Akademisi : Perekonomian Indonesia tidak akan ambruk
Minggu, 26 Juni 2022 6:30 WIB
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Iwan Fakhruddin. ANTARA/Dokumentasi Pribadi
Purwokerto (ANTARA) - Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Iwan Fakhruddin optimistis perekonomian Indonesia tidak akan ambruk di tengah ancaman berbagai permasalahan global.
"Beberapa informasi mengaitkan tentang negara-negara yang (berada) pada posisi keuangan negaranya tidak 'support' terhadap utang ke IMF," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu.
Bahkan, kata dia, ada 60 negara yang mengajukan penangguhan pembayaran utang ke IMF, baik pokok maupun bunganya atau yang dikenal dengan istilah "debt service suspension initiative (DSSI)".
Menurut dia, hal itu disebabkan risiko utang ke-60 negara tersebut pada tahun 2022 tergolong tinggi sehingga meminta kepada IMF untuk direstrukturisasi.
"Itu mungkin menjadi salah satu indikator utama kenapa 60 negara diinformasikan masuk kategori negara 'default' atau gagal, mungkin maksudnya gagal bayar utang ke IMF. Bahkan saat sekarang dikabarkan ada sekitar 40 negara yang sudah diindikasikan 'default'," katanya.
Lebih lanjut, Iwan mengatakan salah satu elemen pendukung kemampuan suatu negara untuk membayar utang ke IMF berupa cadangan devisa.
Menurut dia, beberapa permasalahan global yang muncul dalam beberapa waktu terakhir turut mempengaruhi keuangan suatu negara terutama cadangan devisa.
"Misalnya isu kenaikan harga komoditas yang berkaitan dengan energi seperti CPO, batu bara, nikel, dan sebagainya. 40-60 negara yang diindikasikan 'default' itu termasuk negara-negara yang bukan penghasil komoditas tersebut," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, negara-negara yang bukan penghasil komoditas tersebut hanya menerima efek negatif dari kenaikan harga dan akhirnya mempengaruhi inflasi di negara tersebut secara lokal.
Dalam hal ini, negara-negara yang tidak memiliki komoditas unggulan tersebut harus melakukan impor untuk memiliki kebutuhan energi, sedangkan cadangan devisa kurang kuat hingga akhirnya tidak mampu bayar utang ke IMF.
"Kalau Indonesia, saya kira ini sisi positifnya, karena Indonesia kan penghasil CPO, batu bara, nikel, dan sebagainya, sehingga kenaikan harga komoditas dunia itu memiliki nilai positif bagi keuangan atau devisa negara, ada pemasukan bagi negara secara nasional yang mempengaruhi nilai devisa," katanya.
Ia mengatakan sepanjang masih bisa mengelola keuangan negara, keuntungan yang diperoleh Indonesia dari permasalahan global tersebut harus bisa dijaga secara indikator ekonomi.
"Kalau dari indikator-indikator tadi, Indonesia cadangan devisa masih tinggi, masih di atas 130 miliar dolar Amerika Serikat, itu masih aman," kata Iwan. ***1***
Baca juga: Ada apa warga Sri Lanka ramai-ramai buat paspor?
Baca juga: Marwan Jafar: IKM perlu kemudahan modal
Baca juga: Transisi energi dorong pertumbuhan ekonomi
"Beberapa informasi mengaitkan tentang negara-negara yang (berada) pada posisi keuangan negaranya tidak 'support' terhadap utang ke IMF," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu.
Bahkan, kata dia, ada 60 negara yang mengajukan penangguhan pembayaran utang ke IMF, baik pokok maupun bunganya atau yang dikenal dengan istilah "debt service suspension initiative (DSSI)".
Menurut dia, hal itu disebabkan risiko utang ke-60 negara tersebut pada tahun 2022 tergolong tinggi sehingga meminta kepada IMF untuk direstrukturisasi.
"Itu mungkin menjadi salah satu indikator utama kenapa 60 negara diinformasikan masuk kategori negara 'default' atau gagal, mungkin maksudnya gagal bayar utang ke IMF. Bahkan saat sekarang dikabarkan ada sekitar 40 negara yang sudah diindikasikan 'default'," katanya.
Lebih lanjut, Iwan mengatakan salah satu elemen pendukung kemampuan suatu negara untuk membayar utang ke IMF berupa cadangan devisa.
Menurut dia, beberapa permasalahan global yang muncul dalam beberapa waktu terakhir turut mempengaruhi keuangan suatu negara terutama cadangan devisa.
"Misalnya isu kenaikan harga komoditas yang berkaitan dengan energi seperti CPO, batu bara, nikel, dan sebagainya. 40-60 negara yang diindikasikan 'default' itu termasuk negara-negara yang bukan penghasil komoditas tersebut," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, negara-negara yang bukan penghasil komoditas tersebut hanya menerima efek negatif dari kenaikan harga dan akhirnya mempengaruhi inflasi di negara tersebut secara lokal.
Dalam hal ini, negara-negara yang tidak memiliki komoditas unggulan tersebut harus melakukan impor untuk memiliki kebutuhan energi, sedangkan cadangan devisa kurang kuat hingga akhirnya tidak mampu bayar utang ke IMF.
"Kalau Indonesia, saya kira ini sisi positifnya, karena Indonesia kan penghasil CPO, batu bara, nikel, dan sebagainya, sehingga kenaikan harga komoditas dunia itu memiliki nilai positif bagi keuangan atau devisa negara, ada pemasukan bagi negara secara nasional yang mempengaruhi nilai devisa," katanya.
Ia mengatakan sepanjang masih bisa mengelola keuangan negara, keuntungan yang diperoleh Indonesia dari permasalahan global tersebut harus bisa dijaga secara indikator ekonomi.
"Kalau dari indikator-indikator tadi, Indonesia cadangan devisa masih tinggi, masih di atas 130 miliar dolar Amerika Serikat, itu masih aman," kata Iwan. ***1***
Baca juga: Ada apa warga Sri Lanka ramai-ramai buat paspor?
Baca juga: Marwan Jafar: IKM perlu kemudahan modal
Baca juga: Transisi energi dorong pertumbuhan ekonomi
Pewarta : Sumarwoto
Editor : Teguh Imam Wibowo
Copyright © ANTARA 2024