Lebih lanjut, Sandy mengungkapkan, karena hal inilah maka cara mengajar yang baik dari para orangtua, guru maupun terapis lebih baik banyak menggunakan visual.

Dia mencontohkan, saat anak-anak diajarkan mendekorasi panggung, akan lebih baik jika mereka diperlihatkan secara langsung bagaimana cara mendekorasi panggung. Kemudian, menurut Sandy, dalam hal seni, anak-anak penyandang autisme memiliki ketertarikan yang luar biasa.

Hal ini, kata dia, bisa menjadi sarana bagi orang tua atau pendidik untuk mengajarkan lebih jauh mengenai seni, semisal soal warna, cara melipat kertas untuk menciptakan sesuatu, menggunting dan sebagainya. "Buat mereka seni itu luar biasa menyenangkan. Kita bisa mengajarkan lebih jauh soal seni, seperti melipat, menggunting... ," kata dia.

Hanya saja, menurut Sandy, penyandang autisme cenderung sulit untuk memahami sesuatu. Dengan kata lain, mereka membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memahami apa yang diajarkan pada mereka. Untuk ini, salah satu yang dapat orang tua atau pendidik lakukan ialah menyederhanakan bahasa.

"Bagi anak-anak penyandang autisme, pemahaman yang paling sulit. Anak saya yang sudah berusia 17 tahun (penyandang autisme) pun masih sulit untuk memahami sesuatu. Oleh karena itu, setidaknya kita harus menyederhanakan bahasa kita, ini memang sulit," kata Shandy.

"Kita enggak bisa pakai target waktu sampai mereka paham. Memasukkan sesuatu dalam konsep mereka memang butuh kesabaran luar biasa," tambah dia.

Sandy menyarankan, bagi orang tua yang anaknya merupakan penyandang autisme, sebaiknya, tidak terlalu lama larut dalam fase penolakan sehingga melewatkan masa emas anak. Hal ini, kata dia, berujung pada pengobatan yang berjalan tak maksimal.

"Dalam hidup, kita enggak bisa banyak memilih. Ada fase penolakan, itu manusiawi, tapi jangan sampai bertahun-tahun. Karena kasihan anaknya. Waktu terus berjalan, masa keemasan anak bisa hilang, sehingga hasil treatment enggak maksimal," kata dia.