Di atasnya berdiri si raksasa Gunung Rinjani yang sesekali muncul dan menghilang karena tersabut kabut tebal. Rasa dingin pun mulai terasa.
Si empu rumah menawarkan, "Kita buatkan kopi lagi, ya," kata Nur Saat, petani kopi Dusun Senaru, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
Sedikit cerita, Nur Saat yang akrab dipanggil Bang Saat, dahulunya memiliki jasa pendakian Gunung Rinjani namun sejak gempa 2018 disusul pandemi COVID-19 membuat usahanya perlahan-lahan meredup.
Untuk melanjutkan perjuangannya mendapatkan sesuap nasi, dia terpaksa bertani kopi yang akhirnya menjadi profesi tetap.
Saat kopi tiba di hadapan, aroma tajam terasa yang terbawa dari kepulan air panas di gelas. Membuat gairah ingin menyeruput pun tak bisa tertahan lagi.
"Kopi Senaru ini terkenal dengan rasanya yang legit," sambung Bang Saat.
Setelah dicicipi, kopi robusta jagoan Senaru itu memang beda. Aromanya sangat tajam. Dusun Senaru terbilang berada di dataran tinggi sekitar 750 meter di atas permukaan laut (Mdpl).
Mungkin, faktor ketinggian itu melahirkan cita rasa yang berbeda untuk sekelas kopi robusta. Belum lagi pengolahan usai petik sangat memengaruhi.
"Memang memerlukan ketelatenan untuk menghasilkan kopi yang enak," katanya.
Kopi robusta Senaru hasil olahan dirinya bersama sejumlah warga melahirkan beberapa jenis, seperti wine dan honey.
Untuk jenis yang anggur memang agak sulit prosesnya hingga produknya tidak terlalu banyak. "Namun paling banyak dicari," tambahnya.
Selain itu, kopi robusta juga bisa rasa nangka atau jenis buah-buahan lainnya, tergantung jenis tanaman yang ada di dekat pohon kopi itu.
Tapi jangan salah juga, di Dusun Senaru juga memroduksi kopi arabika. Namun kalah banyak dengan kopi robusta. Untuk kopi arabika rasa asam dan kekecutannya juga tak kalah dengan kopi daerah lainnya.
Terdapat pula satu jenis kopi produk Senaru yakni luwak, tapi terhitung terbatas produksinya berbeda dengan kopi robusta.
Karena itu, banyak wisatawan baik nasional maupun internasional yang pernah mendaki Gunung Rinjani, ketagihan dengan kopi daerah tersebut.
"Banyak dari wisatawan yang pernah ke Senaru memasan kopi saya," katanya.
Dari mancanegara seperti dari Australia, Swiss, Belgia dan Amerika Serikat. Kalau dari nasional, pesanan berasal dari Jakarta, Bandung, Cirebon dan sejumlah daerah lainnya.
Mayoritas pemesan dari mancanegara itu meminati kopi arabika. Harganya untuk arabika jenis biji kopi mentah (green bean) Rp150 ribu per kilogram dan kopi yang sudah dipanggang Rp200 ribu per kilogram.
"Kopi arabika cepat larisnya, dua bulan pasca-panen langsung ludes," katanya.
Namun dirinya masih menjual kopi jenis lain. "Kami juga menjual kopi robusta seharga Rp75 ribu per 150 gram," katanya.
Bisa dikatakan, untuk mempertahankan usaha kopi, mereka menjualnya masih secara konvensional alias hanya terbatas pada mereka yang kenal saja.
"Alhamdulillah pesanan selalu ada tapi terbatas kepada kenalan atau mereka yang pernah mendaki Gunung Rinjani saja," kata Bang Saat.
Kurang perhatian
Melihat potensi besar seperti itu, hanya disayangkan minimnya perhatian dari pemerintah setempat, baik kabupaten maupun provinsi.
Setidaknya melalui pendampingan sangat diperlukan dari segi proses tanam, sampai mengolah hingga pemasaran atau promo.
Paling utama adalah bagaimana cara untuk mempertahankan atau meningkatkan rasa, kemudian yang lainnya adalah cara pengemasannya hingga cara memasarkannya.
Tampaknya sampai sekarang masih kurang perhatian terhadap potensi kopi di NTB. Benar-benar disayangkan di mana gaung NTB terus dicanangkan di antaranya melalui ajang MotoGP.
Namun pemerintah daerah tidak memanfaatkan peluang yang ada. Kopi juga bisa jadi sarana ketahanan ekonomi di saat pandemi COVID-19.
Tingkatkan jenama lokal
Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Sjamdul Hadi mendorong Pemerintah Kabupaten Lombok Utara (KLU), memiliki jenama atau brand kopi lokal yang mampu menembus pasar global.
"Untuk hal ini memang perlu disepakati terlebih dahulu, kemudian dilakukan uji kualitas yang membuktikan bahwa kopi KLU memiliki cita rasa khas yang beda dengan kopi di daerah-daerah lain," katanya di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Minggu (22/11) 2020.
Pernyataan itu disampaikan dalam diskusi dengan sekitar 25 orang perwakilan pelaku Koperasi dan UMKM se-Pulau Lombok khususnya yang berada di lingkar Rinjani, di Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang merupakan rangkaian puncak kegiatan Festival Rinjani 2020.
Sjamdul Hadi mengatakan, setelah ada hasil uji kualitas kopi KLU, hal yang perlu diperhatikan lagi adalah kemasan. Untuk memperkuat nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, maka pada kemasan kopi KLU harus memberikan cerita.
Bukan hanya cerita tentang kopi itu saja, melainkan juga seperti apa prosesnya sehingga bisa menghasilkan kopi dengan cita rasa beda dengan daerah lain.
"Saya punya cerita juga dengan Kopi Ngada di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, dan itu bisa menjadi contoh. Dengan demikian, kita dapat menikmati kopi hasil olahan UMKM lokal lebih sempurna," katanya.
Selain kopi, Sjamdul Hadi juga mendorong pertumbuhan dan pengembangan IKM tenun, dengan mengangkat desain tenun memiliki kearifan lokal serta cerita daerah.
"Harapan kami, di masa pandemi COVID-19, para pengusaha UMKM di daerah ini bisa terus berkreasi dan produktif dari rumah," katanya.
Budaya "ngopi" di Indonesia yang sudah menjadi semacam ritual tradisi di mana-mana, seiring waktu juga produknya kian dikenal di dunia.
Gerai kopi asing seperti Starbucks mengambil sebagian bahan baku kopinya dari Indonesia.
Berdasarkan laporan tahun 2018 biji kopi jenis arabika, yang berasal dari wilayah Sumatera Utara diserap oleh gerai asing itu mencapai 50 ribu ton per tahun.
Fakta itu, menjadi peluang bagi kopi dari Senaru untuk juga dikenal di pasar dunia, tentu dengan mengangkatnya dengan berbagai cara menyinergikannya dengan baik antar-pemangku kepentingan.