Logo Header Antaranews Jateng

KPK Periksa Mantan Kepala BPPN Ary Suta sebagai Saksi

Kamis, 15 Juni 2017 11:43 WIB
Image Print
Ary Suta (ANTARA /Reno Esnir)
Jakarta, ANTARA JATENG - Komisi Pemberantasan Korupsi akan memeriksa mantan Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta dalam penyidikan tindak pidana korupsi pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas) kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.

Selain memeriksa I Putu Gede Ary Suta, KPK dijadwalkan memeriksa Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) 2002-2005 Lukita Dinarsyah Tuwo sebagai saksi juga untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.

KPK saat ini sedang mendalami terkait aspek penagihan kewajiban sebesar Rp4,8 triliun dalam penyidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

KPK pada Rabu (14/6) juga memeriksa mantan Kepala BPPN Glenn Muhammad Surya Yusuf sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.

"Saksi diperiksa sebagai mantan Kepala BPPN untuk mendalami bagaimana proses kebijakan "Master of Settlement and Acquisition Agreement" (MSAA) saat itu dan aspek penagihan kewajiban Rp4,8 triliun," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu (14/6).

Sebelumnya pada Selasa (13/6), KPK juga telah memeriksa Kepala BPPN 2000-2001 Edwin Gerungan sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.

KPK menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian kepada Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

Pewarta :
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2024