Ketika petai asal Pati bisa menembus pasar Jepang
Selasa, 5 November 2024 16:23 WIB
Petai atau pete, selama ini merupakan menu masakan yang dijumpai di kalangan masyarakat perdesaan sebagai salah satu lalapan atau tambahan bahan masakan. Maklum, karena tumbuhan pete yang bisa tumbuh menjulang tinggi ini hanya bisa dijumpai di daerah perdalaman atau pergunungan yang jauh dari kawasan perkotaan.
Siapa sangka, lalapan yang mungkin beberapa orang kurang menyukainya karena dapat menyebabkan mulut atau air kencing orang yang memakannya menjadi berbau menyengat itu, kini bisa merambah pasar luar negeri.
Tak tanggung-tanggung, pasar yang berhasil dimasuki merupakan negara yang terkenal sangat ketat mengenai produk makanan impor, yakni Negeri Matahari Terbit atau Jepang.
Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Sukobubuk Rejo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati, Saman, tidak pernah menyangka bahwa petai yang banyak dijumpai di desanya itu kini bisa menembus pasar Asia Timur.
Selama ini, petai yang ditanam para petani hanya dipasarkan secara sederhana ke sejumlah daerah di Tanah Air. Bahkan, penjualannya juga masih dalam bentuk utuh, belum dikupas dan dikemas rapi.
Petai sendiri ketika dipanen dalam bentuk tangkai, terdiri dari beberapa papan atau lonjor yang setiap lonjornya terdapat antara 10 hingga 17 biji petai.
KTH Desa Sukobubuk selama ini turut membantu petani memasarkan hasil tanamannya ke berbagai daerah, sehingga petani yang tidak bisa menjual sendiri bisa menyetorkannya ke koperasi yang dibentuk KTH itu, setelah petai dari para petani terkumpul.
Para petani ada yang menyetorkan dalam bentuk utuh, serta ada yang sudah dikupas. KTH Sukobubuk membeli petai dari para petani dengan harga yang disepakati, lantas dijual ke berbagai daerah.
Selain pasar lokal di Kabupaten Pati dan sekitarnya, juga dijual ke Kota Semarang, Jakarta, dan beberapa kabupaten lain di Jawa Tengah. Harga jualnya berkisar Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per ikat yang berisi sekitar 100 lonjor atau papan.
Berkembangnya e-commerce (electronic commerce), membuat petani setempat juga ada yang memanfaatkannya untuk memasarkan secara daring yang dijual per lonjor antara Rp1.500 hingga Rp2.000 sesuai ukuran.
Ekspor
Munculnya ide menanam tanaman petani berawal dari izin garapan di lahan negara seluas 1.300 hektare pada tahun 2018 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan jumlah petani penggarap mencapai 1.464 orang.
Selain mendapatkan kesempatan mengolah lahan untuk pemasukan mereka, para petani juga bertanggung jawab menghijaukan lahan agar tidak gundul dan tetap menjadi daerah resapan air untuk kawasan bawah.
Desa Sukobubuk berada di dataran tinggi, di antara Pegunungan Patiayam yang dikenal sebagai situs purbakala.
Untuk itulah, para petani setempat sepakat menanam pepohonan yang menghasilkan dan buahnya bisa dijual untuk kepentingan ekonomis. Dipilihlah tanaman petai sebagai tanaman keras, tetapi tetap menghasilkan, kemudian ada pohon mangga, nangka, serta jengkol.
Dengan lahan yang begitu luas, setiap petani bisa mengolah lahan garapan lebih dari 2 hektare. Akan tetapi, muncul aturan baru, maksimal setiap petani bisa mengolah lahan seluas 2 hektare.
Meskipun demikian, petani tetap bisa menghasilkan karena masih bisa ditanami aneka macam tanaman. Bahkan, dalam 1 hektare lahan bisa ditanami pohon petai lebih dari 210 pohon, belum lagi tanaman lain, seperti nangka, mangga, jengkol, atau tanaman buah lainnya.
Tanah di Desa Sukobubuk yang begitu subur, akhirnya membuat tanaman petai tumbuh subur dan produktivitasnya juga tinggi. Total tanaman petai di lahan 1.300 hektare mencapai 50.000 pohon, yang saat ini sudah berbuah sebanyak 15.000 pohon.
