NU: Charlie Hebdo Tak Belajar dari Kejadian
Rabu, 14 Januari 2015 9:44 WIB
Ketua PBNU, Slamet Effendi Yusuf (ANTARA FOTO/Ujang Zaelani)
"Hal itu menandakan redaksi Charlie Hebdo tidak cerdas, tidak mau belajar dari kejadian yang juga menjadikan kawan-kawannya sebagai korban," kata Slamet Effendy Yusuf yang dihubungi di Jakarta, Rabu.
Slamet mengatakan penyerangan yang dilakukan terhadap kantor redaksi majalah satire dari Prancis itu memang tidak bisa dibenarkan dan pantas disebut sebagai bagian dari terorisme yang biadab.
Namun, kampanye "Je Suis Charlie" yang berarti "Aku adalah Charlie" sebagai bentuk simpati kepada majalah tersebut juga tidak bisa sepenuhnya diterima, apalagi sebagai konsep kebebasan berekspresi.
"Keliru kalau semua orang kemudian disamakan dengan Charlie Hebdo. Barat harus belajar menghargai pemikiran Timur bahwa kebebasan harus disertai tanggung jawab dan empati terhadap apa yang diyakini orang lain," tuturnya.
Slamet menyebut para penyerang Charlie Hebdo yang menyebabkan kematian 12 orang sebagai "orang pandir". Namun, penerbitan kembali Charlie Hebdo dengan gambar sampul kartun Nabi Muhammad menunjukkan redaksi majalah itu "sama pandirnya" dengan para penyerangnya.
Menurut Slamet, Barat harus bisa mengoreksi perilaku-perilaku tersebut. Di Barat pun sudah banyak artikel-artikel yang mengkritisi kebebasan berekspresi dengan menyebut kebebasan harus diikuti tanggung jawab dan moralitas.
"Kebebasan berekspresi seharusnya tidak boleh memberi ruang untuk melakukan penghinaan dan pelecehan terhadap apa yang dianggap suci oleh miliaran orang di dunia. Itu akan terus terjadi kalau media membiasakan diri dan publik membiarkan," katanya.
Slamet mengatakan segala bentuk penghinaan terhadap agama apa pun, baik Yahudi, Kristiani dan orang-orang suci dari masing-masing agama seperti Yesus dan Muhammad sama sekali tidak bisa dibenarkan.
"Apalagi bagi agama Islam yang sama sekali melarang visualisasi Nabi Muhammad," ujarnya.
Charlie Hebdo menerbitkan edisi terbaru majalah itu dengan gambar sampul kartun yang disebut sebagai Nabi Muhammad dengan membawa tulisan "Je Suis Charlie". Di atas figur bersorban putih itu juga terdapat tulisan "Tout Est Pardonne" yang berarti "Semua telah dimaafkan".
Edisi terbaru itu dicetak 3 juta eksemplar, jauh melebihi oplah majalah tersebut yang biasanya hanya 60 ribu, dalam 16 bahasa dan akan diedarkan di 25 negara.
Slamet mengatakan penyerangan yang dilakukan terhadap kantor redaksi majalah satire dari Prancis itu memang tidak bisa dibenarkan dan pantas disebut sebagai bagian dari terorisme yang biadab.
Namun, kampanye "Je Suis Charlie" yang berarti "Aku adalah Charlie" sebagai bentuk simpati kepada majalah tersebut juga tidak bisa sepenuhnya diterima, apalagi sebagai konsep kebebasan berekspresi.
"Keliru kalau semua orang kemudian disamakan dengan Charlie Hebdo. Barat harus belajar menghargai pemikiran Timur bahwa kebebasan harus disertai tanggung jawab dan empati terhadap apa yang diyakini orang lain," tuturnya.
Slamet menyebut para penyerang Charlie Hebdo yang menyebabkan kematian 12 orang sebagai "orang pandir". Namun, penerbitan kembali Charlie Hebdo dengan gambar sampul kartun Nabi Muhammad menunjukkan redaksi majalah itu "sama pandirnya" dengan para penyerangnya.
Menurut Slamet, Barat harus bisa mengoreksi perilaku-perilaku tersebut. Di Barat pun sudah banyak artikel-artikel yang mengkritisi kebebasan berekspresi dengan menyebut kebebasan harus diikuti tanggung jawab dan moralitas.
"Kebebasan berekspresi seharusnya tidak boleh memberi ruang untuk melakukan penghinaan dan pelecehan terhadap apa yang dianggap suci oleh miliaran orang di dunia. Itu akan terus terjadi kalau media membiasakan diri dan publik membiarkan," katanya.
Slamet mengatakan segala bentuk penghinaan terhadap agama apa pun, baik Yahudi, Kristiani dan orang-orang suci dari masing-masing agama seperti Yesus dan Muhammad sama sekali tidak bisa dibenarkan.
"Apalagi bagi agama Islam yang sama sekali melarang visualisasi Nabi Muhammad," ujarnya.
Charlie Hebdo menerbitkan edisi terbaru majalah itu dengan gambar sampul kartun yang disebut sebagai Nabi Muhammad dengan membawa tulisan "Je Suis Charlie". Di atas figur bersorban putih itu juga terdapat tulisan "Tout Est Pardonne" yang berarti "Semua telah dimaafkan".
Edisi terbaru itu dicetak 3 juta eksemplar, jauh melebihi oplah majalah tersebut yang biasanya hanya 60 ribu, dalam 16 bahasa dan akan diedarkan di 25 negara.
Pewarta : Dewanto Samodro
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Terpopuler - Politik dan Hankam
Lihat Juga
Zulkifli Hasan Berharap Jakarta Kembali Tenang dan Damai Setelah Pilkada
02 February 2017 6:50 WIB, 2017
Agus: Saya hanya Sampaikan "Salam Hormat" ke Pak Maruf dan Pengurus PBNU
01 February 2017 19:04 WIB, 2017
" Presiden Jokowi Ingin Bertemu Saya, Tapi Dilarang Dua-Tiga di Sekeliling Beliau," Kata SBY
01 February 2017 18:35 WIB, 2017
Tim Anies-Sandi: Kegiatan PT MWS pada Masyarakat Tentang Reklamasi Pulau G Memaksakan Ambisi
01 February 2017 17:17 WIB, 2017
Setnov: NU Salalu Hadir sebagai Organisasi yang Suarakan Perdamaian dan Kesejukan
01 February 2017 16:41 WIB, 2017
Ahok Menyayangkan ada Pihak yang Mengadu Domba bahwa Dia Menghina Integritas PBNU
01 February 2017 16:12 WIB, 2017
Din: Tudingan Ahok Terhadap Maruf Bernada Sarkastik dan Sangat Menghina
01 February 2017 15:58 WIB, 2017
SBY perlu Klarifikasi Pernyataan Kuasa Hukum Ahok yang Mengkaitkan Fatwa MUI
01 February 2017 14:56 WIB, 2017