Magelang (ANTARA) - Selama tiga tahun berturut-turut kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, meramu agenda baru berkebudayaan mereka dalam nama baik Hari Peradaban Desa.

Waktunya mereka jatuhkan setiap 21 Mei. Peringatan tahun perdana pada 2021 di sumber air Tlompak kawasan Gunung Merbabu di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, tahun kedua pada 2022 di lokasi bernama Kampoeng Semar, kawasan Candi Borobudur di Desa Wringin Putih, Kecamatan Borobudur.

Peringatan ketiga pada 2023 di Studio Mendut, kawasan Pegunungan Menoreh, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid. Tempat yang dikelola budayawan Sutanto Mendut itu juga menjadi pusat perjumpaan seni budaya para pegiat Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh) dengan berbagai jaringan relasinya.

Yang terlihat pada peringatan tahun ini, antara lain performa ritual dan arak-arakan, pementasan seni budaya diperkuat kehadiran sejumlah karya pementasan para mahasiswa dari beberapa daerah di Indonesia yang sedang menjalani pendidikan Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, pembacaan dua puisi "Peradaban Desa" (karya Hudi Danu Wuryanto) dan "Matematika Air Desa" (Haris Kertorahardjo) oleh penyair Hudi D.W.

Ada juga pementasan sejumlah grup musik, performa seni, melukis di tempat, dan pidato kebudayaan berdurasi pendek oleh sejumlah para tamu, seperti Kepala Polres Magelang Kota AKBP Yolanda Evalyn Sebayang, wartawan senior Magelang Mohamad Toha, dan sejumlah pemerhati seni budaya, termasuk budayawan utama komunitas itu Sutanto Mendut.

Tentu saja di tengah acara ada aneka suguhan, seperti nasi urap dalam pincuk, teh hangat, dan macam-macam camilan, baik tradisional maupun produk kuliner yang datang dari modal sosial iuran mereka secara mandiri.

Pertimbangan menggelar Hari Peradaban Desa lumayan campur aduk, sebagaimana kebiasaan komunitas itu berolah kebudayaan. Alasan membuat peringatan Hari Peradaban Desa, mungkin terlintas pula berkaitan dengan kalender negeri ini sehari sebelumnya, 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional atau pemaknaan bertepatan dengan tonggak sejarah reformasi berupa lengser Soeharto pada 21 Mei 1998, setelah sekitar 32 tahun berkuasa.

Akan tetapi, basis desa sebagai kekuatan berkomunitas setidaknya selama 22 tahun terakhir, menjadi salah satu pijakan Komunitas Lima Gunung membuat peringatan itu. Boleh jadi, mereka tidak memiliki kecukupan memahami rumusan ndakik-ndakik atau konsep akademik yang runtut serta nalar tentang peradaban.

Barangkali juga, warga komunitas yang umumnya kalangan petani sayuran di dusun-dusun gunung di Magelang itu tak memerlukan pemahaman yang terlalu jelimet tentang perbedaan dan kelindanan antara tradisi, ritual, budaya, adat istiadat, kesenian, dan peradaban.

Namun, bagi Ketua "Figur" Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto, desa dengan segala macam kekayaan alam dan taburan nilai-nilai kehidupan warganya tetap menjadi kaca benggala untuk mereka memperkuat wujud kesadaran tentang hidup yang berkelanjutan.

Saat pidato Hari Peradaban Desa 2023, Supadi yang juga juragan sayuran dari Gunung Andong dan telah 13 tahun memimpin komunitas itu menyampaikan pandangan tentang masa depan kursi kepemimpinan Komunitas Lima Gunung di tangan generasi muda desa.

Kesepakatan komunitas melahirkan Hari Peradaban Desa agaknya menjadi jalan berkelanjutan untuk mencapai temuan demi temuan atas jati diri hidup dan kehidupannya dalam segala tantangan desa yang dihadapi serta peluang desa yang bisa diambil.

Peringatan tahun ini, juga ditandai dengan pembubuhan tanda tangan di atas tanah Mendut oleh para pegiat dan pemuka komunitas itu, sebagai deklarasi "Sumpah Tanah" untuk kelanjutan acara tersebut secara mandiri dan tanpa sponsor.

