Prabowo menilai lawannya memeroleh suara melalui cara-cara melawan hukum atau setidaknya disertai tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Oleh karena itu Prabowo-Hatta meminta MK menyatakan batal dan tidak sah keputusan KPU Nomor 535/Kpts/KPU/2014 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014.

Prabowo-Hatta kemudian meminta MK menyatakan perolehan suara yang benar adalah yang dicantumkan dalam berkas gugatan, yakni pasangan Prabowo-Hatta dengan 67.139.153 suara dan pasangan Jokowi-JK dengan 66.435.124 suara.

Selain itu, Prabowo-Hatta juga menduga KPU beserta jajarannya melanggar peraturan perundang-undangan terkait pilpres, di antaranya, UU Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Peraturan KPU Nomor 5, Nomor 18, Nomor 19, dan Nomor 20; serta Peraturan KPU Nomor 21/2014 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil Serta Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.

Tim Kuasa Hukum Prabowo-Hatta juga mendalilkan bahwa Pilpres 2014 cacat hukum karena berbagai alasan. Salah satunya adalah perbedaan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) faktual sebagaimana hasil rekapitulasi KPU pada 22 Juli 2014 dengan SK KPU No 477/Kpts/KPU/13 Juni 2014.

Tim itu juga merasa berhak mengajukan gugatan hasil Pilpres 2014 ke MK. Pernyataan Prabowo yang menarik diri dari tahapan pilpres dianggap tak mengurangi kedudukan hukum untuk melayangkan gugatan tersebut.

Menurut Kuasa Hukum Prabowo-Hatta, Maqdir Ismail, Prabowo menyatakan penarikan diri hanya pada satu tahapan pilpres, yakni proses rekapitulasi perolehan suara. Gugatan tetap dilayangkan karena Prabowo tak menarik diri dari tahapan lain dalam pilpres sampai tiba proses pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.

"Ini yang mereka lupa, bahwa proses dan tahapan itu sampai dengan pelantikan. Prabowo hanya menarik diri dari satu tahap karena ada proses yang tidak benar," kata Maqdir. Pernyataan Kuasa Hukum Joko Widodo-Jusuf Kalla tentang tak adanya kedudukan hukum (legal standing) Prabowo untuk menggugat ke MK sangat keliru.

Dia berpendapat, Pilpres 2014 dianggap tidak sah jika Prabowo-Hatta mengundurkan diri sebagai kandidat. "Kalau mereka menganggap seperti itu, berarti merekalah yang membuat pilpres tidak sah."

Terkait gugatan tersebut, pengamat politik LIPI Siti Zuhro menilai, secara hukum gugatan hasil pilpres ke MK adalah langkah positif untuk meredam ketidakpuasan atas hasil yang diumumkan KPU.

"Kalau rasa tak puas itu tidak dituntaskan sekarang maka akan jadi tragedi. Sama seperti Pilpres 2009, akan dapat menyebabkan mosi tidak percaya yang terpendam pada peserta pemilu dan ini tidak boleh terulang kembali," ujarnya.

Kecurigaan terhadap pilpres menurut dia, harus diselesaikan agar hasil tersebut benar-benar sah di mata hukum atau memiliki legitimasi. "Namanya kompetisi pemilu benar-benar substansi. Harus dibenahi lewat hukum dan bukti-bukti."

Oleh karena itu dia berharap agar pendukung calon pesiden dapat menerima apapun hasil dari sidang gugatan di MK tersebut. Sebab, yang terpenting dari adanya proses hukum ini adalah kejelasan bagi masyarakat.

"Apapun hasilnya, kedua belah pihak harus bisa menerimanya. Bila ada bukti hukum maka keduanya harus menerima. Sedangkan untuk pendukungnya tidak boleh murka jika calon yang diusung kalah, baik untuk pendukung Jokowi maupun pendukung Prabowo," katanya.

Senada dengan pengamat LIPI, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menilai gugatan yang dilayangkan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa ke MK terkait sengketa Pilpres 2014, merupakan sesuatu yang wajar dan hak konstitusi semua warga negara.

"Apa yang sedang berlangsung saat ini di MK juga merupakan tindakan yang mengedepankan semangat keadilan," ujar Ketua BEM UI, M Ivan Riansa, sambil meminta masyarakat untuk tidak mempermasalahkan proses gugatan hasil Pilpres 2014 tersebut.

