokir Facebook. Bahkan, risikonya bisa melebar ke politik dan menimbulkan ketidakstabilan di Tanah Air.
Wacana pemblokiran Facebook itu terkait dengan dugaan pencurian data oleh Cambridge Analytica terhadap 87 juta data pengguna FB di dunia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.096.666 di antaranya adalah warganet (netizen) Indonesia.
Pratama berpendapat bahwa posisi Indonesia lemah karena secara infrastruktur tidak memiliki alternatif pengganti media sosial lokal. Berbeda dengan Cina yang memblokir Facebook, Google, dan WhatsApp, sudah menyiapkan aplikasi alternatif, seperti QQ, Weibo, dan WeChat.
Hal itu mengingat, lanjut dia, media sosial sudah berkembang lebih dari sekadar tempat bertemu kawan lama. Akan tetapi, sudah lebih jauh menjadi tempat mencari nafkah bagi banyak orang. Bahkan, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) relatif banyak menggunakan Facebook untuk sarana promosi mereka.
"Ini yang seharusnya menjadi pelajaran agar dalam beberapa waktu ke depan pemerintah bisa melihat ini sebagai prioritas untuk membangun platform media sosial maupun layanan internet lainnya," kata Pratama.
Menurut dia, kasus kebocoran data pemakai Facebook ini juga terjadi di platform lain dengan jumlah berbeda, bisa lebih kecil atau banyak.
"Masalah privasi di negeri kita juga perlu mendapatkan payung hukum lewat Undang-Undang Perlidungan Data Pribadi. Hal ini juga harus diselesaikan pemerintah," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).
Menyinggung kembali kasus Facebook, dia mengemukakan bahwa ancaman pemerintah untuk memblokir Facebook di satu sisi ingin menunjukkan keberpihakan pemerintah pada masyarakat. Namun, tidak cukup dengan itu.
Komitmen pemerintah, lanjut dia, harus ditunjukkan dengan menyelesaikan UU Perlindungan Data Pribadi sekaligus menyelesaikan program registrasi kartu prabyar yang sampai saat ini masih kusut, terutama saat terkait dengan kepentingan bisnis provider.
"Katakanlah Facebook benar-benar ditutup, sebagian besar masyarakat kita akan dengan mudah memindahkan ke platform lain. Akan terus seperti itu bila satu platform melakukan pelanggaran privasi dan kebocoran data pemakai," katanya.
Ia mengatakan bahwa Facebook tahu persis pemerintah akan sulit untuk benar-benar memblokir mereka karena ketergantungan masyarakat pada Facebook relatif sangat besar.
Oleh karena itu, menurut Pratama, solusinya tidak mudah dan tidak cepat. Pemerintah wajib membangun platform baru media sosial lokal. Setelah jadi, harus di-"support" sehingga masyarakat memakainya.
"Tentu harus ada diferensiasi, misalnya akun media sosial `negara` ini tersambung dengan NIK serta menjadi pintu gerbang `Single Identity Number`. Jadi, tidak menutup kemungkinan bentuk program Single Identity Number ini berwajah media sosial," katanya.
Pewarta : Kliwon
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Pakar : Google, Facebook, dan Twitter terancam diblokir tunjukkan ketegasan pemerintah
18 July 2022 13:16 WIB, 2022
Pratama: Peretasan IG pemkot tunjukkan pengamanan digital perlu dibenahi
10 October 2021 8:35 WIB, 2021
Pakar sebut human error penyebab Facebook, WhatsApp, dan Instagram down
05 October 2021 18:33 WIB, 2021
Kebocoran data pribadi gegara peladen aplikasi lama tak di-"takedown"
02 September 2021 12:04 WIB, 2021
Terpopuler - IT
Lihat Juga
Bidik generasi muda, BSI gelar literasi digital di sejumlah pusat perbelanjaan Jabodetabek
22 November 2024 13:23 WIB