Agenda tahunan mereka berupa Festival Lima Gunung yang tahun ini rencananya di Dusun Sudimoro, Kecamatan Grabag, sebagai acara ke-22 tahun, juga di bawah payung "Sumpah Tanah" para tokohnya.

Oleh Sutanto Mendut yang juga pengajar Program Pascasarjana ISI Yogyakarta itu, "Sumpah Tanah" dinilai bagian penting dari manajemen berkah yang terus-menerus hingga saat ini dihidupi masyarakat desa dan gunung, terutama para seniman petani dan pegiat Komunitas Lima Gunung.

Kehidupan mereka sehari-hari bersama angin, tanah, air, api, dan hawa, baik dalam pengertian wadak maupun simbol, sedemikian melekat bagi kesunyataan masyarakat desa. Sejumlah unsur itu pula, bagian penting dari dukungan yang mengalirkan mereka untuk melahirkan tradisi, ritual, kesenian, dan kebudayaan desa.

Bait terakhir puisi "Peradaban Desa" yang dibaca Hudi, penyair dari bawah Gunung Tidar, Kota Magelang, tampak menjadi bagian dari olah manusia desa yang titis serta tangguh menjalani kehidupan bersama semestanya.

"Kubiarkan mataku menatap. Kubiarkan telingaku mendengar. Kubiarkan langkah kakiku menari. Mencoba mencari makna. Dari bunyi, suara, gerak, dan rasa. Yang mengalir dari hidup, kehidupan, dan peradaban desa," begitu bait terakhir puisi karyanya itu yang dibaca saat peringatan Hari Peradaban Desa 2023 di Studio Mendut, sekitar 300 meter timur Candi Mendut, Kabupaten Magelang, Minggu (21/5).

Desa saat ini telah disemarakkan olah kehidupan warganya dengan dukungan kebijakan pemerintah melalui aneka modal, seperti program Dana Desa, bantuan sosial, kredit lunak, layanan kesehatan, jangkauan pendidikan, serta segala rupa literasi dan edukasi.

Oleh karena gelontoran program Pemerintah itu, mungkin sekarang sudah nyaris tak ada jalan tanah atau makadam di desa atau kawasan permukiman warga di gunung, karena sudah beraspal atau dicor semen.

Begitu pula lalu lalang warga desa ke pertanian sayuran di gunung masing-masing yang tak lagi berjalan kaki, namun bersepeda motor, meski kebanyakan tidak berpelat nomor polisi, berspion, dan tak merasa perlu berhelm. Dengan karut-marut rupa moda transportasi itu, tetap saja hilir mudik beroperasi mengusung aneka panenan dan rumput untuk ternak dari areal pertanian ke rumah mereka.

Meskipun mendapatkan gelontoran modal program Pemerintah seperti itu, tetap saja naluri manajemen berkah dalam wujud ziarah kubur dan ziarah ulama, pengajian, merti desa, dan reriungan, menjadi jalan kuat mereka mencapai cita rasa hidup komplet, karena menjangkau berbagai-bagai hal kasat mata dan adikodrati.

Kalau komunitas mereka menabuh gamelan untuk mengiringi tarian tradisional desanya, boleh jadi bukan semata-mata pencarian hiburan setelah berletih lelah bekerja di lahan pertanian atau merayakan hasil panenan. Namun, juga untuk menyapa kebaikan alam dan semesta yang memberikan berkah kehidupan desa.

Ketika mereka menjalani tradisi ziarah dan tirakat, bukanlah kiranya semata-mata mengenang jasa pendahulu yang telah membabat desa atau menyerap nasihat-nasihat luhur para ulama yang telah berpulang, atau hendak membulatkan kehendak dan matiraga untuk sesuatu yang hendak dicapai.

Jalan tradisi itu, juga mengingatkan mereka akan falsafah Jawa tentang "sangkan paraning dumadi", ilmu tentang pengetahuan asal muasal manusia dan akan kembali ke mana manusia, sehingga hidup di dunia fana mesti dijalani secara nastiti.

Tampaknya, peringatan Hari Peradaban Desa dibuat komunitas itu bukan untuk umuk atas keelokan desa, akan tetapi memperkuat naluri ugahari agar mampu berkelanjutan membuka jalan pencarian terhadap kelindanan nilai peradaban.