Tragedi Lapas Tangerang jadi momentum pembaruan sistem pemidanaan
Senin, 13 September 2021 14:44 WIB
Petugas melihat kondisi Lapas Kelas I Tangerang, Banten, usai terbakar pada Rabu (8/9/2021) dini hari. ANTARA/HO-Humas Kemenkumham
Semarang (ANTARA) - Kebakaran yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, Rabu (8/9), bukan hanya sebuah tragedi bagi keluarga warga binaan pemasyarakatan lapas setempat, melainkan membuka wacana terkait dengan pembaruan sistem hukum nasional.
Sejumlah pakar hukum pun angkat bicara atas peristiwa memilukan yang mengakibatkan 41 warga binaan pemasyarakatan (WBP) meninggal dunia pada hari kejadian.
Jumlah korban yang meninggal dunia hingga Senin (13/9) bertambah menjadi 46 orang menyusul lima orang di antara korban yang mengalami luka bakar akhirnya mengembuskan napas terakhir saat menjalani perawatan di RSUD Tangerang.
Mereka yang masih di bawah asuhan negara atau tanggung jawab negara/pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa ketika api berkobar di Blok C2 Lapas Tangerang, Rabu sekitar pukul 01.45 WIB. Mau menyelamatkan diri, sel mereka terkunci.
Dengan jumlah korban yang begitu banyak ini, overcapacity (kelebihan kapasitas) menjadi sorotan ikutan. Dikatakan pakar hukum dari Universitas Borobudur Jakarta Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. bahwa angka kematian korban kebakaran yang tinggi itu diakibatkan oleh kelebihan kapasitas lapas.
Idealnya, menurut Ketua Prodi Doktor Hukum Unbor ini, 9 kamar hanya diisi sekitar 40 narapidana. Akan tetapi, 9 kamar di Blok C2 dihuni oleh 122 narapidana. Bahkan, Lapas Tangerang menampung 2.072 WBP. Padahal, kapasitas lapas ini hanya menampung 600 orang.
Fenomena kelebihan kapasitas lapas di Indonesia menjadi topik dalam Kajian Islam dan Konstitusi dengan menampilan pembicara Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. Acara yang dipandu Titi Anggraini ini disiarkan melalui YouTube Salam Radio Channel, Jumat (10/9).
Hamdan Zoelva tidak sependapat kebakaran di Lapas Tangerang gegara kelebihan kapasitas. Overcapacity ini persoalan lain, bahkan di seluruh lapas dan rumah tahanan negara (rutan) se-Indonesia rata-rata hampir 200 persen.
Ditegaskan pula bahwa kebakaran terjadi karena fasilitas, gedung Lapas Tangerang yang nisbi tua dan instalasi listrik dibangun pada tahun 1972, kemudian di instalasi yang sama ditambah daya.
Ketika Hamdan sebagai anggota DPR RI periode 1999—2004 pernah meninjau sejumlah lapas/rutan. Lembaga pemasyarakatan di kota-kota besar semua kelebihan kapasitas, kecuali di kota-kota kecil. Namun, sekarang ini sampai kota-kota kecil kelebihan kapasitas.
Persoalannya adalah narapidana narkoba di seluruh Indonesia rata-rata mengisi di atas 60 persen dari total warga binaan pemasyarakatan. Sisanya napi kasus pembunuhan, terorisme, dan perkara lainnya. Hal ini harus dituntaskan.
Oleh karena itu, tidak bisa hanya mempersoalkan kelebihan kapasitas, tetapi ada kelalaian negara/pemerintah untuk memperhatikan masalah keamanan dan fasilitas.
Gedung Tua
Di balik tragedi Lapas Tangerang, muncul pertanyaan kenapa dari dahulu fasilitas lembaga pemasyarakatan tidak menjadi perhatian? Gedung yang nisbi tua yang sangat mungkin terjadi kebakaran akibat arus pendek (korsleting) listrik, menurut Sekretaris Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB) DPR RI periode 1999—2004 Hamdan Zoelva, tidak pernah diurus dengan baik.
Jika belum membangun sebanyak mungkin lapas/rutan untuk pembinaan, Pemerintah perlu memperhatikan keamanan bangunan, fasilitas gedung, dan orang yang berada di dalamnya. Meski warga binaan pemasyarakatan menjalani masa hukumannya di tempat itu, mereka juga manusia yang harus dijaga keselamatan hidupnya.
Hamdan yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam sangat bersedih dengan peristiwa yang menyebabkan 46 orang meninggal dunia. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Mereka tidak bisa melarikan diri karena terkunci karena semata-mata kelalaian negara/pemerintah untuk memperhatikan keamanan fasilitas di dalam lapas. Hal ini seharusnya bisa diantisipasi kemungkinan yang bakal terjadi.
