Jepara (Antaranews Jateng) - Indonesia berhasil mengembangkan dan memanen
pertama rajungan (portunus pelagicus) hasil budi daya yang dilakukan di area tambak Balai Besar Perikanan Budi Daya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah.

"Ke depan sistem dan teknologi budi daya rajungan ini bisa dikembangkan pada tambak-tambak masyarakat sehingga benih rajungan tidak lagi hanya mengandalkan alam," kata Kepala BBPBAP Jepara Sugeng
Raharjo di Jepara, Jateng, Minggu.

BBPBAP adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat JenderalJPerikanan Budi Daya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Pada diskusi dengan para anggota Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI), Sabtu (11/8) -- yang merupakan rangkaian kegiatan panen dan tebar benih rajungan yang juga dihadiri Ketua APRI Kuncoro Catur Nugroho itu --  ia mengemukakan bahwa teknologi budi daya rajungan itu tidak lahir dalam waktu singkat, namun melalui proses
yang panjang.

Menurut Sugeng Raharjo, kerja sama dengan APRI dimulai sejak 2011 dengan kegiatan melepasliarkan benih (restocking) BBPBAP Jepara, yang berlanjut hingga kini.

Diakuinya bahwa sebuah penelitian -- yang akhirnya mampu melahirkan teknologi budi daya untuk rajungan -- membutuhkan pemikiran dan juga biaya yang tidak sedikit.

"Riset dan teknologi yang bagus pun tidak akan banyak gunanya kalau tidak dilanjutkan untuk pengembangannya," katanya pada diskusi yang dipandu pakar kelautan dan perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr
Hawis Madduppa itu, dan dihadiri Ketua APRI Kuncoro Catur Nugroho .

Ia menambahkan menambahkan bahwa kerja sama dengan APRI itu adalah perwujudan sinergi lembaga penelitian dengan dunia industri.

Dalam penelitian kerja sama dwi-pihak itu disebutnya sebagai "dunia usaha dan industri menyambutnya" sehingga sinergi itu sesuai dengan yang diharapkan.

Konteksnya adalah ditemukan solusi bahwa dengan teknologi budi daya rajungan -- yang selama ini masih sulit dilakukan, salah satunya karena faktor kanibalisme pada rajungan sehingga mengutamakan
penangkapan dan pengambilan dari alam yang berakibat pada indikasi perikanan rajungan dalam kondisi tangkap lebih (overfishing) -- mulai mendapatkan solusinya.

Bahwa dalam penelitian budi daya rajungan belum sepenuhnya sempurna, hal itulah yang menurut Sugeng Raharjo menjadi tantangan untuk terus memperbaiki dan mengembangkannya ke depan.

Ia menyebut bahwa masyarakat pelaku usaha perikanan rajungan ini, kini dengan teknologi budi daya bisa mendapatkan benih dengan tidak mengandalkan dari pengambilan di alam. 

"Harapan kami, teknologi budi daya rajungan ini kemudian bisa menyebar di Jawa, Sulawesi, hingga seluruh Indonesia, dan dikembangkan di tambak-tambak rakyat," katanya.

Senada dengan itu, Ketua APRI Kuncoro Catur Nugroho memaparkan bahwa problematika dalam industri rajungan memang mengandalkan pengambilan langsung dari alam, yakni di lautan.

"Dengan adanya teknologi budi daya rajungan ini, maka menjadi solusi jangan panjang bagi nelayan dan pelaku usaha," katanya.

Ia mengakui bahwa upaya-upaya penelitian untuk menemukan teknologi budi daya secara sporadis sudah pernah dilakukan.

"Yang ingin kita tuju adalah bagaimana akhirnya upaya itu `nyambung` dengan bisnis, yang sifatnya harus profit. Karena itulah kami serahkan kepada ahlinya di BBPBAP," katanya.

Kuncoro menyebut di Indonesia masih jarang lembaga penelitian dan dunia industri sinergi untuk menemukan titik temu sesuai yang
diharapkan, yakni riset yang dilakukan sesuai dengan misi-misi bisnis.

Menurut dia begitu banyak riset di Asia sampai Arab Saudi, topike topik yang diteliti masih jauh dari misi dunia bisnis.

"Kalau kami kalkulasi jumlah penelitian dengan biaya sampai ratusan miliar itu belum sesuai dengan misi bisnis, sehingga hasil penelitian masih menumpuk sebagai hasil riset yang membumi," katanya.

Ia menilai kerja sama dengan BBPBAP Jepara, yang akhirnya menemukan teknologi budi daya pada rajungan itu sebagai hal yang ideal.

"Yakni menemukan solusi, di mana pelaku usaha mendapatkan `raw material` (bahan baku) dari sebuah penelitian itu," katanya.

Sementara itu, pakar kelautan dan perikanan IPB Hawis Madduppa kepada Antara menyatakan bahwa pengembangan rajungan di tambak diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap lingkungan dan penangkapan alami.

"Serta dapat membantu memenuhi kebutuhan bahan baku di masa yang akan
datang," kata doktor bidang "Biotechnology and Molecular Genetics" dari Universitas Bremen, Jerman itu.

Selain itu, kata dia, pengembangan tambak rajungan juga dapat membantu program pengembangan perikanan rajungan di Indonesia.

Kegiatan penelitian budi daya tambak rajungan itu dimulai pada 4 Juni  2018 dengan penebaran benih rajungan yang berjumlah 33.800 ekor di tambak riset rajungan yang berlokasi di Jepara. Kemudian dipanen pada Sabtu (11/8) dengan berat 80-100 gram per ekor.