Saling serang opini atau adu argumentasi, dalam beberapa hal, malah produktif dan menghasilkan sintesis baru yang bermanfaat bagi pengembangan peradaban manusia.

Namun, sepanjang sejarah zaman, kekerasan senantiasa digunakan oleh sekelompok orang untuk memadamkan opini yang dijajakan kepada publik. Bahkan, rezim diktator -- atas nama negara dan keselamatan umum -- dalam sejarah pun tercatat menggunakan kekerasan ilegal untuk melenyapkan seseorang atau sekelompok yang gagasannya dianggap mengancam kelanggengan kekuasaan. Subversif.

Sepertinya, kekuasaan resmi yang didukung oleh aparat yang begitu kuat bakal runtuh oleh pikiran-pikiran kritis seseorang atau sekelompok manusia. Begitu pula, mungkin, cara pandang segelintir kaum fanatis buta yang sulit membuka pikiran terhadap imajinasi-imajinasi atas sesuatu yang selama ini kita anggap tabu untuk didiskusikan.

Kita mungkin pernah berkhayal bahwa kekerasan terakhir yang kita lihat, dengar, atau baca benar-benar merupakan yang terakhir. Namun, ternyata hal itu tidak pernah terjadi. Penembakan oleh beberapa orang di kantor mingguan Charlie Hebdo, 7 Januari 2015, menewaskan 12 pekerja media termasuk Pemred Stephane Charbonnier atau Charb.

Bila melihat nama dua pemuda yang disangka melakukan penembakan itu, masyarakat internasional dengan mudah akan mengaitkan dengan Islam. Apalagi Charlie Hebdo sudah berulang-ulang membuat kartun yang menyinggung umat Islam.

Yang terbayang dalam pikiran, benarkah rentetan peristiwa belakangan ini, termasuk fenomena ISIS, merupakan fragmen dari benturan peradaban Barat dengan Islam seperti ditulis Samuel Huntington?

Atas nama kebebasan berpendapat dan berekspresi, pengelola media di Barat merasa memiliki hak untuk menyampaikan opininya. Penyelesaian atas ketidaksepakatan terhadap opini diarahkan melalui mekanisme hak jawab, mediasi, bahkan dimintakan vonis pengadilan.

Dalam tataran tertentu, kekerasan seperti itu juga pernah melanda dunia pers di Indonesia. Beberapa kali terjadi kantor media digeruduk massa atau anggota ormas yang tidak sepakat dengan isi pemberitaan media.

Sebagai bangsa yang masih berproses menuju tatanan demokrasi, yang sebagian besar nilai-nilainya kita adopsi dari tatanan Barat, kasus Charlie Hebdo dan lainnya, mungkin bisa menjadi renungan. Untuk apa sebenarnya kebebasan itu. Pantaskah kebebasan itu digunakan bila akhirnya menyakiti dan melukai kelompok lain?

Alangkah tidak eloknya bila kebebasan itu hanya bermuara pada kebebasan itu sendiri. Konsep Kebebasan yang bertanggung jawab boleh jadi merupakan jalan tengah atas liarnya doktrin kebebasan tanpa batas. Indonesia memiliki pagar api yang disebut unsur SARA alias suku, ras, dan antargolongan.

Di negara multietnis seperti Indonesia, agama, bahasa, dan budaya itu seperti pagar api yang bernama SARA. Di negara semaju AS pun, isu SARA masih sangat sensitif. Kasus pembebasan polisi kulit putih yang menembak seorang remaja kulit hitam memicu kerusuhan sosial. Oleh karena itu, sangat bijaksana bila kebebasan itu juga diberi kewajiban untuk bertanggung jawab.

Bertanggung jawab bukan berarti segala muara persoalan cukup diselesaikan di pengadilan. Dalam banyak kasus berbau SARA, tidak semua masalah selesai dan berakhir di meja hijau. Isu SARA tetap menjadi api dalam sekam bila tidak dikelola dengan bijaksana.

Kebebasan seseorang berhenti bila mengganggu kebebasan orang lain. Apakah dalam insiden Charlie Hebdo bisa dibaca bahwa kebebasan yang digunakan oleh kartunisnya sudah mengganggu kebebasan orang lain?

Jangan-jangan yang dilakukan oleh penyerbu di kantor Charlie Hebdo karena mereka menganggap kebebasan yang diagung-agungkan masyarakat Barat juga sering dimanipulasi untuk melukai liyan? Ataukah semacam ketidakberdayaan minoritas melawan hegemoni wacana sehingga menjadikan peluru sebagai jawabannya.

Padahal, peluru yang ditembakkan bakal melahirkan dendam baru. Itu juga akan memproduksi benih-benih kekerasan.