Oleh karena itu, Hamdan memandang penting ada audit total terhadap seluruh ruang tahanan di dalam lapas agar tidak terjadi kasus serupa, baik di Lapas Tangerang maupun di lapas/rutan lainnya.
Selain faktor keamanan gedung lapas/rutan, desain lapas juga perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi tragedi kemanusiaan, misalnya, perlu ada pintu darurat di ruang tahanan. Hal ini tampaknya luput dari perhatian.
Padahal, konsiderans Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa pada hakikatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu.
Ditegaskan pula bahwa perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan.
Sistem pemasyarakatan merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Kurangi Kapasitas
Meski kebakaran di Lapas Tangerang diduga akibat korsleting listrik, kelebihan kapasitas di lapas maupun rutan patut pula segera diatasi.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya mencegah overcapacity. Misalnya, terkait dengan kasus narkoba, tidak semua pemakai masuk bui. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam pasal itu disebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
Dalam praktik, kata Hamdan, pemidanaan kasus ini tipis sekali perbedaan antara pengedar dan pemakai sehingga pemakai dengan mudah dapat diklasifikasi sebagai pengedar atau agak camutable (bisa berubah). Pelaku sebenarnya pengedar tetapi bisa berubah sebagai pemakai.
Ini persoalan praktik penegakan hukum pidana di Tanah Air. Akan tetapi, di luar persoalan praktik itu harus disadari penuh bahwa narkoba persoalan sosial harus diatasi bersama di luar mekanisme pemidanaan. Mekanisme sosial dan kesehatan itu harus diutamakan, kecuali yang benar-benar sangat terbukti bahwa yang bersangkutan adalah pengedar.
Penyadaran melalui rehabilitasi ini menjadi penting untuk mengurangi kejahatan narkoba. Ini problem sosial, persoalan sosial yang tidak semata-mata diselesaikan dengan pemidanaan, tetapi bisa dituntaskan secara sosial, pendekatan psikologi, pendekatan kesehatan, dan lain-lain.
Dalam buku Prof. Dr. Hazairin, S.H. berjudul Negara Tanpa Penjara, kata Hamdan, kalkulasi biaya perlu secara perinci jika semua pelaku kejahatan masuk lapas/rutan. Oleh karena itu, perlu menggunakan mekanisme hukum yang lain, tidak memenjarakan orang, tidak membawa orang ke lapas, tetapi dengan mekanisme yang lain.
Dalam hukum Islam itu, tidak dikenal mekanisme penjara, tetapi didenda, didera, atau juga yang paling keras itu hudud dalam bentuk potong tangan dan lain-lain.
Dengan demikian, perlu menggunakan alternatif lain agar lapas/rutan tidak kelebihan kapasitas. Misalnya, denda, kerja sosial, dan segala macam hukuman pidana alternatif.
Bahkan, dahulu bangsa ini pernah mengembangkan apa yang disebut lapas alam. Lapas alam bagus sekali dikembangkan. Mereka disuruh berkebun di situ, di suatu ruangan yang sangat luas, bebas berkebun atau berproduksi atau mereka melakukan suatu produksi furniture, misalnya.
Model-model seperti itu, menurut Hamdan, perlu dikembangkan. Inilah salah satu cara berpikir ulang tentang pemidanaan di Tanah Air. Oleh karena itu, pembaruan hukum pidana berkaitan dengan hukum pidanaan menjadi sangat penting.
Pakar hukum dari Unbor Prof. Faisal Santiago memandang perlu pemerintah menyegerakan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk mengakomodasi hukuman pidana alternatif.
Untuk tindak pidana ringan, misalnya pidana dengan hukuman di bawah 1 tahun, sebaiknya hukuman pidana alternatif, seperti melakukan kerja sosial. Definisi kerja sosial bisa dirumuskan dalam penyusunan dan pembahasan RUU KUHP. Hukuman sosial ini lebih kejam.
Upaya mengurangi kapasitas, kepolisian sebenarnya sudah melakukan dengan menerapkan prinsip restorative justice (keadilan restoratif). Hal ini dilakukan oleh Polres Sukoharjo ketika selesaikan kasus pencurian sepeda motor di Desa Kragilan, Mojolaban, Jawa Tengah.
Karena pelaku mempunyai kelainan kebiasaan mencuri dan masih di bawah umur, kepolisian menyelesaikan kasus tersebut melalui upaya restorative justice dengan mengundang kedua belah pihak, baik keluarga pelaku maupun korban.
