Kepala Divisi Keterbukaan Informasi Pattiro Semarang Agi Suprayogi di Semarang, Rabu, menjelaskan sebenarnya masalah seragam sudah menjadi kasus berulang setiap tahun dan sekolah beralasan bahwa mereka tidak mewajibkan siswa untuk membelinya.

Ketidakwajaran harga seragam tersebut terlihat dari hasil temuan di lapangan untuk pembelian dua setelan seragam OSIS, satu stelan seragam pramuka, satu stelan batik, satu setelan pakaian olahraga, dan satu setelan wearpack harganya Rp1,5 juta.

"Sementara setelah dilakukan rasionalisasi dengan harga pasar empat stel seragam yang terdiri Osis, pramuka, dan batik hanya membutuhkan biaya Rp500 ribu, pakaian olahraga Rp115 ribu, dan wearpack dengan bahan Amerika atau Japan drill membutuhkan Rp150 ribu sehingga totalnya hanya Rp765 ribu. Itu menunjukkan ada keuntungan hingga Rp735 ribu per siswa yang membeli seragam di sekolah tersebut," katanya. Koperasi sekolah menenggak laba hampir 100 persen dari harga beli di pasar.

Ketidakwajaran harga seragam yang dijual koperasi sekolah juga ditemukan di sekolah lainnya yakni seragam yang seharusnya Rp359 ribu tetapi wali murid membayar Rp879.500 sehinga ada keuntungan Rp535 ribu per siswa.

"Kami melihat koperasi yang ada di sekolah tidak berbadan hukum karena tujuan pembentukan koperasi hanya sebagai laboratorium pengajaran untuk siswa, tidak jual beli dan mengambil keuntungan," katanya.

Pilihan orang tua murid yang tetap membeli seragam di koperasi, lanjut Agi, Pattiro melihatnya karena mendapat arahan untuk membeli seragam di sekolah masing-masing.

Kasus penjualan seragam dengan nilai di luar kewajaran yang terjadi di sejumlah sekolah tersebut juga mendapat sorotan Forum Peduli Pendidikan Gunungpati dan Forum Pemantau Pendidikan Semarang Timur.

Pattiro dan kedua forum tersebut mendesak agar Dinas Pendidikan Kota Semarang mengeluarkan regulasi larangan koperasi sekolah menjual seragam, pakaian olahraga termasuk lembar kerja siswa (LKS), serta buku paket.