Logo Header Antaranews Jateng

Pembubaran DPD atau Penerapan Sistem Bikameral?

Kamis, 29 September 2016 18:22 WIB
Image Print
Gedung MPR/DPR/DPD RI. FOTO ANTARA/Yudhi Mahatma.
Semarang, Antara Jateng - Tidak mudah membubarkan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia karena keberadaan lembaga tinggi negara ini merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Apalagi, hanya karena dugaan oknum DPD menerima suap Rp100 juta dari seorang pengusaha.

Ketua Program Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. menegaskan bahwa konstitusi mengatur keberadaan DPD RI (vide Pasal 2, Pasal 22C, dan Pasal 22D UUD 1945).

Ia berpendapat bahwa wacana pembubaran DPD RI merupakan respons yang emosional dan buru-buru, apalagi kasus dugaan penerimaan suap itu melibatkan oknum tertentu saja dan tidak memengaruhi eksistensi lembaga tinggi negara itu.

Teguh mencontohkan relatif banyak kasus seperti itu yang menimpa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan menteri, bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Kendati demikian, tidak perlu DPR, kabinet, atau MK dibubarkan.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid. Dia menilai ada logika yang salah apabila menginginkan pembubaran institusi DPD RI pascapenetapan tersangka Ketua DPD Irman Gusman oleh KPK.

Ditegaskan pula bahwa antara masalah Irman Gusman dan DPD itu adalah dua masalah yang berbeda. Pimpinan lembaga negara dan eksekutif hampir semua pernah punya masalah. Namun, tidak serta-merta berimbas pada pembubaran institusi tersebut.

"Ada kepala daerah ditangkap KPK, ada Ketua MK ditangkap KPK, bahkan pimpinan KPK pun juga punya masalah hukum," kata Hidayat kepada Antara di Jakarta, Senin (19/9).

Teguh lantas menekankan, "Pembubaran lembaga bukan solusi pemberantasan korupsi. Solusinya adalah revolusi mental pejabat... setop korupsi!"

Penguatan DPD

Begitu pula, penguatan kewenangan DPD RI, bukan hal yang mudah meski UUD 1945 Pasal 3 Ayat (1) memberi kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

Pasalnya, untuk menggelar sidang itu membutuhkan usul persetujuan 2/3 anggota MPR RI. Dengan demikian, perlu dukungan DPR RI terhadap DPD RI mengenai usulan perubahan ke-5 UUD 1945.

Di lain pihak, penguatan DPD RI juga harus diikuti dengan kekuatan figur dan citra DPD RI yang baik untuk membela rakyat, kata pakar pemerintahan dari Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono.

Di satu sisi Teguh berpendapat bahwa kasus dugaan penerimaan suap dengan tersangka Irman Gusman tidak memengaruhi eksistensi lembaga tinggi negara itu. Namun, di sisi lain dia menyatakan bahwa perkara tersebut akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan rakyat terhadap DPD RI.

"Tingkat kepercayaan publik terhadap DPD RI akan melorot tajam," kata alumnus Flinders University Australia itu.

Menurut Teguh, hal itu juga akan berimbas pada perjuangan atas upaya penguatan kewenangan lembaga tersebut.

"Hal ini sangat kontradiktif terhadap perjuangan panjang DPD RI untuk amendemen UUD 1945," ujarnya.

Teguh berpendapat bahwa publik bisa tidak percaya terkait dengan upaya penguatan kewenangan DPD RI karena akan makin membuka peluang penyalahgunaan kewenangan itu.

"Walaupun korupsi sebenarnya bisa terjadi di mana-mana, termasuk DPD, DPR RI, dan kabinet sekalipun," katanya.


Kewenangan Terbatas

Mengenai fungsi, tugas, dan wewenang DPD RI sudah termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun, kewenangannya masih terbatas. Misalnya, terkait dengan fungsi legislasi, dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) ke DPR RI (vide Pasal 22D Ayat 1).

Rancangan undang-undang itu terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Di dalam UUD 1945 (Pasal 22D Ayat 2), DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Namun, lembaga negara ini tidak ikut memutuskan.

DPD, sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 D Ayat (3), dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama, serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Lembaga tinggi negara itu juga menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya; perimbangan keuangan pusat dan daerah; pelaksanaan APBN; pajak, pendidikan, dan agama.

Karena kewenangannya terbatas, empat anggota DPD RI di masing-masing provinsi terkesan kurang berperan memperjuangkan aspirasi rakyat di daerah. Padahal, mereka sudah menjalankan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Misalnya, terkait dengan pengajuan RUU ke DPR (vide UUD 1945 Pasal 22D Ayat 1). Namun, pada kenyataannya DPR RI tidak menindaklanjuti 34 RUU hasil inisiatif DPD RI.

Tampaknya perlu memperjelas posisi DPD: sebatas representasi daerah atau menjadikan salah satu kamar di parlemen. Namun, perlu perhitungan matang sebelum menerapkan sistem bikameral. Plus minus sistem lembaga perwakilan rakyat yang terdiri atas dua kamar atau dua badan legislatif) ini perlu dikaji agar tidak timbul masalah di kemudian hari.

Pewarta :
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025