Semarang (Antaranews Jateng) - Permasalahan perumahan rakyat masih dilihat secara sektoral, padahal bersegi banyak, kata pakar perumahan dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Asnawi Manaf.
  
Permasalahan perumahan rakyat, kata Dr. Ing. Asnawi Manaf, S.T. di Semarang, Senin, terkait dengan banyak aspek, seperti lahan, pembiayaan, perizinan, dan tata kelola pembangunan kota, dan karakteristik segmentasi kelompok sasaran yang juga beragam.

Asnawi Manaf yang juga anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Undip mengatakan hal itu ketika merespons pemerintah atau negara selama ini belum mampu atau belum hadir dengan sungguh-sungguh untuk menjawab permasalahan perumahan rakyat ini.

"Permasalahan ini pun terkait dengan beragam pemangku kepentingan yang bersifat sangat dinamis dan sangat kompleks," kata Asnawi Manaf yang juga peneliti pada Pusat Kajian Perumahan dan Permukiman Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Undip Semarang.

Menurut dia, selama ini keberadaan dari seluruh pemangku kepentingan tidak terintegrasi dengan baik. Di dalam pemerintahan itu sendiri, ada permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
  
Asnawi mencontohkan di tingkat pusat masih sulit menghindari masalah egosektoral. Misalnya, dalam konteks pembangunan perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) belum bersinergi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Bahkan, di Kementerian PUPR itu sendiri berbagai dirjen masih bekerja sendiri-sendiri dan belum terpadu.

"Bila di tingkat pemerintahan pusat masih seperti ini, kita bisa membayangkan seperti apa kemudian pemerintah daerah di dalam menerapkan dan menjalankan berbagai program perumahan di lapangan," ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, inilah salah satu dari akar permasalahan perumahan yang perlu pembenahan. Di sisi yang lain, Indonesia belum memiliki key performance indicator (KPI) yang jelas dan mudah untuk dimonitor (audit) sehingga pemahaman di pemerintahan tentang kinerja pembangunan perumahan tidak relevan dengan permasalahan nyata di lapangan.

Ia berpendapat bahwa Pemerintah lebih banyak bekerja untuk mencapai target penyediaan (supply) perumahan  secara kuantitatif daripada melihat apakah "supply" tersebut betul-betul relevan dengan segmen dan karakteristik masyarakat yang sunguh-sungguh membutuhkan rumah.

"Hal ini berdampak pada fakta bahwa hampir 40 persen rumah yang dibangun dengan dukungan APBN melalui program sejuta rumah tidak dihuni oleh pemiliknya," kata Asnawi.

Untuk mengatasi permasalahan ini, kata dia, permasalahan perumahan harus dilihat secara komprehensif atau tidak lagi secara sektoral. Oleh sebab itu, ke depan Indonesia butuh panglima yang bisa mengintegrasikan permasalahan-permasalahan yang terjadi selama ini.