PGN taati pengenaan PPN 11 persen atas transaksi penjualan gas bumi
Minggu, 27 Maret 2022 7:45 WIB
PT PGN Tbk akan menaati ketentuan Undang-Undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengatur penyesuaian PPN sebesar 11 persen. ANTARA/HO-PGN
Semarang (ANTARA) - PT PGN Tbk akan menaati ketentuan Undang-Undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengatur penyesuaian PPN sebesar 11 persen.
Sesuai UU HPP, tarif PPN 11 persen akan menjangkau obyek pajak baru di antaranya adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, seperti gas bumi.
Pemberlakuan tersebut mengakibatkan komoditas gas bumi menjadi jenis barang kena pajak yang akan dikenakan PPN, termasuk gas bumi yang telah diatur dalam peraturan terkait harga gas bumi tertentu untuk bidang industri dan ketenagalistrikan.
"Berdasarkan ketentuan dan sebagai bentuk kepatuhan PGN terhadap UU HPP, maka tagihan yang diterbitkan sejak 1 April 2022, PGN akan menambahkan komponen PPN pada tagihan pemakaian gas bumi seluruh segmen pelanggan termasuk terhadap pelanggan harga gas bumi tertentu di bidang industri dan pembangkit liistrik,," kata Direktur Keuangan PT PGN Tbk Fadjar Harianto Widodo, Sabtu (26/3/2022).
UU HPP juga mengatur tentang perubahan tarif PPN menjadi sebesar 11 persen yang mulai berlaku sejak 1 April 2022, dan sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Beleid tersebut juga menentukan PPN dapat diubah menjadi paling rendah sebesar 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
Dalam pelaksanaannya, prinsip penanggung beban PPN adalah pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Atas dasar itu, maka PPN atas transaksi pembelian gas bumi dari hulu (pemasok) akan menjadi beban PGN sebagai pembeli sedangkan PPN atas transaksi penjualan gas bumi PGN kepada pelanggan menjadi beban pelanggan.
PGN berharap pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM juga memberikan dukungan dalam implementasi UU HPP dalam hal ini pengenaan PPN atas transaksi penjualan gas bumi kepada para pelanggan.
Djohan Arianto selaku Fungsional Penyuluh Ahli Madya Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar 3 (KPP LTO 3) mengatakan terdapat perubahan-perubahan untuk memperluas penerapan PPN.
Latar belakang perubahan undang-undang ini telah berdasarkan kajian C-Efficiency bahwa PPN di Indonesia baru 63,58 persen yang artinya Indonesia baru mengumpulkan 63,58 persen dari total PPN yang seharusnya dipungut.
Hal itu karena masih banyak barang dan jasa yang belum masuk ke dalam sistem atau dikecualikan PPN dan masih banyaknya fasilitas PPN yang diberikan.
"Dengan asas netralitas, maka dipertimbangkanlah beberapa barang yang sebelumnya nonkena pajak menjadi barang kena pajak. Di dalam industri, agar semua mendapat perlakuan yang sama termasuk barang tambang,” kata Djohan.
Barang tambang selama ini dikecualikan dari pengenaan PPN, hal itu menimbulkan distorsi, karena pada umumnya barang tambang melalui proses lebih lanjut atau memiliki nilai tambah salah satunya melalui pipa untuk disalurkan kepada pelanggan.
"Pada intinya perubahan UU PPN mengenai objek PPN, mengatur kembali terkait yang dikecualikan termasuk gas. Gas dulu dikecualikan, kita atur kembali menjadi objek PPN mulai 1 April 2022. Kemudian tarif PPN juga diatur kembali, yang dahulu 10 persen akan meningkat menjadi 11 persen,” kata Djohan.
“Kami menghormati ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai salah satu instrumen dalam rangka pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” kata Fadjar.
Penerapan UU HPP juga diharapkan dapat sejalan pada fokus PGN dalam memperkuat dan dan memperluas penyaluran gas bumi ke berbagai segmen pelanggan. PGN ingin mengambil peran yang lebih besar di masa transisi energi dan membantu proses pemulihan ekonomi nasional.
