Polemik pilrek Unnes hingga isu plagiarisme
Sabtu, 14 Juli 2018 15:14 WIB
Kampus Universitas Negeri Semarang (Foto: Zuhdiar Laeis)
Semarang (Antaranews Jateng) - Laiknya pemilihan umum yang merupakan pesta demokrasi rakyat, perguruan tinggi negeri pun punya gelaran serupa, yakni pemilihan rektor (pilrek), termasuk Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Bedanya, hanya kalangan senat (65 persen) dan menteri (35 persen) yang punya hak suara untuk memilih rektor. Kendati demikian, tetap saja gelaran pilrek menjadi "grengseng" dengan segala warna-warni dinamika dalam prosesnya.
Tak terkecuali di Unnes, universitas berjuluk konservasi itu punya "gawe" pilrek untuk memilih rektor periode 2018 s.d 2022 yang diikuti juga oleh Profesor Fathur Rokhman sebagai kandidat "incumbent" (petahana).
Tahapan demi tahapan pilrek dilalui, mulai penjaringan bakal calon rektor hingga penyaringan yang akhirnya mengerucutkan nama tiga calon rektor, yakni Prof. Fathur Rokhman, Doktor Achmad Rifai, dan Dr. Martitah.
Bahkan, panitia pilrek sampai harus melakukan beberapa kali melakukan penjaringan karena tahap pertama hanya Fathur yang maju, kemudian tahap kedua baru dapat dua nama. Sampai penjaringan ketiga, muncul lima nama.
Fantastis, Fathur, Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes sebagai satu-satunya profesor yang maju pilrek meraih 61 suara dari 65 anggota senat, sementara dua kandidat lain masing-masing dapat dua suara.
Hasil penyaringan calon rektor yang berlangsung pada hari Selasa (3/7) itu pun dikirimkan ke Jakarta untuk dilaporkan kepada Menristek Dikti. Bagaimanapun juga menteri masih punya hak suara, sebanyak 35 persen.
Ternyata, perwakilan Kemenristek Dikti tidak hadir dalam penyaringan itu, padahal itu klausul keharusan yang tertuang dalam Permenristek Dikti Nomor 19/2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin PTN.
Ketua Senat Unnes Prof. Soesanto mengaku sudah mengirimkan undangan kepada Kemenristek Dikti pada tanggal 22 Juni 2018. Akan tetapi, hingga penyaringan tidak ada pemberitahuan tertulis atas ketidakhadiran itu.
Dari hasil koordinasi dengan kementerian, ternyata ketidakhadiran perwakilan Kementerian Riset Dikti itu dikarenakan harus adanya penyelarasan regulasi yang mengatur pilrek dengan Permenristek Dikti Nomor 19/2017.
"Pada tanggal 4 Juli 2018, saya langsung melapor kepada Kemenristek Dikti. Ternyata, saya sudah dititipi surat pemberitahuan bahwa penyaringan calon rektor perlu diselaraskan dalam beberapa poin," katanya.
Ada dua klausul dalam Peraturan Senat Unnes Nomor 1/2018 yang akhirnya dihapuskan karena dinilai tidak selaras dengan Permenristek Dikti. Pertama, klausul setia dan patuh pada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945.
Kedua, klausul tentang kesediaan Rektor Unnes terpilih untuk menjalankan visi dan misi Unnes sebagai universitas yang berwawasan konservasi, kata Guru Besar Fakultas Teknik Unnes tersebut.
Untuk Pilrek Unnes yang sudah masuk tahap penyaringan, akhirnya diulang kembali mulai tahap penjaringan karena ada satu klausul keharusan yang tidak terpenuhi, yakni kehadiran perwakilan Kemenristek Dikti.
"Rencananya, tahapan penjaringan akan dilakukan pada tanggal 31 Juli 2018. Untuk peraturannya, juga sudah diterbitkan Peraturan Senat Unnes Nomor 2/2018 sebagai pengganti aturan sebelumnya," jelas Soesanto.
