Logo Header Antaranews Jateng

Autisme Bukan Akhir dari Segalanya

Rabu, 19 Juni 2013 06:54 WIB
Image Print
PERINGATAN HARI AUTIS. Sejumlah pelajar memainkan memainkan musik dari alat-alat sederhana dalam "Walk For Autism" di Solo, Jateng, Minggu (7/4). Kegiatan tersebut bertujuan dalam rangka memperingati Hari Autis se-Dunia. FOTO ANTARA/Akbar Nugroho Gum


Cindy Widhoretno, nama anak bungsu pasangan itu dianugerahi rekor Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) sebagai "Anak Autis dengan Kemampuan Terbanyak".

MURI menghitung setidaknya ada tujuh talenta yang dimiliki Cindy, yakni bermain drum, gitar, keyboard, melukis, menyanyi, menari, dan memasak, yang selama ini belum pernah dimiliki anak-anak autis lainnya.

Cindy yang lahir pada 10 Juni 1996 di Pulau Bunyu, Kalimantan Utara itu, kini telah menjelma menjadi sosok gadis remaja.

Layaknya remaja-remaja sebayanya, Cindy yang kini menginjak usia sekolah menengah pertama (SMP) pun ingin bermain bersama kawan-kawannya. Akan tetapi, lingkungan ketika itu belum bisa menerimanya apa adanya.

Autisme memang membuat Cindy kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain, terutama orang baru yang belum dikenalnya sehingga sang ibu yang selalu setia mendampingi ke mana pun anaknya itu bermain.

Naluri seorang ibu membuat Retno terus mengumpulkan semangat dan berusaha tak patah asa dalam membimbing anaknya yang "luar biasa" itu, termasuk menggali bakat dan talenta yang dimiliki oleh Cindy.

Benar, ketika berusia sembilan tahun, Cindy mulai menunjukkan talentanya di bidang seni, yakni bermain drum band ketika masih bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bina Anggita dan SD Negeri Jambidan, Bantul, Yogyakarta.

Retno memang mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya, termasuk kepada Cindy yang dimasukkan di dua sekolah, yakni sekolah umum dan sekolah khusus autis, agar kemampuan akademisnya tidak ketinggalan.

"Makin lama semakin banyak bakat yang ditunjukkan Cindy, dari drum band, kemudian bermain alat musik, seperti gitar dan keyboard, vokal, dan melukis juga. Kemudian, pindah sekolah di SLB Negeri Semarang," katanya.

Ia menceritakan sebelumnya memang bermukim di Yogyakarta hingga Cindy lulus SD, sementara ayah Cindy bekerja di luar Jawa. Kemudian, mereka berdua pindah ke Semarang ketika putri bungsunya itu masuk SMP.

"Suami saya memang orang lapangan kerja di luar Jawa, sementara dua kakak Cindy, satunya masih di Yogyakarta karena bekerja dan satu di Kalimantan. Saya pindah ke Semarang hanya bersama Cindy," katanya.

Ternyata, bakat Cindy terus terasah dan terus berkembang semenjak bersekolah di SLB Negeri Semarang, di antaranya bertambah bakat menari dan memasak dengan pendampingan sekolah yang dipimpin Ciptono itu.

"Dahulu kami pernah ketemu Pak Cip (Ciptono, red.), beliau meminta saya agar Cindy bersekolah di SLB Negeri Semarang. Ternyata, bakat-bakat lain Cindy muncul dan berkembang setelah bertemu Pak Cip," katanya.

Retno yakin suatu saat anaknya itu akan bisa hidup mandiri sebagaimana layaknya orang-orang lainnya meski menyandang autisme dan dirinya tidak akan pernah menyerah untuk berusaha mendidik Cindy agar mandiri.

"Saat ini, Cindy sudah bisa mandiri. Saya ajarkan pekerjaan rumah, mula-mula membersihkan kamar sendiri, kemudian menyapu, memasak, mengepel, hingga menyeterika baju. Ternyata, Cindy bisa," katanya.

