"Pernah pada 2012 bu Atut bertemu untuk berkonsulasi terkait dengan kebijakan pemilihan kepala daerah mengenai politik dinasti, beliau konsultasi bagaimana rencana pengaturan politik dinasti," ungkap Djohermansyah saat menjadi saksi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Djohermansyah menjadi saksi dalam perkara dugaan pemberian uang Rp1 miliar kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar untuk mengurus sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) kabupaten Lebak di MK dengan terdakwa Ratu Atut Chosiyah.

Selain konsultasi mengenai politik dinasti, Djohermansyah juga mengaku pernah ditelepon Atut pada 27 September 2013 yang menanyakan mengenai kemungkinan pelaksanaan pilkada pada 2014 yang merupakan tahun politik.

"Pernah pada 27 September 2013 sore ada telepon dari ajudan Bu Atut, katanya Bu Atut mau konsultasi terkait pilkada. Lalu disambungkan ke Bu Atut, katanya Pak Dirjen, mau konsultasi, pilkada boleh tidak diselenggarakan pilkada pada 2014? lalu saya jawab karena itu tahun pemilu, maka tidak boleh ada pilkada pada 2014, semua pilkada harus diselesaikan pada 2013," ungkap Djohermansyah.

Djohermansyah mengaku bahwa pilkada pada 2014 tidak dimungkinkan karena Komisi Pemilihan Umum akan sibuk untuk mengurus pemilihan presiden.

"Lalu saya ditanya bagaimana kalau pilkada ulang? Saya jawab praktik pilkada ulang dimungkinkan, kalau pilkada induk tidak," jelas Djohermansyah.

Pilkada Lebak pada saat itu sedang diproses di MK karena pasangan Amir Hamzah dan Kasmin mengajukan keberatan ke MK terkait hasil pilkada Lebak yang dimenangkan oleh pasangan Iti Oktavia Jayabaya dan Ade Sumardi. Atut dalam dakwan disebut menyampaikan agar keberatan itu diurus melalui Akil Mochtar sehingga dapat dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU), hasilnya pada 1 Oktober MK memutuskan agar dilakukan PSU di seluruh wilayah Lebak.

"Apakah saudara mengetahui proses pilkada ini terkait PSU? Apakah tahu pilkada ini tentang Lebak?" tanya jaksa penuntut umum KPK.

"Saya tidak mengira mengenai PSU, dan baru tahu terkait pilkada Lebak setelah putusan MK pada 1 Oktober," jawab Djohermansyah.

Djohermansyah juga mengaku bahwa Atut tidak menyampaikan secara spesifik konsultasi itu mengenai pilkada Lebak.

"Tidak menyebutkan nama siapapun, dan tidak bertanya mengenai PSU sama sekali," ungkap Djohermansyah.

Atut kemudian menjelaskan bahwa percakapan telepon itu dilatarbelakangi karena ia ingin mengetahui apakah pemerintah provinsi dapat memberikan bantuan untuk pelaksanaan pilkada di tingkat kabupaten.

"Sebelumnya ada pilkada Pandeglang dan dilakukan PSU di seluruh wilayah di kabupaten Pandeglan, tapi PSU tidak dianggarkan jadi pemerintah kabupaten minta bantuan pemerintah provinsi dan pemerintah provinsi mendelegasikan bantuan keuangan. Kekhawatiran saya adalah kabupaten Lebak tidak punya uang maka akan terulang seperti Pandeglang, tapi saya tidak secara spesifik membicarakan PSU," ungkap Atut.

Djohermansyah menjelaskan bahwa pemerintah provinsi dapat memberi bantuan untuk kelancaran pilkada tapi bukan untuk membiayai PSU.

"(PSU) bukan tangungan provinsi, bantuan provinsi boleh tapi tidak boleh membiayai sepenuhnya PSU karena kalau tidak otonomi daerah akan kehilangan maknanya, yang boleh itu misalnya sosialisasi," ungkap Djohermansyah.

Namun Atut berkeras bahwa pembicaraannya lewat telepon dengan Djohermansyah saat itu merupakan antisipasi bila pemerintah kabupaten Lebak tidak memilik anggaran untuk PSU.

"Saya antisipasi kalau terjadi seperti di Pandeglang jadi provinsi berikan bantuan dan sudah disetujui oleh pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri," tambah Atut.

Dalam perkara ini KPK mendakwa Atut berdasarkan pasal 6 ayat 1 huruf a subsider pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pencara maksimal 15 tahun penjara dan dan denda Rp750 juta.