Isu Dugaan Plagiarisme
Polemik ternyata tidak hanya terjadi pada mekanisme pilrek, Rektor Unnes Fathur Rokhman juga diterpa isu dugaan plagiarisme yang sebelumnya viral di media sosial dan berlanjut ke pemberitaan sejumlah media.
Dugaan plagiarisme itu terkait dengan dua artikel, yakni karya Fathur berjudul "Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas" yang dipublikasikan Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Litera, UNY, 2004.
Artikel kedua, dari Anif Rida berjudul "Pemakaian Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri dan Implikasinya bagi Rekayasa Bahasa Indonesia: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas" yang dipublikasikan saat Konferensi Linguistik Tahunan (Kolita), Universitas Atma Jaya pada tahun 2003.
Unnes, melalui UPT Humas sempat mengklarifikasi bahwa dugaan itu terlalu dini dan spekulatif karena dugaan plagiarisme membutuhkan penyelidikan panjang dari otoritas yang berwenang, khususnya Kemenristek Dikti.
Kenyataannya, sebagaimana disampaikan Kepala UPT Humas Unnes Hendi Pratama, sampai saat itu belum ada aduan yang masuk, termasuk kedatangan tim dari kementerian, inspektur jenderal, maupun Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA).
Tak berapa lama, tim investigasi yang dibentuk Unnes menyampaikan hasil investigasi atas dua artikel yang dipersoalkan dan menyimpulkan dugaan plagiarisme yang dilakukan Fathur adalah tidak benar.
Hasil investigasi tim Unnes menemukan satu dokumen penelitian Fathur pada tahun 2002 yang terdapat di arsip Unnes berupa "hardcopy" dan ternyata memiliki tabel dan paragraf sama dengan yang ditemukan pada karya Anif Rida (2003) dan Fathur (2004).
Artinya, kata Ketua Tim Investigasi Unnes Prof. Mungin Eddy Wibowo, dua artikel yang disangkakan plagiat itu bersumber dari karya penelitian yang sama, yakni penelitian Fathur pada tahun 2002, sementara Anif Rida adalah mahasiswa bimbingannya.
Namun, belakangan muncul pernyataan sikap dari pengelola Jurnal Litera tertanggal 12 Juli 2018 yang menyatakan bahwa artikel yang dikirimkan Fathur tidak asli yang dituangkan dalam enam poin surat balasan atas laporan informasi dugaan penjiplakan itu dari masyarakat.
Dari hasil pelaporan itu, Litera melakukan serangkaian proses, termasuk penelaahan dan penyandingan makalah dari Kolita I dan Litera dengan dua cara, yakni tabulasi manual dan "Software Tunitin" yang menunjukkan adanya sejumlah kemiripan, diperkuat lampiran yang disertakan dalam surat.
Hasil penelahaan dan penyandingan dua artikel itu menemukan sebagian besar unsur makalah Anif Rida ditemukan dalam artikel Fathur, kemudian ada unsur-unsur dalam artikel Fathur yang tidak ditemukan dalam makalah Anif Rida.
Pada poin keempat, Dewan Redaksi Litera menyimpulkan bahwa artikel Fathur Rokhman dinyatakan tidak asli dengan merujuk pada tahun terbit kedua tulisan, yakni Anif Rida (2003) dan Fathur (2004).
Dalam ketentuan penulisan artikel untuk Litera sebagaimana dinyatakan dalam poin kelima, artikel harus asli, dalam arti belum pernah dipublikasikan dalam jurnal atau majalah yang lain.
Meski demikian, Ketua Redaksi Litera Prof. Burhan Nurgiyantoro menyatakan artikel Fathur di Jurnal Litera yang berada di bawah UNY tersebut tidak dicabut sehingga artikel ini tetap terpampang di jurnal itu.
