Hal itu agar tidak terjadi kebingungan di kalangan umat sehubungan dengan adanya kebijakan-kebijakan baru yang dibuat oleh pemerintah seperti melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pembukaan Bandara, serta dibolehkannya pengoperasian semua moda angkutan yang ada.
"Karena hal itu sangat penting untuk dijadikan dasar bagi MUI di dalam menjelaskan dan menentukan sikap dan tindakan mana yang harus dilakukan oleh umat terkait dengan fatwa yang ada," ujar Anwar saat dikonfirmasi melalui pesan singkat di Jakarta, Minggu.
Baca juga: Shalat Idul Fitri ditiadakan jika COVID-19 tak terkendali, sebut MUI
Sebelumnya, di dalam fatwa MUI nomor 14 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19 Poin 4 dinyatakan bahwa dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan salat Dhuhur di tempat masing-masing.
Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran
COVID-19, seperti jamaah salat lima waktu/ rawatib, salat Tarawih dan Id di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
Baca juga: MUI: Batalkan kebijakan Menhub yang longgarkan transportasi
Tapi, jika pemerintah menganggap bahwa kondisi sudah terkendali, maka dalam fatwa MUI dinyatakan bahwa umat Islam wajib menyelenggarakan salat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak.
"Seperti salat lima waktu/rawatib berjamaah, shalat Tarawih dan Id di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19," pungkas Anwar.
Baca juga: Wapres: Shalat berjamaah tidak boleh dilakukan di zona merah COVID-19
Baca juga: Arab Saudi hentikan shalat berjamaah di masjid akibat virus corona