Antropolog: Penegakan UU ITE cegah lahirnya generasi maneki
Kamis, 15 Juli 2021 14:03 WIB
Ketua Prodi Antropologi FIB Undip Semarang Dr. H. Amirudin. ANTARA/Dokumentasi Pribadi
Semarang (ANTARA) - Antropolog dari Undip Semarang Dr. H. Amirudin menyatakan UU ITE secara konsisten dan tidak diskriminasi sebenarnya dapat dipakai untuk mencegah lahirnya generasi maneki (generasi tanpa jiwa tanpa nilai budaya keindonesiaan) karena intensitas pemanfaatan teknologi media.
"Penegakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tanpa tebang pilih di tengah pandemik COVID-19 ini penting guna mencegah Generasi Z atau mereka yang lahir 1995—2010 tidak melakukan perundungan (bullying)," kata Ketua Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) Dr. H. Amirudin di Semarang, Kamis.
Hal ini mengingat, kata Amirudin, ancaman hukuman atas pelanggaran pasal itu adalah hukuman pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 miliar, sesuai dengan ketentuan Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016.
Pasal 29 UU ITE menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Amirudin yang juga Ketua Dewan Pakar Mappilu PWI Provinsi Jawa Tengah mengemukakan hal itu terkait dengan kebijakan pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat di sejumlah daerah di Indonesia.
Instruksi Menteri Dalam Negeri yang menetapkan PPKM darurat di sejumlah wilayah menyebutkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, baik sekolah, perguruan tinggi, akademi, maupun tempat pendidikan/pelatihan, dilakukan secara daring (online).
Kebijakan ini, lanjut Amirudin, mau tidak mau pelajar dan para guru harus akrab dengan teknologi. Pembelajaran hard skill (keterampilan teknis) inilah salah satu sisi positif pada masa pandemi virus corona karena mereka menjadi lebih akrab dengan teknologi informasi.
Namun, kata dosen FIB Undip ini, jika para pengajar tidak melakukan modifikasi pembelajaran soft kill (keterampilan budi pekerti) melalui daring, termasuk di dalamnya etika dan nilai-nilai dasar keindonesiaan, dikhawatirkan anak didik akan mengalami "defisit" nilai-nilai budi pekerti.
"Mereka kehilangan sikap empati, kasih sayang, dan kepedulian terhadap sesama temannya," kata antropolog Amirudin.
Baca juga: Pro dan kontra serta khitah tujuan awal UU ITE
Baca juga: Menyandingkan Undang-Undang ITE dan KUHP
"Penegakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tanpa tebang pilih di tengah pandemik COVID-19 ini penting guna mencegah Generasi Z atau mereka yang lahir 1995—2010 tidak melakukan perundungan (bullying)," kata Ketua Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) Dr. H. Amirudin di Semarang, Kamis.
Hal ini mengingat, kata Amirudin, ancaman hukuman atas pelanggaran pasal itu adalah hukuman pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 miliar, sesuai dengan ketentuan Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016.
Pasal 29 UU ITE menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Amirudin yang juga Ketua Dewan Pakar Mappilu PWI Provinsi Jawa Tengah mengemukakan hal itu terkait dengan kebijakan pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat di sejumlah daerah di Indonesia.
Instruksi Menteri Dalam Negeri yang menetapkan PPKM darurat di sejumlah wilayah menyebutkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, baik sekolah, perguruan tinggi, akademi, maupun tempat pendidikan/pelatihan, dilakukan secara daring (online).
Kebijakan ini, lanjut Amirudin, mau tidak mau pelajar dan para guru harus akrab dengan teknologi. Pembelajaran hard skill (keterampilan teknis) inilah salah satu sisi positif pada masa pandemi virus corona karena mereka menjadi lebih akrab dengan teknologi informasi.
Namun, kata dosen FIB Undip ini, jika para pengajar tidak melakukan modifikasi pembelajaran soft kill (keterampilan budi pekerti) melalui daring, termasuk di dalamnya etika dan nilai-nilai dasar keindonesiaan, dikhawatirkan anak didik akan mengalami "defisit" nilai-nilai budi pekerti.
"Mereka kehilangan sikap empati, kasih sayang, dan kepedulian terhadap sesama temannya," kata antropolog Amirudin.
Baca juga: Pro dan kontra serta khitah tujuan awal UU ITE
Baca juga: Menyandingkan Undang-Undang ITE dan KUHP
Pewarta : Kliwon
Editor : Kliwon
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Pakar hukum: Hanya korban pencemaran nama baik di medsos yang bisa lapor
09 March 2021 10:58 WIB, 2021
Pakar keamanan siber dukung Presiden dan DPR revisi pasal karet UU ITE
17 February 2021 11:44 WIB, 2021