Semarang (ANTARA) - Wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada tahun 2022 dan 2023 sempat mengemuka seiring dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) oleh Komisi II DPR RI.

RUU Pemilu versi 26 November 2020 setebal 363 halaman mengatur pelaksanaan pilkada dalam pasal 731 dan 734.

Pasal 731 Ayat (2) menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022.

Baca juga: Penyelenggara pemilu perlu lakukan terobosan untuk hindari keterbelahan politik

Selanjutnya, pada Ayat (3) pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023.

Dalam Pasal 734 Ayat (1) disebutkan bahwa pemilu daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap 5 tahun sekali.

Dalam RUU Pemilu, ada perubahan masa jabatan kepala daerah. Semula pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, produk Pilkada Serentak 2020 berakhir pada tahun 2024, menjadi 2025 atau 5 tahun. Hal ini termaktub dalam Pasal 735 Ayat (2) RUU Pemilu.

Namun, Komisi II DPR RI pada hari Rabu (10/2) sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Pemilu yang bermaksud menyatukan UU No. 10/2016 tentang Pilkada dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Akan tetapi, belum ada kepastian apakah RUU Pemilu yang merupakan inisiatif DPR RI ini akan berlanjut atau tidak.

Sepanjang belum ada revisi, pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2024 tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).

Dalam UU Pilkada Pasal 201 Ayat (8) mengatur soal pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Amanat MK

Keserentakan dalam pemilu ini juga merupakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU XVII/2019 tanggal 26 Februari 2020. Putusan ini berawal dari pengujian UU No. 7/2017 tentang Pemilu, UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Perpu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, dan UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Meski MK menolak permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dalam amar putusannya terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.

Model pertama pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD, kemudian populer dengan istilah Pemilu 5 Kotak (Pemilu Presiden/Wakil Presiden RI, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota).

Kedua, pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, gubernur, dan bupati/wali kota.

Ketiga, pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota.

Keempat, pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden. Pelaksanaan pemilu serentak ini setelah beberapa waktu pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.

Kelima, pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan memilih bupati/wali kota.

Keenam, pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.

Dalam hal ini bukanlah ranah MK menentukan model di atas, melainkan pembuat undang-undang (pemerintah dan DPR) yang akan memutuskannya. Pada prinsipnya, pelaksanaan pemilu secara serentak.

Jika pemilu serentak pada tahun 2024, penyelenggara pemilu (dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum) perlu memperhatikan penahapan pilkada, pemilu anggota legislatif, dan pemilu presiden/wakil presiden.

Meski pemungutan suara pilkada pada bulan November 2024 tidak berbarengan dengan pemungutan suara pemilu anggota legislatif (pileg) dan pilpres pada bulan April 2024, bakal terjadi irisan tahapan pemilihan.

Apa yang dikatakan oleh anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini ini perlu menjadi perhatian semua penyelenggara pemilu, baik KPU, Bawaslu, maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Masalahnya, pada saat pungut hitung dan rekap suara pileg/pipres (April—Mei 2024) beririsan waktu dengan pembentukan panitia pemungutan suara (PPS) pilkada, pemutakhiran data pemilih, penyerahan dukungan, dan penelitian administrasi pencalonan perseorangan.

Baca juga: Perlu menakar kemampuan KPPS dalam pemilu borongan
Baca juga: Titi Anggraini sangat menyayangkan DPR tak lanjutkan pembahasan RUU Pemilu
Baca juga: Titi Anggraini: Bakal terjadi irisan tahapan pileg, pilpres, dan pilkada