Sel Punca dari Embrio Manusia Terbukti Aman
Rabu, 15 Oktober 2014 13:46 WIB
Koloni sel punca yang dikembangkan menggunakan metode SCNT. (Oregon Health )
Hasil studi yang dipublikasikan di The Lancet itu bisa membantu menggiatkan kembali upaya kontroversial untuk memanfaatkan sel punca, yang punya kemampuan untuk berubah menjadi 200 jenis sel manusia untuk mengobati penyakit.
Dalam kata pengantar yang menyertainya laporan studi itu, Dr. Anthony Atala dari Wake Forest Institute for Regenerative Medicine menyebut hasil penelitian itu sebagai "pencapaian besar".
Setelah luapan kegembiraan di antara para ilmuwan dan publik tentang sel punca yang menjanjikan dan perdebatan masalah etika mengenai penghancuran janin manusia untuk memperoleh sel tersebut, bidang itu tersandung ketika percobaan besar terapi cedera tulang belakang dihentikan oleh Geron Corp pada 2011 dan minat perusahaan-perusahaan lain menyusun.
Tujuan utama penelitian itu adalah untuk menilai keamanan pencangkokan sel. Sel yang disebut sel epitel pigmen retina dibuat dengan mengambil sel punca dari embrio berusia sehari di klinik kesuburan dan merangsangnya untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel khusus.
Penelitian itu "memberikan bukti pertama, pada manusia yang mengidap penyakit, tentang keamanan jangka panjang dan kemungkinan aktivitas biologi" dari sel yang diambil dari janin, kata salah satu penulis studi, Dr. Robert Lanza dari Advanced Cell Technology, yang menghasilkan sel-sel dan mendanai studi itu.
Sembilan pasien dengan penyakit Stargardt (yang menyebabkan degenerasi macular pada masa kanak-kanak) dan sembilan pasien lain yang mengalami degenerasi makular kering terkait usia (penyebab utama kebutaan pada orang dewasa) menerima cangkok sel retina pada salah satu mata. Satu mata lain dipertahankan sebagai kontrol.
Empat mata mengalami katarak dan dua menjadi meradang, kemungkian karena pengaruh umur pasien (rata-rata 77 tahun) atau pemakaian obat-obat penekan kekebalan untuk pencangkokan.
Sel-sel retina yang membantu fungsi batang dan kerucut mata bisa bertahan dan berfungsi pada semua pasien, kebanyakan penglihatannya membaik.
Pada pasien dengan degenerasi macular, mata yang mendapat perlakuan rata-rata melihat 14 huruf tambahan pada bagan mata standar setelah setahun menerima sel, dengan satu pasien melihat 19 huruf. Mata yang tidak mendapat penanganan memburuk semuanya. Hasilnya sama pada pasien Stargardt.
Pada kenyataannya, pasien lain yang tidak bisa melihat objek dengan tinggi kurang dari empat meter sekarang bisa melihat orang dewasa berukuran normal.
Penglihatan seorang peternak berusia 75 tahun yang buta (20/400) membaik jadi 20/40, cukup untuk menunggang kuda lagi, kata Lanza.
Yang lain jadi bisa menggunakan komputer, melihat jam, pergi ke mal atau melakukan perjalanan ke bandara sendiri untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun.
Ahli sel punca Dusko Ilic dari Kings College, London, yang tidak ikut dalam penelitian itu mengingatkan bahwa bahkan jika uji klinik yang direncanakan akhir tahun ini juga berhasil, "akan butuh bertahun-tahun sebelum pengobatan itu bisa dilakukan."
Dalam kata pengantar yang menyertainya laporan studi itu, Dr. Anthony Atala dari Wake Forest Institute for Regenerative Medicine menyebut hasil penelitian itu sebagai "pencapaian besar".
Setelah luapan kegembiraan di antara para ilmuwan dan publik tentang sel punca yang menjanjikan dan perdebatan masalah etika mengenai penghancuran janin manusia untuk memperoleh sel tersebut, bidang itu tersandung ketika percobaan besar terapi cedera tulang belakang dihentikan oleh Geron Corp pada 2011 dan minat perusahaan-perusahaan lain menyusun.
Tujuan utama penelitian itu adalah untuk menilai keamanan pencangkokan sel. Sel yang disebut sel epitel pigmen retina dibuat dengan mengambil sel punca dari embrio berusia sehari di klinik kesuburan dan merangsangnya untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel khusus.
Penelitian itu "memberikan bukti pertama, pada manusia yang mengidap penyakit, tentang keamanan jangka panjang dan kemungkinan aktivitas biologi" dari sel yang diambil dari janin, kata salah satu penulis studi, Dr. Robert Lanza dari Advanced Cell Technology, yang menghasilkan sel-sel dan mendanai studi itu.
Sembilan pasien dengan penyakit Stargardt (yang menyebabkan degenerasi macular pada masa kanak-kanak) dan sembilan pasien lain yang mengalami degenerasi makular kering terkait usia (penyebab utama kebutaan pada orang dewasa) menerima cangkok sel retina pada salah satu mata. Satu mata lain dipertahankan sebagai kontrol.
Empat mata mengalami katarak dan dua menjadi meradang, kemungkian karena pengaruh umur pasien (rata-rata 77 tahun) atau pemakaian obat-obat penekan kekebalan untuk pencangkokan.
Sel-sel retina yang membantu fungsi batang dan kerucut mata bisa bertahan dan berfungsi pada semua pasien, kebanyakan penglihatannya membaik.
Pada pasien dengan degenerasi macular, mata yang mendapat perlakuan rata-rata melihat 14 huruf tambahan pada bagan mata standar setelah setahun menerima sel, dengan satu pasien melihat 19 huruf. Mata yang tidak mendapat penanganan memburuk semuanya. Hasilnya sama pada pasien Stargardt.
Pada kenyataannya, pasien lain yang tidak bisa melihat objek dengan tinggi kurang dari empat meter sekarang bisa melihat orang dewasa berukuran normal.
Penglihatan seorang peternak berusia 75 tahun yang buta (20/400) membaik jadi 20/40, cukup untuk menunggang kuda lagi, kata Lanza.
Yang lain jadi bisa menggunakan komputer, melihat jam, pergi ke mal atau melakukan perjalanan ke bandara sendiri untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun.
Ahli sel punca Dusko Ilic dari Kings College, London, yang tidak ikut dalam penelitian itu mengingatkan bahwa bahkan jika uji klinik yang direncanakan akhir tahun ini juga berhasil, "akan butuh bertahun-tahun sebelum pengobatan itu bisa dilakukan."
Pewarta : Antaranews
Editor : Totok Marwoto
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
UIN Walisongo hadirkan Profesor Taruna, perkuat distingsi sel punca FK
06 August 2023 11:29 WIB, 2023
RSUD dr Moewardi Surakarta mulai teliti sel punca sebagai terapi pasien COVID-19
01 February 2021 19:13 WIB, 2021