Purwokerto (ANTARA) - Pengamat perlindungan perempuan dan anak dari Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, Dr Tri Wuryaningsih, menilai hukuman mati yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Bandung terhadap Herry Wirawan merupakan terobosan baru dalam penanganan tindak pidana kekerasan seksual.

"Kalau saya selaku aktivis perlindungan anak, saya menyambut senang dengan adanya vonis mati itu, biar memberi efek jera untuk para pelaku atau orang yang ingin melakukan tindak kekerasan seksual terhadap anak itu akan berpikir ulang dengan vonis yang semacam itu," kata dia, di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.

Dalam hal ini, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung pada Senin (4/4) mengabulkan vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan setelah Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Bandung yang menghukum pelaku perkosaan 13 perempuan santri itu dengan pidana penjara seumur hidup.

Baca juga: Pakar hukum Unsoed: Hukuman mati terhadap Herry Wirawan penuhi rasa keadilan

Ia mengharapkan dengan adanya vonis mati tersebut, angka kekerasan seksual terhadap anak bisa ditekan karena selama ini seolah tidak ada efek jera. Bahkan dari tahun ke tahun, jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual terus bertambah.

"Dengan keberanian hakim menjatuhkan vonis mati itu, artinya bisa menjadi perhatian bagi orang-orang atau calon-calon pelaku agar mereka berhati-hati dan tidak melakukan tindak pidana kekerasan seksual," kata wakil dekan bidang kemahasiswaan dan alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Soedirman itu.

Ia mengakui dalam pasal 81 ayat (1) UU Nomor 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU, telah diatur bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak diancam hukuman minimal lima tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara serta denda paling banyak Rp5 miliar.

Akan tetapi jika tindak pidana itu dilakukan orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, sesuai dengan ketentuan Pasal 81 Ayat (3) ancaman pidananya ditambah sepertiga dari ancaman yang diatur dalam Pasal 81 Ayat (1).

"Vonis mati itu terobosan baru, keberanian dari majelis hakim untuk bisa menjatuhkan (vonis hukuman mati) itu karena tindak pidana yang dilakukan Herry Wirawan begitu banyak korban anak-anak, ada yang sampai melahirkan," katanya.

Menurut dia, tindak kekerasan seksual oleh Wirawan sebenarnya juga membunuh masa depan anak-anak yang seharusnya dilindungi.

"Apalagi dia menyandang gelar sebagai seorang 'agamawan' karena dia tokoh agama, ditokohkan, dan dalam bayangan orang, dia itu khan ulama, ustadz, dan sebagainya yang semestinya melindungi tetapi dia justru menjadikan itu sebagai kedok untuk melakukan aksi kekerasan seksual terhadap anak. Oleh karena itu, saya menyambut baik vonis mati tersebut," katanya.