Berbekal pengalamannya itu, dia ingin memberi contoh kepada orang tua lainnya yang juga memiliki anak autis agar tidak patah semangat dan putus asa sebab anak autis kelak bisa mandiri dan tidak dikesampingkan.

Pernah Hilang
Rupanya, Cindy semasa kecil pernah tiga kali menghilang dari rumah, yakni saat berumur lima tahun di Jakarta selama satu hari, kemudian saat umur 10 tahun di Yogyakarta selama dua hari, dan 11 tahun di Yogyakarta.

"Kalau yang terakhir di Yogyakarta itu hilang selama enam jam, kemudian ketemu di Kaliurang. Kata polisi, Cindy sendiri membuka dan menuliskan datanya di komputer kepolisian sehingga polisi bisa menemukan," katanya.

Retno masih menyimpan harapan besar terhadap anak bungsunya itu agar kelak bisa tumbuh menjadi gadis luar biasa yang memiliki bakat yang juga luar biasa, tidak kalah dengan kawan-kawannya yang bukan penyandang autis.

Khusus untuk menggambar, Retno mengakui jika Cindy menggambar sesuai dengan apa yang dilihatnya dan pasti detail, seperti suasana di Terminal Jombor, Terminal Banyumanik, peternakan sapi, dan saat bersama kawan-kawannya.

Puluhan lukisan karya Cindy dipamerkan pada peringatan Sewindu SLB Negeri Semarang yang digelar 18--19 Juni 2013, seperti lukisan berjudul "Foto Cindy", "Di Peternakan Sapi", "Terminal Jombor", dan "Lembah Hitam".

Semua lukisan yang menceritakan tentang kehidupan sehari-harinya itu dibuat Cindy menggunakan pensil krayon di saat senggangnya dan ketika mendapatkan inspirasi untuk mengabadikan sebuah momentum dalam kertas gambar.

Tulisan-tulisan bernada motivasi juga menghiasi dinding Aula SLB Negeri Semarang tempat pameran, di antaranya "Kami Bisa karena Kami Luar Biasa", "Tuhan Memberi yang Terbaik buat Kita", dan "Kami Bukan Produk Tuhan yang Gagal".

Tak ketinggalan, Cindy juga memamerkan kebolehannya memainkan sejumlah alat musik, seperti gitar dan keyboard, kemudian menyanyi, dan memasak. Gadis itu tampak bersemangat meski hanya mempraktikkan menggoreng bawang.

Dengan berbagai bakat yang dimilikinya itu, Cindy juga dianugerahi rekor Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) sebagai "Anak Autis dengan Kemampuan Terbanyak" bertepatan peringatan Sewindu SLB Negeri Semarang, Selasa (18/6).

"Rekor ini sebenarnya baru kami terbitkan Juli mendatang, yakni rekor ke-5.696. Namun, penyerahannya secara simbolik kami lakukan hari ini (18/6). Ini adalah rekor baru," kata Senior Manager Muri Paulus Pangka.

Sementara itu, Kepala SLB Negeri Semarang Ciptono mengatakan bahwa setiap anak, sekecil apa pun, pasti memiliki potensi tersendiri sehingga perlu diasah terus-menerus agar potensinya yang menonjol bisa dikembangkan.

Termasuk bagi anak autis, kata pria berperawakan tambun yang ramah itu, seperti contohnya Cindy yang ternyata memiliki multitalenta, terutama bidang seni, mulai musik, melukis, menari, menyanyi, hingga memasak.

SLB Negeri Semarang, kata Ciptono, memfasilitasi seluruh anak berkebutuhan khusus untuk mengembangkan bakat dan talentanya di bidang apa pun, termasuk penyediaan fasilitas berupa unit-unit kerja dan pelatihan.

"Menjadi anak autis bukan akhir dari segalanya sehingga orang tua tidak boleh berputus asa. Banyak sekali potensi yang dimiliki anak-anak autis. Inilah yang perlu dikembangkan, mungkin selama ini masih tersembunyi," katanya.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024