Turki disebut berminat pesan 5,2 juta dosis Vaksin Nusantara
Rabu, 25 Agustus 2021 12:40 WIB
Ilustrasi - Botol vaksin virus corona baru atau COVID-19 di laboratorium. ANTARA/HO-Shutterstock
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Biokimia dan Biologi Molekular Universitas Airlangga Prof. Chairul Anwar Nidom mengemukakan ketertarikan Pemerintah Turki untuk membeli Vaksin Nusantara berbasis sel dendritik dari Indonesia.
"Yang jelas, memang luar negeri sudah ada yang minat. Saya dapat informasi dari Dokter Terawan Agus Putranto (penggagas vaksin Nusantara) bawa ada keinginan dari negara Turki membeli Vaksin Nusantara," kata Chairul Anwar Nidom yang dikonfirmasi ANTARA melalui sambungan telepon, Rabu siang.
Dalam dialog di kanal Youtube Siti Fadilah, Kamis (19/8), Nidom menyampaikan bahwa Vaksin Nusantara rencananya akan dipesan negara Turki sebanyak 5,2 juta dosis.
"Pada acara tersebut saya sampaikan bawa untuk tindak lanjutnya apakah nanti akan dikelola G to G (antarpemerintah) atau antar-business to business (transaksi bisnis) saya enggak tahu," katanya.
Menurut Nidom, pemerintah Turki bahkan menawarkan uji klinik untuk fase 3 vaksin Nusantara dilakukan di negara mereka.
"Untuk Turki, Vaksin Nusantara ini justru menguntungkan, karena terus terang bahwa vaksin Nusantara ini dari aspek risiko toksisitas (keracunan), faktor sosial agama itu kan nggak ada masalah. Jadi kalau dia bisa menangkap itu, paling tidak negara Islam akan di-cover sama Turki," katanya.
Nidom menilai Vaksin Nusantara merupakan potensi bagi Indonesia untuk dijadikan aspek ekonomi berkat terobosan baru dalam teknologi kesehatan dari sebuah vaksin yang sudah berumur 300 tahun itu.
Berdasarkan pengamatan aspek sains, pada uji klinik fase 1 dan 2 pada para relawan, tidak ditemukan masalah, bahkan para relawan merasa lebih nyaman usai penyuntikan Vaksin Nusantara.
"Perbedaannya, Vaksin Nusantara karena sel dendritik itu tidak terjadi inflamasi, sementara vaksin yang konvensional ini akan terjadi inflamasi," katanya.
Inflamasi yang dimaksud adalah kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) yang kerap dialami peserta vaksinasi COVID-19 seperti reaksi demam, kepala pusing, bengkak, bercak kemerahan dan sebagainya usai seseorang menerima suntikan vaksin konvensional.
"Vaksin konvensional yang saya maksud adalah yang berbasis inactivated virus (virus yang dimatikan) maupun platform mRNA. Teknologi memasukkan sesuatu ke dalam tubuh seseorang dengan bahan asing itu adalah konvensional," katanya.
Sedangkan sel dendritik pada vaksin Nusantara, kata Nidom, diterapkan dengan cara mengeluarkan 'mesin' di dalam tubuh untuk diolah di luar tubuh, kemudian setelah aktif dimasukkan kembali ke dalam tubuh penerima manfaat. "Ini kan teknologi baru," katanya.
"Yang jelas, memang luar negeri sudah ada yang minat. Saya dapat informasi dari Dokter Terawan Agus Putranto (penggagas vaksin Nusantara) bawa ada keinginan dari negara Turki membeli Vaksin Nusantara," kata Chairul Anwar Nidom yang dikonfirmasi ANTARA melalui sambungan telepon, Rabu siang.
Dalam dialog di kanal Youtube Siti Fadilah, Kamis (19/8), Nidom menyampaikan bahwa Vaksin Nusantara rencananya akan dipesan negara Turki sebanyak 5,2 juta dosis.
"Pada acara tersebut saya sampaikan bawa untuk tindak lanjutnya apakah nanti akan dikelola G to G (antarpemerintah) atau antar-business to business (transaksi bisnis) saya enggak tahu," katanya.
Menurut Nidom, pemerintah Turki bahkan menawarkan uji klinik untuk fase 3 vaksin Nusantara dilakukan di negara mereka.
"Untuk Turki, Vaksin Nusantara ini justru menguntungkan, karena terus terang bahwa vaksin Nusantara ini dari aspek risiko toksisitas (keracunan), faktor sosial agama itu kan nggak ada masalah. Jadi kalau dia bisa menangkap itu, paling tidak negara Islam akan di-cover sama Turki," katanya.
Nidom menilai Vaksin Nusantara merupakan potensi bagi Indonesia untuk dijadikan aspek ekonomi berkat terobosan baru dalam teknologi kesehatan dari sebuah vaksin yang sudah berumur 300 tahun itu.
Berdasarkan pengamatan aspek sains, pada uji klinik fase 1 dan 2 pada para relawan, tidak ditemukan masalah, bahkan para relawan merasa lebih nyaman usai penyuntikan Vaksin Nusantara.
"Perbedaannya, Vaksin Nusantara karena sel dendritik itu tidak terjadi inflamasi, sementara vaksin yang konvensional ini akan terjadi inflamasi," katanya.
Inflamasi yang dimaksud adalah kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) yang kerap dialami peserta vaksinasi COVID-19 seperti reaksi demam, kepala pusing, bengkak, bercak kemerahan dan sebagainya usai seseorang menerima suntikan vaksin konvensional.
"Vaksin konvensional yang saya maksud adalah yang berbasis inactivated virus (virus yang dimatikan) maupun platform mRNA. Teknologi memasukkan sesuatu ke dalam tubuh seseorang dengan bahan asing itu adalah konvensional," katanya.
Sedangkan sel dendritik pada vaksin Nusantara, kata Nidom, diterapkan dengan cara mengeluarkan 'mesin' di dalam tubuh untuk diolah di luar tubuh, kemudian setelah aktif dimasukkan kembali ke dalam tubuh penerima manfaat. "Ini kan teknologi baru," katanya.
Pewarta : Andi Firdaus
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Pemkab Batang pacu kemandirian ekonomi UMKM lewat Pameran Nusantara pada 27-31 Desember
18 December 2025 19:53 WIB
Pemkot Pekalongan komitmen perkuat ekonomi kerakyatan di Festival BTK dan Pekan Batik Nusantara
02 December 2025 15:35 WIB
Tim UMS raih silver medal, inovasi bisnis parfum lokal tekankan aksesibilitas dan pemberdayaan sosial
29 November 2025 16:32 WIB
Bupati Batang resmikan Nusantara Basketball Competition dorong sportivitas pelajar
24 October 2025 19:06 WIB
Terpopuler - Kesehatan
Lihat Juga
Tim Pengabdian KESMAS UMS gandeng Puskesmas Gilingan cegah anemia ibu hamil lewat ANECMA
18 December 2025 19:27 WIB
Mahasiswa Fisioterapi UMS implementasikan layanan kesehatan berbasis komunitas
09 December 2025 21:46 WIB
PMI Solo pastikan stok darah aman, ajak warga donor untuk bantu korban bencana
09 December 2025 14:23 WIB