
Adab Pendidik: Pilar Abadi di Tengah Derasnya Arus Zaman

Solo (ANTARA) - Oleh: Dwi Haryanti
Adab menurut KBBI adalah kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan, dan akhlak. Jadi, Adab merupakan cerminan kehalusan dan kebaikan budi pekerti yang terwujud dalam sikap sopan, santun, serta penghormatan orang lain, terutama dalam pergaulan dan menuntut ilmu. Lebih dari sekadar etika lahiriah, adab mencerminkan kematangan jiwa dan kedalaman akhlak yang menjadi dasar perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari, di rumah, di masyarakat, dan di temat belajar formal.
Jika adab hilang dari ruang kelas, maka ilmu pun kehilangan cahaya. Pendidikan sejati bukan hanya soal menyampaikan fakta dan teori, melainkan soal menanamkan nilai, membentuk akhlak, dan membimbing jiwa. Di sinilah peran guru dan dosen menjadi lebih dari sekadar pengajar; mereka adalah arsitek peradaban. Namun hari ini, di tengah arus digitalisasi yang serba cepat, birokrasi akademik yang menekan, dan standar capaian yang terus meningkat, profesi pendidik berada di persimpangan: antara menjaga makna atau sekadar memenuhi target. Terlalu mudah bagi kita terjebak dalam profesionalisme yang dingin—mengajar secara teknis, tetapi kehilangan sentuhan nurani. Padahal, adab adalah ruh pendidikan. Tanpanya, ilmu bisa menjauh dari keberkahan.
Adab: Fondasi yang Menghidupkan Ilmu
Adab bukan sekadar etiket, melainkan sebuah nilai inti dalam tradisi kehidupan dimanapun. Ulama terdahulu menekankan bahwa adab mendahului ilmu. Imam Malik berkata kepada pemuda atau muridnya, “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.” Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu
https://muslim.or.id/21107.
Dalam konteks pendidikan modern, adab bagi guru dan dosen mencakup empat komponen utama:
Adab terhadap Alloh SWT
Adab terhadap Allah berarti menyadari bahwa aktivitas mengajar adalah bagian dari ibadah dan amanah. Guru dan dosen bukan hanya bekerja untuk lembaga atau institusi, tetapi untuk mengabdi pada nilai-nilai kebenaran dan kemuliaan yang bersumber dari Alloh. Kunci utamanya: niat yang lurus, keikhlasan dalam mengajar, dan menjaga kejujuran dalam menilai serta bersikap. Ilmu yang tidak disandarkan kepada Alloh akan kehilangan berkahnya, seberapa pun canggihnya. Realita saat ini, masih ada pendidik dan calon pendidik belum memiliki kesadaran bahwa mengajar adalah bagian dari ibadah. Orientasi kerja masih sering semata-mata untuk memenuhi SKS, mengejar honor, atau pengakuan profesional. Tantangan saat ini, bagaimana membangun kesadaran spiritual di kalangan pendidik bagi pembelajar generasi penerus, agar mereka tidak hanya mengejar profesi, tapi juga menjunjung nilai amanah ilahiah.
Adab terhadap Ilmu
Ilmu bukan sekadar alat untuk mendapatkan pekerjaan atau prestise, tapi amanah yang harus dijaga kesuciannya. Menghormati ilmu berarti bersungguh-sungguh dalam belajar dan mengajar, tidak menyombongkan pengetahuan, serta terus membuka diri terhadap perkembangan zaman. Fenomena saat ini adalah orang “pintar instan” banyak terjadi. Anak muda hari ini cenderung ingin cepat tahu, cepat sukses, tanpa proses panjang. Mereka lebih mengandalkan jalan singkat daripada membaca buku atau berdiskusi mendalam. Akibatnya, pemahaman mereka kurang dan sering tak menghargai perjalanan ilmiah. Di sisi lain, sebagian dosen atau guru muda terjebak pada zona nyaman. Mereka enggan belajar ulang, menganggap "sudah tahu semua," sehingga mengajar dengan materi usang, tanpa memperbarui metode atau wawasan. Padahal, zaman terus berubah, dan ilmu menuntut kerendahan hati untuk terus belajar. Mari kita selalu ingat, belajar sepanjang hayat.