Hal tersebut, memunculkan kekhawatiran karena hasil panen petai yang melimpah dan tidak terserap pasar, bisa menimbulkan rasa pesimisme bagi petani yang sudah bersusah payah menanam dan merawat. Mereka berharap, ketika tanaman petai berusia empat tahun bisa dipanen dan menghasilkan.
Kalau tidak ada pasar yang pasti, secara perlahan, tanaman petai yang sudah menghijaukan kawasan pergunungan Desa Sukobubuk itu bisa menghilang dan gundul kembali karena ditebang oleh petani.
Saman yang juga kepala Desa Sukobubuk, akhirnya mendapatkan kesempatan berdialog dengan Menteri KLHK (kala itu Siti Nurbaya), ketika berkunjung ke Purwodadi, Jawa Tengah.
Keluh kesah Saman, akhirnya direspons oleh Kementerian KLHK, karena pada tahun 2023 dipertemukan dengan satu perusahaan yang memfasilitasi penjualan petai ke pasar ekspor.
Dari pertemuan tersebut, kemudian ditawarkan untuk ekspor petai ke Jepang dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh para petani. Jepang dikenal sebagai negara yang sangat ketat dengan masuknya bahan makanan yang berasal dari luar negeri.
Secara swadaya, akhirnya Saman dibantu jajaran pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH) Sukobubuk Rejo membeli mesin vakum dan mesin blaster, serta freezer.
Negara Jepang juga mensyaratkan adanya uji laboratorium terkait kandungan petai, serta ada tidaknya bahan pestisida berbahaya. KTH Sukobubuk pun harus melakukan pengujian sampel petai ke sebuah laboratorium di Tangerang.
Dari hasil uji laboratorium, petai asal Sukobubuk dipastikan aman dari kandungan zat berbahaya karena selama ini mayoritas petani tidak melakukan pemupukan secara khusus, apalagi dari bahan kimia, hanya sekadar merawat pohonnya tetap sehat. Uji laboratorium itu juga menunjukkan kandungan dari petai adalah karbohidrat, protein, serat, kalsium, natrium, zat besi, dan air.
Sementara untuk menjaga petai kupas utuh dan tidak rusak atau tergores, petani yang ikut memasok petai kupas diberikan pelatihan cara mengupas agar bisa memenuhi standar kualitas ekspor.
Petai kupas yang diterima dari para petani, kemudian dipilah ukuran yang standar. Setelah itu dicuci dan ditiriskan hingga kering, baru masuk proses pengemasan dengan ukuran 100 gram per bungkus, dilanjutkan dengan tahap vakuum dan blasting agar kemasan tetap awet saat dikirim ke Negara Jepang.
Akhirnya, pada akhir tahun 2023 kelompok tani itu bisa mengekspor petai 3 kuintal dan lolos masuk ke Jepang. Kemudian Oktober 2024 kembali mengirim sebanyak 5 kuintal petai kupas, ditambah nangka muda dan jengkol.
Petani di desa itu berharap memiliki tempat penyimpanan atau pengawetan petai dengan kapasitas yang besar agar permintaan pasar ekspor bisa dipenuhi secara kontinu. Sementara itu, panen petai memang bisa berlangsung lama, terkecuali bulan Mei, Juni dan Juli, yang sama sekali tidak berbuah.
Ketika memiliki tempat penyimpanan dengan suhu dingin, dipastikan kebutuhan pasar ekspor bisa dipenuhi secara kontinu karena stok petai masih cukup melimpah.
Meskipun hasil panen petai melimpah, termasuk tanaman buah lainnya di Desa Sukobubuk memang perlu dukungan teknologi dan pemasaran. Dengan harapan, rantai pasok dan pemasaran yang semakin lancar, sehingga tingkat perekonomian petani juga semakin meningkat dan semakin sejahtera.
Berkat respons cepat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan persoalan pemasaran komoditas hasil wanatani atau agroforestri di Desa Sukobubuk terselesaikan. Hadirnya negara berupa dukungan pada upaya yang dilakukan oleh warga telah membuat petani di desa itu, kini bisa tersenyum bahagia karena hasil panen mereka bisa terjual hingga ke luar negeri.
Editor:
Edhy Susilo
COPYRIGHT © ANTARA 2024