Sesuai UU HPP, tarif PPN 11 persen akan menjangkau obyek pajak baru di antaranya adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, seperti gas bumi.
Pemberlakuan tersebut mengakibatkan komoditas gas bumi menjadi jenis barang kena pajak yang akan dikenakan PPN, termasuk gas bumi yang telah diatur dalam peraturan terkait harga gas bumi tertentu untuk bidang industri dan ketenagalistrikan.
"Berdasarkan ketentuan dan sebagai bentuk kepatuhan PGN terhadap UU HPP, maka tagihan yang diterbitkan sejak 1 April 2022, PGN akan menambahkan komponen PPN pada tagihan pemakaian gas bumi seluruh segmen pelanggan termasuk terhadap pelanggan harga gas bumi tertentu di bidang industri dan pembangkit liistrik,," kata Direktur Keuangan PT PGN Tbk Fadjar Harianto Widodo, Sabtu (26/3/2022).
UU HPP juga mengatur tentang perubahan tarif PPN menjadi sebesar 11 persen yang mulai berlaku sejak 1 April 2022, dan sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Beleid tersebut juga menentukan PPN dapat diubah menjadi paling rendah sebesar 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
Dalam pelaksanaannya, prinsip penanggung beban PPN adalah pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Atas dasar itu, maka PPN atas transaksi pembelian gas bumi dari hulu (pemasok) akan menjadi beban PGN sebagai pembeli sedangkan PPN atas transaksi penjualan gas bumi PGN kepada pelanggan menjadi beban pelanggan.
PGN berharap pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM juga memberikan dukungan dalam implementasi UU HPP dalam hal ini pengenaan PPN atas transaksi penjualan gas bumi kepada para pelanggan.
Djohan Arianto selaku Fungsional Penyuluh Ahli Madya Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar 3 (KPP LTO 3) mengatakan terdapat perubahan-perubahan untuk memperluas penerapan PPN.
Latar belakang perubahan undang-undang ini telah berdasarkan kajian C-Efficiency bahwa PPN di Indonesia baru 63,58 persen yang artinya Indonesia baru mengumpulkan 63,58 persen dari total PPN yang seharusnya dipungut.
Hal itu karena masih banyak barang dan jasa yang belum masuk ke dalam sistem atau dikecualikan PPN dan masih banyaknya fasilitas PPN yang diberikan.
"Dengan asas netralitas, maka dipertimbangkanlah beberapa barang yang sebelumnya nonkena pajak menjadi barang kena pajak. Di dalam industri, agar semua mendapat perlakuan yang sama termasuk barang tambang,” kata Djohan.
Barang tambang selama ini dikecualikan dari pengenaan PPN, hal itu menimbulkan distorsi, karena pada umumnya barang tambang melalui proses lebih lanjut atau memiliki nilai tambah salah satunya melalui pipa untuk disalurkan kepada pelanggan.
"Pada intinya perubahan UU PPN mengenai objek PPN, mengatur kembali terkait yang dikecualikan termasuk gas. Gas dulu dikecualikan, kita atur kembali menjadi objek PPN mulai 1 April 2022. Kemudian tarif PPN juga diatur kembali, yang dahulu 10 persen akan meningkat menjadi 11 persen,” kata Djohan.
“Kami menghormati ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai salah satu instrumen dalam rangka pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” kata Fadjar.
Penerapan UU HPP juga diharapkan dapat sejalan pada fokus PGN dalam memperkuat dan dan memperluas penyaluran gas bumi ke berbagai segmen pelanggan. PGN ingin mengambil peran yang lebih besar di masa transisi energi dan membantu proses pemulihan ekonomi nasional.
Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Inisiatif pertumbuhan dan integrasi infrastruktur gas bumi nasional jaga kinerja PGN semester I 2024
18 September 2024 17:45 WIB