Adab terhadap Peserta Didik
Pendidikan adalah hubungan antara hati dengan hati. Peserta didik bukan sekadar objek transfer ilmu, tetapi manusia utuh yang sedang bertumbuh. Maka seorang pendidik harus mengajar dengan kasih, sabar dalam membimbing, dan bijak dalam memberi teguran.
Di banyak ruang kelas, relasi guru-murid, dosen-mahasiswa ada yang mengubah menjadi transaksional. Dosen datang, menyampaikan materi, memberi tugas, lalu selesai. Sementara murid dianggap “tidak sopan” ketika bertanya terlalu kritis atau tidak sejalan dengan opini guru atau dosen.
Sebaliknya, di media sosial, banyak mahasiswa mengeluh tidak dihargai sebagai manusia. Mereka merasa tak didengar, tidak dianggap, bahkan kadang direndahkan saat melakukan kesalahan. Padahal Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana menegur sahabat dengan cinta dan kelembutan, bukan kemarahan. Sebagai pendidik, guru dan dosen bukan hanya bertugas mentransfer ilmu tetapi mengajarkan dan menjadi contoh berperilaku yan beradab dalam semua aktifitas di kelas dan diluar kelas. Sudahkah kita sebagai pendidik berlaku demikian. Kita harus tanamkan tiga pilar deep learning, mindful, meaningful, dan joyfull. Mengajar dan belajar dengan hati sehingga menjalankannya dengan senang hati dan bisa memberikan makna dalam kehidupan sehari-hari dan masa depan nanti.
Adab terhadap Sesama Pendidik
Dunia pendidikan seharusnya menjadi ekosistem saling belajar dan saling menguatkan. Adab terhadap sesama pendidik berarti menjaga lisannya dari menggunjing, menghindari rasa iri terhadap capaian rekan, serta bersedia bekerja sama dan berbagi ilmu. Sayangnya, atmosfer akademik kadang justru penuh kompetisi dan ego. Beberapa dosen berlomba mengejar publikasi tanpa mau berbagi metode. Tak jarang muncul rivalitas terselubung antar kolega, baik karena perbedaan pandangan, posisi jabatan, maupun prestasi. Bahkan di beberapa institusi, dukungan terhadap rekan sering digantikan dengan komentar sinis atau diam-diam menjatuhkan. Padahal, di balik semua prestasi akademik, nilai adab adalah cermin keluhuran sejati seorang pendidik.
Keteladanan: Pendidikan yang Tak Pernah Usang
Pernahkah kita merenung, murid sering lupa isi kuliah, tetapi tidak lupa bagaimana dosennya berbicara, menyapa, atau menegur. Itulah kuasa adab dalam bentuk keteladanan. Contoh kecil: seorang guru atau dosen yang datang tepat waktu, menyapa murid atau mahasiswa dengan nama, atau seorang dosen yang tidak menyela saat mahasiswa bicara—itu semua adalah pelajaran hidup yang tak tertulis di silabus. Nabi Muhammad SAW adalah pendidik teladan. Dalam hadits riwayat Bukhari, dikisahkan bahwa beliau tidak pernah memaki atau mencela murid-muridnya, bahkan saat mereka melakukan kesalahan. Beliau mendidik dengan hati dan adab—bukan dengan ancaman, tetapi dengan kasih sayang dan senyuman.
Teknologi Boleh Maju, Adab Jangan Mundur
Kemajuan teknologi telah merevolusi dunia pendidikan. Pembelajaran daring, kecerdasan buatan, platform digital, hingga perangkat lunak manajemen kelas telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ruang belajar modern. Namun, di tengah kemudahan akses dan kecepatan komunikasi ini, muncul kekhawatiran bahwa nilai-nilai luhur seperti adab justru mulai terpinggirkan.
