Menurut dia, pemasangan tanda strip dalam kolom agama menyebabkan mereka kehilangan hak-hak sipil kependudukan, seperti pencatatan kelahiran, perkawinan, kematian, hingga pelayanan kesehatan dan hak atas pendidikan dan pekerjaan semata karena mereka dianggap tidak beragama.

Kesaksian tersebut, kata Eva, diungkap oleh para ibu penghayat agama-agama leluhur Sunda Wiwitan Jabar, Tolotang Sulsel, dan Sapto Darmo Yogya dalam seminar "Pesan Ibu Nusantara bagi Arah Kebangsaan Indonesia: Akui dan Penuhi Hak-hak Konstitusional Pemeluk Agama Leluhur dan Penghayat Kepercayaan" di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (20/12).

Seminar yg diprakarsai Komnas Perempuan dan ANBTI (Aliansi Bhinneka Tunggal Ika) itu dihadiri 35 perwakilan komunitas-komunitas di daerah, seperti Parmalim, suku Anak Dalam Jambi, Langka Mama Riau, Kepribaden, Sedulur Sikep, Romo Tegal, Osing Banyuwangi, Budho Tengger, Kaharingan Kalimantan, Bali Aga, Wetu Telu Sasak, hingga Komunitas Boti NTT.

Diskriminasi terhadap para penghayat agama-agama leluhur ini bisa dikatakan sistimatis dari lahir hingga meninggal karena mayatnya sering ditolak masyarakat untuk dikuburkan di pemakaman umum.

Berbagai bentuk diskriminasi dan marginaliasasi masy smkn intensif karena ketika neg ikut mendiskriminasi melalui kebijakan e-KTP yang tidak mencantumkan agama mereka (setrip).

Terhadap hal tersebut, kata Eva, pihak Kemendagri memberikan penjelasan bahwa mereka hanya melaksanakan perintah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bahwa untuk kolom agama tidak resmi diberi tanda strip/tidak diisi, sebagaimana Pasal 61 Ayat (2).

Terobosan Kemendagri dengan menyarankan para penghayat untuk melampirkan surat keterangan tentang kepercayaan yangdianut sesuai dengan organisasi masing-masing ternyata tidak menyelesaikan masalah, termasuk diskriminasi terhadap penghayat.

Soal otoritas Pemerintah menentukan agama resmi, menurut Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu, sudah diluruskan MK dalam Putusan 140/PUU-VII/2009 atas UU No. 1/1965 tentang PNPS.

Dalam putusan ini, lanjut Eva, MK secara eksplisit dan tegas menyatakan bahwa Pemerintah tidak punya otoritas menentukan legalitas suatu agama sehingga keputusan bahwa hanya ada enam agama resmi yang diakui oleh negara secara otomatis juga gugur.

Atas dasar bahwa Putusan MK bersifat final dan binding, maka semua pelaksanaan UU, termasuk pihak Dirjen Adminduk Kemendagri harus mematuhinya.

"Artinya Pasal 61 Ayat (2) UU Adminduk tersebut secara material juga tidak sesuai dengan konstitusi sehingga kolom agama harus diisi sesuai dengan fakta warga negara yang bersangkutan tidak dikosongkan," kata Eva.

Dengan demikian, kata Eva, Kemendagri akan memenuhi tujuan utama UU Adminduk, yakni sebagai perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap warga negara, temasuk para penghayat agama leluhur di Nusantara.