Jakarta (ANTARA) - Tim Percepatan Proyek Baterai Kendaraan Listrik Indonesia mengaku masih melakukan sejumlah negosiasi dengan beberapa calon mitra untuk menggarap proyek baterai kendaraan listrik di Indonesia, termasuk satu di antaranya Tesla, perusahaan kendaraan listrik asal Amerika Serikat.

Ketua Tim Percepatan Proyek Baterai Kendaraan Listrik Agus Tjahajana dalam konferensi pers virtual, Selasa, mengungkapkan Tesla merupakan satu dari tiga calon mitra yang aktif melakukan komunikasi dengan tim, selain perusahaan baterai asal China CATL dan LG Chem asal Korea Selatan.

"Mengenai Tesla, kita dalam tahap negosiasi. Kita sedang mencari dan ingin mengetahui kira-kira interest (ketertarikan) Tesla apa. Tesla ini agak late comers. Kita sudah maju jauh 5-6 bulan di depan, Tesla baru belakangan masuk, sehingga kita sedang pelajari mereka mau masuknya kemana. Salah satu yang kami dapat tangkap dari pembicaraan kemarin, Tesla ingin masuk ke ESS (Energy Storage System)," katanya.

Agus menjelaskan negosiasi juga masih dilakukan dengan dua calon mitra lainnya. Khusus dengan LG, Komisaris Utama MIND ID itu mengatakan perusahaan asal negeri ginseng itu ingin ada jaminan kepastian bahan baku komponen baterai listrik untuk berproduksi.

"Syarat-syarat yang diminta LG, mereka ingin terjamin selama dia berproduksi, bahan bakunya ada. Saya kira itu sesuatu yang wajar karena semua mitra itu takut, misal 20 tahun, 10 tahun (bahan baku) sudah habis. Maka mereka ingin pastikan bahwa bahan baku itu cukup supaya investasinya tidak sia-sia," katanya.

Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury, dalam kesempatan yang sama, menuturkan untuk bisa mengembangkan industri kendaraan listrik dan baterai kendaraan listrik, Indonesia perlu bermitra dengan pemain global dunia.

"MIND ID, Antam, Pertamina, PLN, perlu lakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang punya teknologi dan bisa memberi sumber daya untuk berinvestasi di bidang baterai kendaraan listrik secara terintegrasi," katanya.

Di sisi lain, Indonesia juga masih membutuhkan investasi untuk merealisasikan potensi industri baterai kendaraan listrik, mulai dari penambangan, pemurnian dan pengolahan, hingga pembangunan pabrik untuk produksi battery cell dan battery pack.

"Pengolahan eksploitasi tambang butuh miliaran dolar, turun ke fasilitas smelting dan refinery, itu juga butuh miliaran dolar. Apalagi kemudian membangun pabrik untuk buat prekursor dan katode sebelum dimanfaatkan jadi battery cell dan battery pack, tentu butuh investasi puluhan miliar dolar," katanya.

Pahala menambahkan, pengembangan industri baterai kendaraan listrik diperkirakan akan memberi dampak bagi perekonomian nasional sebesar 25 miliar dolar AS atau sekitar Rp400 triliun pada 2027 mendatang.

Selain itu, pengembangan industri baterai kendaraan listrik jadi langkah strategis agar Indonesia bisa masuk dalam mata rantai pasok global pasar kendaraan listrik di masa depan.

"Tanpa kemitraan, belum tentu semua yang kita hasilkan dari nikel yang kita produksi sendiri itu akan bisa kita gunakan di Indonesia. Maka, ke depan, bagaimana Indonesia menggunakan kendaraan listrik dan baterai yang diproduksi ini agar bisa jadi bagian mata rantai pasok global untuk produksi kendaraan listrik di masa datang. Ini yang buat kita melihat prospek pengembangan industri baterai ini betul-betul strategis," pungkas Pahala.

Baca juga: Insinyur baru kerja 3 hari dituduh curi dokumen rahasia Tesla