Hari ini, kita menyaksikan fenomena nyata: mahasiswa yang menyapa dosen tanpa salam atau memperlakukan guru seperti layanan daring—datang hanya untuk "mengambil materi", tanpa menghargai proses atau kehadiran pendidik sebagai pembimbing ruhani dan akhlak. Bahkan di ruang kelas virtual, etika berpakaian, tutur kata, dan sikap hormat sering kali diabaikan karena alasan "situasi daring". Kuliah sambil, makan, minum, jalan-jalan, setir mobil, setir motor, dan ngobrol seenaknya tanpa kesopansantunan bahwa mereka sedang kuliah di kelas virtual.
Tidak sedikit pula pendidik yang terbawa arus profesionalisme semu. Sibuk mengejar sertifikasi, skor indeks kinerja, atau angka publikasi, namun lupa bahwa mendidik adalah memanusiakan manusia. Maka, guru yang sejatinya teladan dalam sikap dan moral, bisa tergelincir menjadi hanya "penyaji materi akademik", bukan lagi pembentuk karakter.
Adab bukan sekadar sopan santun luar, tapi cerminan kedalaman jiwa. Dalam Islam, adab kepada guru dan murid adalah kunci keberkahan ilmu. Imam Malik pernah berkata, “Ibuku memakaikanku pakaian terbaik dan berkata: pergilah belajar kepada Rabi’ah, tapi pelajarilah dulu adabnya sebelum ilmunya.” Pengajaran Imam Malik dikenal dengan suasana yang penuh kedisiplinan, ketenangan, dan penghormatan tinggi dari murid kepada guru. Nilai-nilai ini sangat dijaga olehnya, bahkan ia tak ragu untuk menegur dengan tegas para murid yang melanggarnya. Nilai ini kini terancam tenggelam dalam gelombang digitalisasi yang terlalu cepat dan tidak cepat beradaptasi. Maka, ketika teknologi melaju pesat, tugas pendidik dan institusi bukan hanya mengejar transformasi digital, tetapi juga menanamkan kembali nilai-nilai adab di setiap proses pembelajaran. Penggunaan teknologi harus tetap dalam bingkai akhlak. Kamera boleh menyala atau mati, tapi hati tetap harus hidup—menghargai, menyimak, dan meneladani.
Penutup: Membangun Peradaban, Dimulai dari Adab
Dalam Islam, kedudukan adab atau akhlak menempati posisi yang lebih tinggi daripada ilmu. Hal ini ditegaskan dalam buku Adab dan Doa Sehari-Hari untuk Muslim Sejati karya Jayana, yang mengutip pernyataan Imam Malik kepada muridnya: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.” Para ulama pun sejalan dalam menekankan pentingnya adab sebagai fondasi utama dalam mencari ilmu. Bahkan, misi utama kenabian Rasulullah SAW adalah menyempurnakan akhlak mulia, sebagaimana sabdanya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlakul karimah” (HR. Bukhari). Tanpa adab, sebanyak apa pun ilmu yang dimiliki seseorang dapat menjadi sia-sia, karena tidak ada batas dan arahan yang menuntun pemanfaatannya dengan bijak. Oleh karena itu, didunia pendidikan diperlukan pembinaan berkelanjutan, keteladanan nyata dari senior, serta revitalisasi nilai spiritual dan moral dalam sistem pendidikan guru dan dosen, agar pendidikan tidak hanya melahirkan “orang tahu,” tetapi juga manusia yang beradab dan memberi cahaya.
(Dosen UMS, Ketua Ranting Aisyiyah Ngadirejo, Kartasura, dan Ketua Majelis Pembinaan Kader Aisyiyah Cabang Kartasura)
Pewarta : Aris Wasita
Editor:
Edhy Susilo
COPYRIGHT © ANTARA 2025