Logo Header Antaranews Jateng

Pengamat komunikasi: Perlu regulasi terkait penggunaan AI

Jumat, 13 Juni 2025 15:48 WIB
Image Print
Pengamat komunikasi/Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Unsoed Purwokerto Dr. Edi Santoso. ANTARA/HO-Unsoed

Purwokerto (ANTARA) - Pengamat komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Dr. Edi Santoso memandang perlu regulasi terkait dengan penggunaan akal imitasi (artificial intelligence/AI) untuk kehidupan sehari-hari.

"Sangat perlu adanya regulasi terkait dengan penggunaan akal imitasi karena AI ini pertumbuhan dan perkembangannya sangat cepat," kata Dr. Edi Santoso di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.

Ketika masyarakat masih dipusingkan oleh penyebaran hoaks konvensional yang dilakukan dengan sekadar merekayasa judul berita dan tangkapan layarnya dibagikan melalui media sosial, menurut Dr. Edi, saat sekarang muncul kebohongan yang makin sulit diidentifikasi karena menggunakan akal imitasi.

Dalam hal ini, kata dia, video maupun audio dapat dibuat dengan menggunakan teknologi akal imitasi.

"Itu makin sulit untuk diidentifikasi asli atau tidaknya, terutama bagi orang-orang yang tidak memiliki atau tingkat literasi medianya rendah," katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, regulasi terkait dengan penggunaan AI sangat mendesak untuk segera disusun mengingat adanya isu-isu lain yang bisa berkaitan dengan permasalahan tersebut seperti hak cipta dan sebagainya.

Menurut dia, hal itu karena saat sekarang karya-karya seni begitu mudah direplikasi dengan menggunakan akal imitasi.

"Pertumbuhan di sisi ini (akal imitasi, red.) begitu cepat, tetapi regulasi yang mengaturnya tertatih-tatih, sangat lambat. Jadi, saya kira regulasi mengenai penggunaan AI ini sangat mendesak," kata Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Unsoed itu.

Terkait dengan media sosial, dia mengakui media sosial saat sekarang mengalami perkembangan luar biasa dan sudah bisa dikatakan menjadi media utama.

Menurut dia, hal itu karena sejumlah data menyebutkan bahwa sekitar 70 persen pengguna internet merupakan pengguna media sosial.

"Artinya, dia (media sosial, red.) sudah bukan lagi media alternatif, sebaliknya menjadi media utama. Nah, dalam konteks itu 'kan pertanyaannya apa yang kemudian dihasilkan oleh media sosial, atau apa yang berubah dari lanskap komunikasi," ucapnya.

Ketika pertama media sosial lahir, kata dia, saat itu orang berpikir bahwa inilah era demokratisasi media karena orang tidak hanya bisa mengonsumsi, tetapi juga bisa sekaligus memproduksi pesan.

Akan tetapi, dalam perjalanannya, media sosial ada sisi-sisi yang semula tidak dibayangkan karena adanya variabel lain.

"Itu karena ternyata kita tidak setara dengan apa yang kita bayangkan dalam berinteraksi dengan pengguna media sosial yang lain karena ada apa yang kita sebut dengan algoritma yang membuat interaksi kita dibatasi. Yang akhirnya menimbulkan banyak ekses seperti filter bubble dan echo chamber," katanya.

Dr. Edi mengemukakan bahwa fenomena tersebut membuat banyak persoalan, misalnya orang merasa pendapatnya mewakili pendapat mayoritas karena melihat sekelilingnya, yakni orang-orang yang diikuti dalam media sosial, padahal itu tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya.

Selain itu, kata dia, media sosial juga mengantisipasi munculnya pesan-pesan yang tidak kondusif atau pesan yang memiliki efek destruksi.

"Hoaks itu bukan hal baru, dari dahulu ada hoaks. Akan tetapi, lewat media sosial, penyebaran hoaks makin kian masif, dan seiring dengan itu muncul ujaran kebencian karena media sosial itu massal dan pesan bisa menyebar begitu cepat," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, literasi digital kepada pengguna media sosial perlu secara masif untuk mengantisipasi penyebaran hoaks maupun ujaran kebencian.

Kendati memiliki sisi negatif, dia mengakui media sosial juga memiliki banyak sisi positif karena adanya interaktivitas dan akses pada informasi.

"Itu juga hal yang tidak bisa kita pungkiri. Dahulu informasi terbatas pada kalangan tertentu, sekarang ketika internet dan perangkat digital dipakai oleh banyak orang, semua orang juga punya akses informasi yang melimpah," kata Dr. Edi.


Baca juga: Pengamat: Pemulangan "anak kos" momentum penutupan Gang Sadar Banyumas

Pewarta :
Editor: Edhy Susilo
COPYRIGHT © ANTARA 2025