Purwokerto (ANTARA) - Tim penyakit infeksi emerging (PIE) RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah belakangan ini mendapati beberapa pasien COVID-19 mengalami happy hypoxemia syndrome atau happy hypoxia, yakni kondisi seseorang dengan kadar oksigen rendah dalam tubuh.

Salah satu dokter spesialis paru yang bertugas yaitu dr. Wisuda Moniqa Silviyana, Sp.P menuturkan beberapa pasien COVID-19 yang mengalami happy hypoxia terlihat biasa-biasa aja padahal saat di cek, saturasi oksigennya sudah di level 70 hingga 80 persen.

"Menariknya adalah saat kami cek dengan alat yang disebut pulse oxymeter menunjukkan saturasi oksigennya rendah, hasil analisis gas darah arteri (AGD) juga menunjukkan tanda gagal napas. Tetapi pasien saat itu baik-baik saja, bisa berkomunikasi seperti biasa," katanya.

Baca juga: 22 tenaga medis gugur karena COVID-19 dapat bintang jasa

Menurutnya, kondisi di mana pasien mengalami penurunan saturasi oksigen serta tanda gagal napas, menunjukkan pasien sedang mengalami hypoxia.

Namun yang menarik perhatian tim medis saat itu adalah, mengapa pasien tersebut sejak awal tidak menunjukkan gejala hypoxia seperti, misalnya, sesak napas, gelisah, dan tubuh yang makin melemah. Pasien malah terlihat baik-baik saja.

Sebelum melanjutkan ceritanya tentang happy hypoxia, dia terlebih dulu menjelaskan, bahwa pada kondisi normal seseorang biasanya memiliki saturasi oksigen antara 95 sampai 100 persen.

Dalam keadaan saturasi oksigen normal maka sel darah merah atau hemoglobin dapat mengikat oksigen dengan baik lalu akan menyampaikannya ke seluruh sel pada jaringan tubuh.

Namun, saat mengalami hypoxia maka saturasi oksigen mengalami penurunan, di bawah level normal.

Saturasi oksigen di bawah normal itu akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan ikatan hemoglobin terhadap oksigen dan pada akhirnya oksigen yang disampaikan ke seluruh sel pada jaringan tubuh juga berkurang.

Saat seseorang mengalami hypoxia, maka biasanya ada gejala yang ditunjukkan sejak awal seperti sesak napas, gelisah, hingga tubuh yang makin melemah, sebelum akhirnya kondisi makin memburuk.

"Namun fenomena yang berbeda terjadi pada beberapa pasien COVID-19 yang kami tangani. Pasien tampak tidak sesak atau tidak begitu sesak atau hanya sedikit sesak dan masih dapat melakukan aktivitas, berbicara, seolah sedang tidak mengalami hypoxia," katanya.

Pasien tersebut seolah-olah dapat mentolelir kondisi dalam tubuhnya sehingga tidak menunjukkan gejala penurunan saturasi sejak awal. Hingga nantinya kondisinya makin memburuk.

Saat saturasi oksigennya sudah anjlok, barulah pasien menunjukkan kondisi berat dan perburukan sehingga harus segera diberikan alat bantu napas.

"Kondisi itulah yang disebut dengan happy hypoxemia syndrome. Kepustakaan ada yang menyebutkan nama lain yaitu silent hypoxia syndrome, pasien seolah-olah baik-baik saja padahal sedang dalam kondisi hypoxia," katanya.

Gejala sesak napas, kata dia, baru mulai tampak setelah terjadi konsolidasi berat pada jaringan paru.

"Kalau dilihat dari patogenesisnya, dyspnea atau gejala sesak napas baru mulai tampak setelah jaringan paru mulai mengalami penurunan dan bahkan sudah terjadi konsolidasi berat, jadi jika gambaran parunya rusak berat maka gejala sesaknya baru muncul," katanya.
 

Bulan Juli

Dia mengatakan pihaknya makin intensif mengamati adanya kondisi pasien yang nampak baik-baik saja padahal saturasinya sudah sangat menurun itu pada bulan Juli 2020.

