Solo (ANTARA) - Komisi Kejaksaan RI menyebut jaksa perlu terlibat sejak awal dalam proses hukum suatu kasus untuk memastikan orang yang dihukum betul bersalah.

Ketua Komjak RI Pujiyono Suwadi pada Seminar Nasional Penyelarasan KUHAP dengan KUHP dalam Integrated Criminal Justice System kerja sama antara Fakultas Hukum UNS dengan Komisi Kejaksaan RI di Kampus UNS Solo, Jawa Tengah, Jumat menilai orang yang ditahan harus melalui penetapan pengadilan.

"Jadi harus ada izin pengadilan karena due process of law-nya harus jalan. Apa penghormatan terhadap HAM, iya kalau betul, kalau salah tangkap seperti apa," katanya.

Terkait hal itu, menurut dia di dalam KUHAP harus diatur kenapa perlu ada izin dari pengadilan.

"Ini konteks Integrated Criminal Justice System. Jadi harus terpadu. Sementara orang-orang misalnya dituduh mencuri atau membunuh orang kemudian ditangkap, tapi tidak tertangkap tangan. Kemudian dipanggil, ditahan, dihajar, tapi setelah proses di persidangan dia dinyatakan bebas karena bukan pembunuh sebenarnya, yang seperti ini yang harus diakomodasi dalam KUHAP tentang perubahan," katanya.

Oleh karena itu, menurut dia KUHAP ke depan harus menganut due process of law.

 

Menurut dia, ketika dalam proses pengadilan terdakwa dinyatakan bebas, yang disalahkan adalah penuntut umum.

"Bahkan kalau ada tuntutan jaksa tapi kemudian dihukum bebas kami lakukan eksaminasi, Komisi Kejaksaan melakukan eksaminasi, ini penting karena artinya ada masalah. Apakah di penyidik atau jaksa dalam melakukan penuntutan," katanya.

Padahal, jaksa tidak terlibat dalam pengumpulan alat bukti namun di sisi lain yang harus membuktikan alat bukti di persidangan adalah jaksa.

"Dari angka yang saya dapat di Mahkamah Agung, di website tahun 2024 angkanya hampir 3 persen yang bebas, artinya kalau ada 100 orang maka tiga orang bebas. Bisa karena tidak bersalah atau karena minimnya alat bukti. Ini kan persoalan," katanya.

Belum lagi, menurut dia jika putusan jauh dari tuntutan, artinya ada masalah yang harus diurai.

"Misalnya dituntut 20 tahun tapi diputus enam bulan atau satu tahun, artinya ada masalah. Jadi kalau jaksa terlibat dan bertanggung jawab terhadap proses penuntutan maka sekarang harus kita urai. Apa kemudian jaksa mengambil alih peran penyidik? Apakah jaksa jadi penyidik? Kalau gagasan saya nggak harus," katanya.

Ia mengatakan yang perlu dilakukan adalah sejak awal jaksa harus dilibatkan dalam proses penyidikan.

"Penyidik tugasnya mengkonstruksikan alat bukti, mengkonstruksikan peristiwa hukum. Jaksa akan mengkonstruksi deliknya. Dengan begitu sejak awal ada koordinasi. Kalau terlibat sejak awal, dalam jangka waktu tertentu tidak diperoleh alat bukti yang cukup ya sudah selesai," katanya.

Dengan begitu, dikatakannya, jaksa penuntut umum akan melakukan fungsi secara maksimal sehingga tujuan hukum yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan akan tercapai.

"Kepastian ya memberikan kepastian kepada pelaku atau korban. Kepastian, keadilan, kemanfaatan akan memastikan orang yang dihukum adalah orang-orang yang bersalah, bukan orang yang tidak bersalah dihukum," katanya.

Sementara itu, terkait kegiatan tersebut, ketua panitia sekaligus Ketua Laboratorium Ilmu Hukum FH UNS Andina Elok Puri Maharani mengatakan acara ini bertujuan menguatkan iklim akademik dan menumbuhkan jiwa kritis mahasiswa terhadap masalah hukum yang aktual.

Beberapa pembicara lain pada acara tersebut yakni pakar Hukum Pidana FH UI Prof Topo Santosa, pakar Hukum Pidana FH UNS Prof Hartiwiningsih, pakar Hukum Acara Pidana FH UNS Bambang Santoso, dan pakar hukum Acara Pidana sekaligus Dekan FH UNS Muhammad Rustamaji.