"Semula ada wacana begitu. Akan tetapi, setelah dipertimbangkan lebih baik, dibiarkan saja agar ada bukti autentik. Kalau dicabut, nanti orang yang ingin tahu tidak bisa menemukannya," kata Burhan dalam pesan singkatnya kepada Antara.
Bedanya, hanya kalangan senat (65 persen) dan menteri (35 persen) yang punya hak suara untuk memilih rektor. Kendati demikian, tetap saja gelaran pilrek menjadi "grengseng" dengan segala warna-warni dinamika dalam prosesnya.
Tak terkecuali di Unnes, universitas berjuluk konservasi itu punya "gawe" pilrek untuk memilih rektor periode 2018 s.d 2022 yang diikuti juga oleh Profesor Fathur Rokhman sebagai kandidat "incumbent" (petahana).
Tahapan demi tahapan pilrek dilalui, mulai penjaringan bakal calon rektor hingga penyaringan yang akhirnya mengerucutkan nama tiga calon rektor, yakni Prof. Fathur Rokhman, Doktor Achmad Rifai, dan Dr. Martitah.
Bahkan, panitia pilrek sampai harus melakukan beberapa kali melakukan penjaringan karena tahap pertama hanya Fathur yang maju, kemudian tahap kedua baru dapat dua nama. Sampai penjaringan ketiga, muncul lima nama.
Fantastis, Fathur, Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes sebagai satu-satunya profesor yang maju pilrek meraih 61 suara dari 65 anggota senat, sementara dua kandidat lain masing-masing dapat dua suara.
Hasil penyaringan calon rektor yang berlangsung pada hari Selasa (3/7) itu pun dikirimkan ke Jakarta untuk dilaporkan kepada Menristek Dikti. Bagaimanapun juga menteri masih punya hak suara, sebanyak 35 persen.
Ternyata, perwakilan Kemenristek Dikti tidak hadir dalam penyaringan itu, padahal itu klausul keharusan yang tertuang dalam Permenristek Dikti Nomor 19/2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin PTN.
Ketua Senat Unnes Prof. Soesanto mengaku sudah mengirimkan undangan kepada Kemenristek Dikti pada tanggal 22 Juni 2018. Akan tetapi, hingga penyaringan tidak ada pemberitahuan tertulis atas ketidakhadiran itu.
Dari hasil koordinasi dengan kementerian, ternyata ketidakhadiran perwakilan Kementerian Riset Dikti itu dikarenakan harus adanya penyelarasan regulasi yang mengatur pilrek dengan Permenristek Dikti Nomor 19/2017.
"Pada tanggal 4 Juli 2018, saya langsung melapor kepada Kemenristek Dikti. Ternyata, saya sudah dititipi surat pemberitahuan bahwa penyaringan calon rektor perlu diselaraskan dalam beberapa poin," katanya.
Ada dua klausul dalam Peraturan Senat Unnes Nomor 1/2018 yang akhirnya dihapuskan karena dinilai tidak selaras dengan Permenristek Dikti. Pertama, klausul setia dan patuh pada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945.
Kedua, klausul tentang kesediaan Rektor Unnes terpilih untuk menjalankan visi dan misi Unnes sebagai universitas yang berwawasan konservasi, kata Guru Besar Fakultas Teknik Unnes tersebut.
Untuk Pilrek Unnes yang sudah masuk tahap penyaringan, akhirnya diulang kembali mulai tahap penjaringan karena ada satu klausul keharusan yang tidak terpenuhi, yakni kehadiran perwakilan Kemenristek Dikti.
"Rencananya, tahapan penjaringan akan dilakukan pada tanggal 31 Juli 2018. Untuk peraturannya, juga sudah diterbitkan Peraturan Senat Unnes Nomor 2/2018 sebagai pengganti aturan sebelumnya," jelas Soesanto.
Isu Dugaan Plagiarisme
Polemik ternyata tidak hanya terjadi pada mekanisme pilrek, Rektor Unnes Fathur Rokhman juga diterpa isu dugaan plagiarisme yang sebelumnya viral di media sosial dan berlanjut ke pemberitaan sejumlah media.