Oleh karena itu, pembuat undang-undang, baik pemerintah maupun DPR RI, ketika membahas RUU KUHP perlu memperhatikan masukan di atas, termasuk pula terkait dengan kearifan lokal.
Sejumlah pakar hukum pun angkat bicara atas peristiwa memilukan yang mengakibatkan 41 warga binaan pemasyarakatan (WBP) meninggal dunia pada hari kejadian.
Jumlah korban yang meninggal dunia hingga Senin (13/9) bertambah menjadi 46 orang menyusul lima orang di antara korban yang mengalami luka bakar akhirnya mengembuskan napas terakhir saat menjalani perawatan di RSUD Tangerang.
Mereka yang masih di bawah asuhan negara atau tanggung jawab negara/pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa ketika api berkobar di Blok C2 Lapas Tangerang, Rabu sekitar pukul 01.45 WIB. Mau menyelamatkan diri, sel mereka terkunci.
Dengan jumlah korban yang begitu banyak ini, overcapacity (kelebihan kapasitas) menjadi sorotan ikutan. Dikatakan pakar hukum dari Universitas Borobudur Jakarta Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. bahwa angka kematian korban kebakaran yang tinggi itu diakibatkan oleh kelebihan kapasitas lapas.
Idealnya, menurut Ketua Prodi Doktor Hukum Unbor ini, 9 kamar hanya diisi sekitar 40 narapidana. Akan tetapi, 9 kamar di Blok C2 dihuni oleh 122 narapidana. Bahkan, Lapas Tangerang menampung 2.072 WBP. Padahal, kapasitas lapas ini hanya menampung 600 orang.
Fenomena kelebihan kapasitas lapas di Indonesia menjadi topik dalam Kajian Islam dan Konstitusi dengan menampilan pembicara Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. Acara yang dipandu Titi Anggraini ini disiarkan melalui YouTube Salam Radio Channel, Jumat (10/9).
Hamdan Zoelva tidak sependapat kebakaran di Lapas Tangerang gegara kelebihan kapasitas. Overcapacity ini persoalan lain, bahkan di seluruh lapas dan rumah tahanan negara (rutan) se-Indonesia rata-rata hampir 200 persen.
Ditegaskan pula bahwa kebakaran terjadi karena fasilitas, gedung Lapas Tangerang yang nisbi tua dan instalasi listrik dibangun pada tahun 1972, kemudian di instalasi yang sama ditambah daya.
Ketika Hamdan sebagai anggota DPR RI periode 1999—2004 pernah meninjau sejumlah lapas/rutan. Lembaga pemasyarakatan di kota-kota besar semua kelebihan kapasitas, kecuali di kota-kota kecil. Namun, sekarang ini sampai kota-kota kecil kelebihan kapasitas.
Persoalannya adalah narapidana narkoba di seluruh Indonesia rata-rata mengisi di atas 60 persen dari total warga binaan pemasyarakatan. Sisanya napi kasus pembunuhan, terorisme, dan perkara lainnya. Hal ini harus dituntaskan.
Oleh karena itu, tidak bisa hanya mempersoalkan kelebihan kapasitas, tetapi ada kelalaian negara/pemerintah untuk memperhatikan masalah keamanan dan fasilitas.
Gedung Tua
Di balik tragedi Lapas Tangerang, muncul pertanyaan kenapa dari dahulu fasilitas lembaga pemasyarakatan tidak menjadi perhatian? Gedung yang nisbi tua yang sangat mungkin terjadi kebakaran akibat arus pendek (korsleting) listrik, menurut Sekretaris Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB) DPR RI periode 1999—2004 Hamdan Zoelva, tidak pernah diurus dengan baik.
Jika belum membangun sebanyak mungkin lapas/rutan untuk pembinaan, Pemerintah perlu memperhatikan keamanan bangunan, fasilitas gedung, dan orang yang berada di dalamnya. Meski warga binaan pemasyarakatan menjalani masa hukumannya di tempat itu, mereka juga manusia yang harus dijaga keselamatan hidupnya.
Hamdan yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam sangat bersedih dengan peristiwa yang menyebabkan 46 orang meninggal dunia. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Mereka tidak bisa melarikan diri karena terkunci karena semata-mata kelalaian negara/pemerintah untuk memperhatikan keamanan fasilitas di dalam lapas. Hal ini seharusnya bisa diantisipasi kemungkinan yang bakal terjadi.
