Modal Nekat "Petruk Dadi Ratu"
Jumat, 20 Desember 2013 13:59 WIB
Dalang Sih Agung Prasetyo (27) memainkan lakon "Kresna Duta (Petruk Nekat Dadi Ratu) di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (18/12) malam. Pementasan itu rangkaian Temu Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang bertema "Maneges Gunung" yang berupa pameran se
Para seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, memainkan lakon tersebut pada pergelaran di halaman Bentara Budaya Jakarta, Rabu (18/12) malam.
Pementasan wayang secara kolaborasi antara wayang kulit, wayang orang, wayang gunung, tarian kuda lumping, soreng, dan leak itu, rangkaian Temu Komunitas Lima Gunung yang berupa pameran seni rupa dan instalasi, pentas kesenian, serta dialog budaya bertajuk "Maneges Gunung" (17-22 Desember 2013).
Dalam adegan goro-goro, Petruk dimainkan dengan sosok wayang orang, sedangkan Bagong dan Gareng dengan wayang kulit. Pementasan wayang pakeliran padat tersebut berlangsung selama sekitar tiga jam.
Dalang Sih Agung yang juga guru satu sekolah swasta di Kota Magelang itu menyatakan bahwa kisah "Kresna Duta (Petruk Nekat Dadi Ratu)" tidak lepas dari persoalan perebutan kekuasaan dan kepemimpinan.
Namun, Direktur Eksekutif Bentara Budaya Jakarta Hariadi Saptono menyatakan dalam pidato singkat sebelum pementasan itu, bahwa pergelaran wayang tersebut sebagai penutup seluruh agenda lembaga nonprofit tersebut selama 2013.
"Pementasan ini tidak ada kepentingan politik. Silakan saja Pak Dalangnya memainkan lakon 'Kresna Duta (Petruk Nekat Dadi Ratu)'. Silakan Pak Dalangnya yang 'berpolitik'," katanya.
Sang Dalang memulai suguhan wayang itu melalui kalimat pembuka, "Yen to ndeleng kahananing jagat. Mulat kiblat papat. Kaya kaya yen ora nekat bisa kelangan drajat, pangkat, lan martabat. (Keadaan saat ini, agaknya kalau tidak nekat bisa kehilangan derajat, pangkat, dan martabat, red.).
Ia juga mengibaratkan bahwa rakyat dalam personifikasi Petruk masih dengan mudah diperalat oleh para elit dalam meraih kekuasaan mereka.
"Opo Petruk jaman saiki ki yo gampang diapusi ngono kuwi? Ora, 'Petruk Gunung' iki wis maneges. Teges e bisa mulat sariro banjur angrasa wani. (Apakah Petruk zaman ini masih mudah ditipu. Tidak. 'Petruk Gunung' ini sudah melakukan refleksi dan menggugat diri sehingga memiliki keberanian untuk mengubah keadaan, red.)," demikian kalimat lanjutan Sang Dalang.
Dikisahkan bahwa Petruk melihat suasana dunia ditandai dengan konflik kepentingan kekuasaan antara Pandawa dan Kurawa. Ia gelisah, sedangkan kesadaran dirinya sebagai rakyat membuat nekat menyatakan diri menjadi pemimpin.
Lakon yang dibawakan dalang Sih Agung secara humor dan sarat reaksinya atas respons segar penonton pementasan itu, menceritakan Kresna sebagai duta Pandawa untuk menemui Prabu Duryudana (Kurawa).
Kresna menjadi duta Pandawa agar Duryudana menyerahkan Kerajaan Astina kepada Puntadewa dan kawan-kawan sesuai dengan perjanjian masa lalu. Saat itu juga terjadi persiapan bharatayuda dengan dukungan penuh dari Prabu Matswapati.
Pergeseran pasukan menuju perbatasan antara Astiwa dan Wiratha dalam adegan tersebut ditandai dengan perjalanan para seniman petani KLG menggunakan kuda kepang dalam tarian jatilan melintasi panggung pentas wayang tersebut.
Akan tetapi, Prabu Duryudana tidak bersedia menyerahkan Astina kepada Pandawa. Hal itu, antara lain karena menyangkut harga diri Kurawa, kesejahteraan rakyat, dan kehendak untuk mempertahankan kekuasaan.
Suasana konflik antarkeluarga itu, tak hanya memengaruhi jagat manusia, akan tetapi juga alam semesta. Dalam pementasan itu, dalang Sih Agung memainkan "wayang gunung" (karya seniman petani KLG, Sujono) berupa sejumlah sosok serangga terbuat dari bahan plastik fiber.
Dialog antarsosok wayang gunung itu, seperti kinjeng, walang, dhongkeret, tengis, lemut, tlendho, cicir, jongkang, dheye, walang kadung, semprang, semut, engkis, gangsir, jangkrik, dan laron, yang dimainkannya melontarkan pesan bahwa kalangan serangga itu juga makluk ciptaan Tuhan dan melaksanakan darma masing-masing di alam dunia.
"Itu artinya manusia tidak boleh egois, tetapi juga melihat alam. Mereka hidup di alam juga melaksanakan darmanya," katanya.
Dalam adegan lain, berkisah tentang para Kurawa di bawah komando Patih Sengkuni berusaha membunuh Kresna karena dianggap sebagai musuh. Kresna di puncak kemarahan karena merasa ditelikung. Dia bertiwikrama lalu mengamuk dan menang saat dikeroyok Kurawa. Pada adegan itu, keluar penari leak (Kamto) dikeroyok oleh lima penari soreng.
Batara Narada turun dari khayangan, meredakan kemarahan Kresna agar tidak banyak korban karena juga harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan darmanya masing-masing.
Dialog antara Narada dan Kresna dituturkan oleh Sang Dalang, bahwa apa yang disebut sebagai bharatayuda itu bisa terjadi dalam jagat besar dan jagat kecil. Amarah Kresna reda dan perang keluarga bharata pun tetap terjadi.
Sang Dalang menancapkan di kelirnya, sosok gunungan dengan di samping berupa wayang kulit figur Kresna.
Saat itu juga, Pangadi yang memainkan peran wayang orang, Petruk, masuk panggung lagi, menaiki tangga penyangga kursi bambu ukuran raksasa di pojok panggung pementasan itu. Beberapa bagian di kursi raksasa itu, bertuliskan "2014," "Ratu", dan "Nekad".
Terdengar kemudian "Sumpah Petruk" diucapkan Petruk (Pangadi) mengakhiri pementasan wayang kolaborasi "Kresna Duta (Petruk Nekat Dadi Ratu)".
"Aku, Petruk, bersumpah. Aku akan menjadi ratu, bukan atas dasar uang dan harta benda. Akan tetapi, aku punya hati dan aku masih mendengar bisikan nurani," demikian penggalan kalimat sumpah yang lantang diucapkan Petruk.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Terpopuler - Spektrum
Lihat Juga
Kisah Warung Makan Selera Jenderal di Demak, berawal dari celetukan pelanggan
31 October 2024 10:27 WIB