Doktor Pratama: Masuknya WNA dalam DPT Pemilu tidak terkait peretasan
Rabu, 6 Maret 2019 16:26 WIB
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Persadha (Foto: Dok. CISSReC)
Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha menyatakan masuknya 103 data kartu tanda penduduk (KTP) elektronik warga negara asing (WNA) dalam daftar pemilih tetap pada Pemilu 2019 tidak terkait dengan peretasan.
"Kendati demikian, masuknya data KTP-el WNA sebagai pemilih dalam pemilu memang patut disesalkan," kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014 kepada ANTARA di Semarang, Rabu.
Hal itu dikemukakan Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) terkait dengan 103 dari 1.600 WNA terinput sebagai pemilih.
Berita sebelumnya, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mengungkapkan 103 warga negara asing pemilik KTP-el yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 berasal dari 29 negara.
Bahkan, masih menurut data kependudukan dan pencatatan sipil, kata Pratama, dukcapil bukanlah yang menginput data pemilih, melainkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara itu, pihak KPU mengaku kemungkinan besar karena warna dan model KTP-el WNA dan WNI sangat mirip sehingga terinput.
"Ini juga menjelaskan sebenarnya tidak ada faktor luar, seperti peretasan, meski hal tersebut bisa saja terjadi. Namun, perlu 'effort' yang luar biasa melakukan input satu per satu," katanya.
Sisi baiknya, lanjut Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, adalah sistem pengecekan data pemilih KPU berjalan baik. Pasalnya, kasus ini salah satunya muncul karena suara masyarakat.
"Sistem yang sudah baik perlu mendapatkan pengamanan lebih agar tidak menjadi bulan-bulanan pihak tidak bertanggung jawab," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Saat ini, kata Pratama, KPU bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk pengamanan siber.
Ia berharap KPU bisa menggandeng Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang punya kemampuan untuk pengamanan sistem elektronik lebih dalam.
"Kendati demikian, masuknya data KTP-el WNA sebagai pemilih dalam pemilu memang patut disesalkan," kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014 kepada ANTARA di Semarang, Rabu.
Hal itu dikemukakan Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) terkait dengan 103 dari 1.600 WNA terinput sebagai pemilih.
Berita sebelumnya, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mengungkapkan 103 warga negara asing pemilik KTP-el yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 berasal dari 29 negara.
Bahkan, masih menurut data kependudukan dan pencatatan sipil, kata Pratama, dukcapil bukanlah yang menginput data pemilih, melainkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara itu, pihak KPU mengaku kemungkinan besar karena warna dan model KTP-el WNA dan WNI sangat mirip sehingga terinput.
"Ini juga menjelaskan sebenarnya tidak ada faktor luar, seperti peretasan, meski hal tersebut bisa saja terjadi. Namun, perlu 'effort' yang luar biasa melakukan input satu per satu," katanya.
Sisi baiknya, lanjut Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, adalah sistem pengecekan data pemilih KPU berjalan baik. Pasalnya, kasus ini salah satunya muncul karena suara masyarakat.
"Sistem yang sudah baik perlu mendapatkan pengamanan lebih agar tidak menjadi bulan-bulanan pihak tidak bertanggung jawab," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Saat ini, kata Pratama, KPU bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk pengamanan siber.
Ia berharap KPU bisa menggandeng Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang punya kemampuan untuk pengamanan sistem elektronik lebih dalam.
Pewarta : Kliwon
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Pakar : Google, Facebook, dan Twitter terancam diblokir tunjukkan ketegasan pemerintah
18 July 2022 13:16 WIB, 2022
Pratama: Peretasan IG pemkot tunjukkan pengamanan digital perlu dibenahi
10 October 2021 8:35 WIB, 2021
Pakar sebut human error penyebab Facebook, WhatsApp, dan Instagram down
05 October 2021 18:33 WIB, 2021
Kebocoran data pribadi gegara peladen aplikasi lama tak di-"takedown"
02 September 2021 12:04 WIB, 2021
Terpopuler - IT
Lihat Juga
Bidik generasi muda, BSI gelar literasi digital di sejumlah pusat perbelanjaan Jabodetabek
22 November 2024 13:23 WIB