Dugaan plagiarisme itu terkait dengan dua artikel, yakni karya Fathur berjudul "Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas" yang dipublikasikan Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Litera, UNY, 2004.
Artikel kedua, dari Anif Rida berjudul "Pemakaian Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri dan Implikasinya bagi Rekayasa Bahasa Indonesia: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas" yang dipublikasikan saat Konferensi Linguistik Tahunan (Kolita), Universitas Atma Jaya pada tahun 2003.
Unnes, melalui UPT Humas sempat mengklarifikasi bahwa dugaan itu terlalu dini dan spekulatif karena dugaan plagiarisme membutuhkan penyelidikan panjang dari otoritas yang berwenang, khususnya Kemenristek Dikti.
Kenyataannya, sebagaimana disampaikan Kepala UPT Humas Unnes Hendi Pratama, sampai saat itu belum ada aduan yang masuk, termasuk kedatangan tim dari kementerian, inspektur jenderal, maupun Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA).
Tak berapa lama, tim investigasi yang dibentuk Unnes menyampaikan hasil investigasi atas dua artikel yang dipersoalkan dan menyimpulkan dugaan plagiarisme yang dilakukan Fathur adalah tidak benar.
Hasil investigasi tim Unnes menemukan satu dokumen penelitian Fathur pada tahun 2002 yang terdapat di arsip Unnes berupa "hardcopy" dan ternyata memiliki tabel dan paragraf sama dengan yang ditemukan pada karya Anif Rida (2003) dan Fathur (2004).
Artinya, kata Ketua Tim Investigasi Unnes Prof. Mungin Eddy Wibowo, dua artikel yang disangkakan plagiat itu bersumber dari karya penelitian yang sama, yakni penelitian Fathur pada tahun 2002, sementara Anif Rida adalah mahasiswa bimbingannya.
Namun, belakangan muncul pernyataan sikap dari pengelola Jurnal Litera tertanggal 12 Juli 2018 yang menyatakan bahwa artikel yang dikirimkan Fathur tidak asli yang dituangkan dalam enam poin surat balasan atas laporan informasi dugaan penjiplakan itu dari masyarakat.
Dari hasil pelaporan itu, Litera melakukan serangkaian proses, termasuk penelaahan dan penyandingan makalah dari Kolita I dan Litera dengan dua cara, yakni tabulasi manual dan "Software Tunitin" yang menunjukkan adanya sejumlah kemiripan, diperkuat lampiran yang disertakan dalam surat.
Hasil penelahaan dan penyandingan dua artikel itu menemukan sebagian besar unsur makalah Anif Rida ditemukan dalam artikel Fathur, kemudian ada unsur-unsur dalam artikel Fathur yang tidak ditemukan dalam makalah Anif Rida.
Pada poin keempat, Dewan Redaksi Litera menyimpulkan bahwa artikel Fathur Rokhman dinyatakan tidak asli dengan merujuk pada tahun terbit kedua tulisan, yakni Anif Rida (2003) dan Fathur (2004).
Dalam ketentuan penulisan artikel untuk Litera sebagaimana dinyatakan dalam poin kelima, artikel harus asli, dalam arti belum pernah dipublikasikan dalam jurnal atau majalah yang lain.
Meski demikian, Ketua Redaksi Litera Prof. Burhan Nurgiyantoro menyatakan artikel Fathur di Jurnal Litera yang berada di bawah UNY tersebut tidak dicabut sehingga artikel ini tetap terpampang di jurnal itu.
"Semula ada wacana begitu. Akan tetapi, setelah dipertimbangkan lebih baik, dibiarkan saja agar ada bukti autentik. Kalau dicabut, nanti orang yang ingin tahu tidak bisa menemukannya," kata Burhan dalam pesan singkatnya kepada Antara.
Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Antarajateng
Copyright © ANTARA 2024