"Pada bulan Juli 2020 kami mulai mengalami peningkatan kasus rujukan dengan pneumonia sedang sampai berat, pada saat itu juga ada pasien yang saat tiba di rumah sakit kelihatannya tidak terlalu sesak tapi tidak lama kemudian makin memberat dan memerlukan ventilator. Setelah dilakukan analisis gas darah arteri ternyata pasien sedang mengalami hypoxia," katanya.

Berbekal pengalaman demi pengalaman itu, ia dan tim makin mengintensifkan pengecekan saturasi oksigen pada pasien secara berkala untuk mengantisipasi kondisi pasien yang memburuk tiba-tiba.

"Meskipun pasien tidak mengalami gejala hypoxia namun pengecekan saturasi oksigen pasien COVID-19 kami lakukan tiap sebentar-sebentar dan secara terus menerus," katanya.

Jika pengecekan tersebut menunjukkan pasien sedang mengalami hypoxia maka pihaknya akan bertindak berdasarkan hasil analisis gas darah arteri pasien.

"Dari hasil analisis gas darah arteri dapat terlihat apakah pasien tersebut masih dapat dikoreksi dengan pemberian terapi oksigen dengan masker oksigen, atau memang sudah perlu ventilator, ada hitungannya. Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo sendiri tidak perlu menunggu lama karena ada alatnya jadi segera dipasang jika memang perlu ventilator," katanya.

Kendati demikian, kata dia, pihaknya akan tetap mempertimbangkan terlebih dahulu. Apabila memang masih memungkinkan dibantu dengan masker oksigen maka pasien akan dipasang masker oksigen saja.

Dia lantas menambahkan bahwa pasien COVID-19 di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo yang mengalami happy hypoxia sebagian besar bisa ditangani dengan baik namun ada juga yang meninggal dunia.

"Ketika terjadi happy hypoxia maka kami segera melakukan terapi pada pasien sesuai prosedur sehingga kondisi pasien dapat tertolong dan berangsur membaik. Namun bila kondisi pasien berlanjut karena infeksi makin parah, merusak paru dan terlanjur terjadi kerusakan luas pada jaringan paru maka pasien bisa tidak tertolong," katanya.

Karena itu pihaknya berharap dengan melakukan analisis gas darah arteri dan pengecekan saturasi secara berkala walau kondisi pasien terlihat baik-baik saja, maka akan dapat mengantisipasi kemungkinan terburuk.

"Apabila pemeriksaan dan hasil AGD menunjukkan hypoxia maka kami segera melakukan koreksi oksigenasi, memberikan tatalaksana secepat mungkin agar selamat dan tidak menunggu sampai pasien sesak," katanya.

Penyakit Penyerta

Dokter Moniq juga menyebutkan bahwa ada tiga orang pasien COVID-19 di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo yang meninggal dunia setelah sebelumnya mengalami happy hypoxia.

Ketiga pasien tersebut, tambah dia, juga memiliki penyakit komorbid atau penyakit penyerta seperti gangguan jantung, hipertensi serta obesitas atau kegemukan.

Menurut dia, penyakit komorbid pada pasien dapat mempengaruhi imunitas dan imunitas yang menurun menyebabkan fungsi sel-sel imun juga menurun.

"Dengan demikian menjadi tidak maksimal dalam melawan infeksi yang terjadi," katanya.

Sementara itu, dari pengalaman yang dibagikan oleh dokter Moniq, terdapat hal yang dapat menjadi perhatian bersama yaitu mengenai pentingnya menjaga kesehatan dan daya tahan tubuh.

Hal yang sama juga disampaikan oleh akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Dr. Ridlwan Kamaluddin mengenai pentingnya melaksanakan pola hidup bersih dan sehat selama masa pandemi guna menjaga daya tahan tubuh.

Selain itu, koordinator bidang kesehatan Pusat Mitigasi Bencana Unsoed itu juga mengingatkan pentingnya menerapkan protokol kesehatan guna mencegah COVID-19.

Hal itu sangat tepat, karena selain menjaga daya tahan tubuh, hal yang juga sangat perlu dilakukan pada saat ini adalah menerapkan protokol kesehatan.

Mari bersama-sama memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Demi melindungi diri kita dan tentu saja, orang-orang terdekat kita.

Baca juga: Dokter RSA UGM tegaskan tes usap aman dan tak merusak otak
Baca juga: Peran apoteker dinilai strategis dalam pencegahan COVID-19