Anyaman Rambut Papua dan Keindonesiaan Kita
Minggu, 13 Maret 2016 07:18 WIB
Sekolah Menengah Atas Taruna Nusantara di Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, dikenal luas sebagai tempat pendidikan unggulan, terutama untuk penanaman karakter nasionalisme dan kebangsaan pada generasi muda Indonesia. Sekolah itu, letaknya relatif tidak jauh dari kompleks Akademi Militer di lembah Gunung Tidar, Kota Magelang, tempat penggemblengan calon-calon perwira muda TNI.
Tentu saja tim basket putri SMP Marganingsih tak hendak secara sengaja menunjukkan keindonesiaan melalui ajang tersebut. Dalam konteks pertandingan olahraga, mereka dipastikan bertekad menang. Selama dua tahun berturut-turut, tim itu memang pada akhirnya membuktikan diri sebagai juara basket putri tingkat SMP Popda Kabupaten Magelang dengan lawan yang sama dengan tahun lalu, bertemu pada partai final.
Melalui pacakan rambut ala Papua, barangkali mereka sekadar mengikuti naluri menjalani pengalaman bergaul bersama atau bahkan hanya menikmati sensasi dengan cara rambutnya ditata oleh teman-temannya yang berasal dari Tanah Papua, selagi berlaga basket.
Dan sebaliknya, anak-anak berasal dari Papua yang terampil menganyam rambut kawan-kawannya ala daerah asalnya itu, juga bisa dipastikan tidak berkehendak melakukan papuanisasi terhadap mereka yang berasal dari Jawa.
Namun, melalui pacakan rambut ala Papua, mereka telah secara alamiah menunjukkan semangat keindonesiaannya. Setidaknya, itulah sebagian hasil dari apa yang dibangun dan diusahakan pengelola sekolah berasrama dengan menerima anak-anak dari berbagai daerah di Nusantara untuk menjalani masa pendidikan di sekolah swasta di kota kecamatan terbesar di Kabupaten Magelang tersebut.
Lembaga pendidikan dengan asrama yang disebut juga "Mendut Junior" itu, adalah lanjutan karya pelayanan edukasi yang pernah diusahakan pada masa penjajahan Belanda dan dikenal sebagai "Sekolah Mendut" (1908-1942).
Tim basket putri SMP Marganingsih, terdiri atas Kapnum Serip Seravina, Fernandita Marcela Along, Fenia Grasela Olesopur Tabyon, Kristin Widyar Wakman (keempatnya dari Tanah Papua), dan Theresa Teofila Mutiarani Larasati, Scolastika Didya Fercelanda, Hosea Anggelene Sudiharto, Debora Diana Rahayu Pratiwi, serta Maria Angelmarlin (kelimanya dari beberapa kota di Jawa).
Sebagaimana lazimnya, anak-anak asal Papua itu berambut keriting dan berkulit hitam, sedangkan mereka dari beberapa kota di Jawa berambut lurus dan ikal serta berkulit sawo matang. Pendamping mereka dalam laga basket Popda Kabupaten Magelang 2016 adalah K. Titik Kristiana (guru olahraga) dan Edwin (pelatih basket).
"Aku tadi yang menata rambut Ita (Fernandita Marcela Along berasal dari Jayapura, Papua, red.), kebetulan kami ingin membuat rambut dengan tatanan seperti ini," ujar Hosea yang berasal dari Yogyakarta itu, usai bersama timnya memenangi partai final.
Ia juga menceritakan pengalaman bersama seangkatannya di asrama, ketika suatu hari Minggu mengikuti misa di Gereja Santo Antonius Muntilan, yang letaknya relatif tak jauh dari kompleks sekolahnya di depan Rumah Sakit Umum Muntilan milik Pemerintah Kabupaten Magelang.
"Pernah kami satu angkatan, waktu ikut misa, rambutnya juga dibikin seperti ini semua," katanya.
Rupanya sang guru olahraga mereka, Titik, juga tak ingin kalah keren dengan murid-murid putrinya. Ia pun selama mendampingi mereka hingga laga final, juga tampil dengan rambut beranyam model Papua.
"Biar seperti anak-anak," katanya ketika menikmati dandanan rambut ala Papua yang sedang digarap oleh seorang murid yang juga anggota tim basket itu, Sera (Kapnum Serip Seravina).
Sera sendiri mengaku mahir memacaki rambutnya sendiri karena sejak kecil, selagi di kampung halamannya di Kabupaten Pegunungan Bintang, di Pegunungan Jayawijaya, Provinsi Papua, telah terbiasa melakukan hal tersebut.
Ia menyebut menata rambut model Papua yang dikerjakan untuk kawan-kawannya itu bukan sebagai mengepang rambut, akan tetapi kreasi anyam menjadi berbagai motif dengan menggunakan sejumlah gelang karet.
Beberapa bentuk anyam rambut model Papua kreasinya yang dinikmati kawan-kawannya di tim basket, disebutnya sebagai anyam lurus, ular, dan "jipi lalat", sedangkan motif lainnya seperti anyam gurita, kaki seribu, dan semangka.
"Yang seperti saya ini, saya kerjakan sendiri. Namanya anyam lurus," ucapnya selagi menyaksikan miniatur kompleks SMA Taruna Nusantara, setelah bersama timnya selesai bertanding.
Anak-anak putri di tim basket itupun, setelah selesai bertanding, menyempatkan diri berjalan-jalan bersama di beberapa bagian kompleks sekolah tersebut.
Mereka seakan menikmati suasana luas dengan berbagai pepohonan, melewati jalan penghubung antargedung sekolah, dan halaman berumput hijau kompleks SMA Taruna Nusantara, hingga dekat Balairung Pancasila, dengan semua masih berpacak anyaman rambut ala Papua.
Kebersamaan mereka siang itu boleh jadi bisa dipandang sebagai sedang menikmati secara alamiah keindonesiaan yang memang multikultur atau plural.
Tentang keberagaman Indonesia masih saja menjadi bahan diskusi berbagai kalangan hingga saat ini.
Usaha-usaha memperkuat bangunan keindonesiaan memang harus terus menerus dilakukan oleh seluruh komponen Bangsa Indonesia. Apalagi dalam era kesejagatan saat ini, disebut-sebut bahwa ancaman, baik dari dalam maupun luar, oleh kelompok tertentu untuk memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetap saja mendera.
Dalam suatu sarasehan kebangsaan diselenggarakan Komisi Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan Kevikepan Kedu di Kota Magelang beberapa waktu lalu, Sekretaris Eksekutif Konferensi Wali Gereja Indonesia Romo Yohanes Rasul Edi Purwanto mengemukakan pentingnya sejak dini anak-anak Indonesia memperoleh pendidikan yang inklusif atau terbuka.
Pendidikan anak secara inklusif sesuai dengan keberagamaan Indonesia dan tentunya sesuai dengan cita-cita mulia para pendiri bangsa.
"Bukan malah pendidikan secara eksklusif yang membuat orang berpandangan sempit. Pendidikan yang inklusif itu juga untuk mencegah berkembangnya radikalisme," ujarnya.
Pendidikan secara inklusif memberi kesempatan terbaik bagi anak-anak Indonesia untuk mengenal sejak dini dan mengalami betapa keragaman mereka yang sesama bangsa, sebagai keniscayaan Indonesia.
Pengalaman tim basket putri sekolah itu berdandan anyaman rambut model Papua, hanyalah contoh kecil keindonesiaan yang mewujud, karena dipastikan telah terkuak pula cerita segudang lainnya tentang pengalaman riil keindonesiaan.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024