Oleh karena itu, Hamdan memandang penting ada audit total terhadap seluruh ruang tahanan di dalam lapas agar tidak terjadi kasus serupa, baik di Lapas Tangerang maupun di lapas/rutan lainnya.
Selain faktor keamanan gedung lapas/rutan, desain lapas juga perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi tragedi kemanusiaan, misalnya, perlu ada pintu darurat di ruang tahanan. Hal ini tampaknya luput dari perhatian.
Padahal, konsiderans Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa pada hakikatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu.
Ditegaskan pula bahwa perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan.
Sistem pemasyarakatan merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Kurangi Kapasitas
Meski kebakaran di Lapas Tangerang diduga akibat korsleting listrik, kelebihan kapasitas di lapas maupun rutan patut pula segera diatasi.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya mencegah overcapacity. Misalnya, terkait dengan kasus narkoba, tidak semua pemakai masuk bui. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam pasal itu disebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
Dalam praktik, kata Hamdan, pemidanaan kasus ini tipis sekali perbedaan antara pengedar dan pemakai sehingga pemakai dengan mudah dapat diklasifikasi sebagai pengedar atau agak camutable (bisa berubah). Pelaku sebenarnya pengedar tetapi bisa berubah sebagai pemakai.
Ini persoalan praktik penegakan hukum pidana di Tanah Air. Akan tetapi, di luar persoalan praktik itu harus disadari penuh bahwa narkoba persoalan sosial harus diatasi bersama di luar mekanisme pemidanaan. Mekanisme sosial dan kesehatan itu harus diutamakan, kecuali yang benar-benar sangat terbukti bahwa yang bersangkutan adalah pengedar.
Penyadaran melalui rehabilitasi ini menjadi penting untuk mengurangi kejahatan narkoba. Ini problem sosial, persoalan sosial yang tidak semata-mata diselesaikan dengan pemidanaan, tetapi bisa dituntaskan secara sosial, pendekatan psikologi, pendekatan kesehatan, dan lain-lain.
Dalam buku Prof. Dr. Hazairin, S.H. berjudul Negara Tanpa Penjara, kata Hamdan, kalkulasi biaya perlu secara perinci jika semua pelaku kejahatan masuk lapas/rutan. Oleh karena itu, perlu menggunakan mekanisme hukum yang lain, tidak memenjarakan orang, tidak membawa orang ke lapas, tetapi dengan mekanisme yang lain.
Dalam hukum Islam itu, tidak dikenal mekanisme penjara, tetapi didenda, didera, atau juga yang paling keras itu hudud dalam bentuk potong tangan dan lain-lain.
Dengan demikian, perlu menggunakan alternatif lain agar lapas/rutan tidak kelebihan kapasitas. Misalnya, denda, kerja sosial, dan segala macam hukuman pidana alternatif.
Bahkan, dahulu bangsa ini pernah mengembangkan apa yang disebut lapas alam. Lapas alam bagus sekali dikembangkan. Mereka disuruh berkebun di situ, di suatu ruangan yang sangat luas, bebas berkebun atau berproduksi atau mereka melakukan suatu produksi furniture, misalnya.
Model-model seperti itu, menurut Hamdan, perlu dikembangkan. Inilah salah satu cara berpikir ulang tentang pemidanaan di Tanah Air. Oleh karena itu, pembaruan hukum pidana berkaitan dengan hukum pidanaan menjadi sangat penting.
Pakar hukum dari Unbor Prof. Faisal Santiago memandang perlu pemerintah menyegerakan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk mengakomodasi hukuman pidana alternatif.
Untuk tindak pidana ringan, misalnya pidana dengan hukuman di bawah 1 tahun, sebaiknya hukuman pidana alternatif, seperti melakukan kerja sosial. Definisi kerja sosial bisa dirumuskan dalam penyusunan dan pembahasan RUU KUHP. Hukuman sosial ini lebih kejam.
Upaya mengurangi kapasitas, kepolisian sebenarnya sudah melakukan dengan menerapkan prinsip restorative justice (keadilan restoratif). Hal ini dilakukan oleh Polres Sukoharjo ketika selesaikan kasus pencurian sepeda motor di Desa Kragilan, Mojolaban, Jawa Tengah.
Karena pelaku mempunyai kelainan kebiasaan mencuri dan masih di bawah umur, kepolisian menyelesaikan kasus tersebut melalui upaya restorative justice dengan mengundang kedua belah pihak, baik keluarga pelaku maupun korban.
Oleh karena itu, pembuat undang-undang, baik pemerintah maupun DPR RI, ketika membahas RUU KUHP perlu memperhatikan masukan di atas, termasuk pula terkait dengan kearifan lokal.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024