"Kami juga menyerukan kepada kedua kubu agar tetap menghormati proses hokum yang berlaku," katanya. Walapun KPU telah menyatakan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang Pilpres 2014 dengan perolehan suara 53,15 persen, namun hasil Pilpres 2014 belum final. Prosesnya masih berlanjut pasca penetapan, yaitu penyelesaian sengketa hasil pemilu oleh MK.


Sulit Mengulang Pilpres

Pakar hukum tata negara Yusril Izha Mahendra memprediksi, kecil kemungkinan MK untuk memerintahkan pemilihan presiden ulang, setelah capres Prabowo Subianto menyatakan terjadi berbagai kecurangan yang massif dan terstruktur.

Alasan dia, meski amar putusan MK kadang memerintahkan pilkada ulang, namun tidak di seluruh daerah, yakni hanya di daerah-daerah tertentu saja yang terindikasi terjadinya kecurangan. Tidak ada pilkada ulang di seluruh tempat. Oleh sebab itu pilpres ulang kecil sekali (kemungkinannya-red).

Menurut Yusril, kalaupun MK memerintahkan pemungutan suara ulang, hal itu hanya di beberapa daerah saja, itupun berdasarkan kalkulasi jika pasangan calon presiden dan wakil presiden yang merasa dirugikan bisa menang dengan jumlah suara di daerah tersebut.

"Biasanya dalam pilkada akan tergantung dalil kita, daerah ini-daerah itu ada kecurangan. Lantas hakim biasanya bertanya, jika pilkada diulang di tempat itu, Anda bisa menang enggak? Jika jawabannya tidak, hakim juga tidak mau memerintahkan ulang. Tapi kalau yakin bisa menang, ada kemungkinan hakim mengabulkan pemilihan ulang setelah melihat fakta-fakta di persidangan," kata Yusril.

"Saya dengar sekarang ada kekurangan 8 juta suara. Bisa dimenangkan tidak 8 juta suara itu. Untuk membuktikan adanya kekurangan 8 juta suara itu, penggugat harus membuktikannya di MK. Itu masalah yang sulit, seperti halnya membuktikan kecurangan pada pileg lalu," ujar Yusril yang mengaku netral - tidak memihak pasangan Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK.

Mantan Menteri Hukum dan HAM itu menunjuk sengketa pada pemilihan anggota DPR dan DPD yang dialaminya. Meski disadarinya ada kecurangan tetapi sulit membuktikannya, sehingga dia tidak mau mengajukan gugatan ke MK. "Beda dengan pembuktian kecurangan dalam pilkada, relatif lebih mudah."

Sementara itu ahli hukum tata negara, Refly Harun berpendapat, berbagai kesalahan dalam berkas gugatan Prabowo-Hatta memperkecil peluang pasangan tersebut untuk memenangi tuntutan mereka di MK.

Menurut dia, tudingan kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif tak muncul dalam sidang perdana. "Mobilisasi yang mereka ungkapkan tak jelas," kata Refly sambil menambahkan bahwa dia tidak yakin Prabowo bisa membuktikan tudingannya dalam sidang lanjutan gugatan tersebut.

Dalam sidang perdana, semua hakim konstitusi memberi masukan pada berkas permohonan tim Prabowo-Hatta. Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva menilai tak ada sinkronisasi antara tuntutan pokok (petitum) dan uraian (posita) dalam berkas permohonan. "Kami menemukan dalam bagian posita begitu meluas tapi petitumnya tak mencakup semua.

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra juga sependapat bahwa dalil gugatan tim Prabowo sulit dibuktikan. Misalnya, bagaimana Prabowo bisa membuktikan pilihan pribadi para pemilih di bilik suara.

Namun demikian, anggota tim kuasa hukum Prabowo-Hatta, Habiburokhman, optimistis bisa menang. "Terlalu prematur menyebutkan peluangnya. Tahapan sidang masih panjang."

Seperti kata Ketua MK, Hamdan Zoelva proses persidangan di MK berdasarkan proses hukum yaitu pembuktian pihak-pihak dari pemohon, termohon dan pihak terkait. Sementara, untuk penilaian, MK akan melihat berdasarkan bukti yang diajukan para pihak.

"Putusan MK berdasarkan satu mekanisme yang diatur konstitusi bersifat final," ujarnya. "Kami akan mengadili dengan sejujurnya, transparan dan terbuka agar masyarakat bisa melihat sendiri hasilnya."